Pemimpin, Merindukan Model dan Keteladanan Nabi

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID

PELAKITA.ID – Di tengah zaman yang penuh gemuruh kepalsuan, umat merindukan sosok pemimpin yang lebih dari sekadar penguasa. Mereka mendamba figur yang hadir bukan untuk menguasai, tetapi untuk melayani.

Di antara kegaduhan politik, gempita pencitraan digital, dan orasi tanpa isi, nama Muhammad kembali disebut. Bukan hanya sebagai Nabi yang dimuliakan, tetapi sebagai teladan kepemimpinan agung—pemimpin yang menghidupkan kejujuran, amanah, dan keberanian menyampaikan kebenaran.

Sidiq: Kejujuran adalah Napas Kepemimpinan

Bahkan sebelum masa kenabian, Muhammad muda telah dijuluki Al-Amin—yang terpercaya. Ia tidak dilantik, tapi dipercaya. Ia tak mengejar kekuasaan, tetapi dipanggil untuk menyelesaikan konflik.

Ketika masyarakat Quraisy berselisih soal siapa yang berhak meletakkan Hajar Aswad, mereka sepakat: “Serahkan pada Muhammad, si Al-Amin.”

Kejujuran bukan sekadar manis dalam pidato. Ia adalah napas Rasulullah dalam bertutur, bersikap, dan bertindak. Beliau tak pernah berdusta, bahkan kepada musuh. Dalam sebuah hadits disebutkan:

“Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke surga. Seseorang yang senantiasa jujur akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur.”
(HR. Abu Dawud)

Tanpa sidiq, pemimpin kehilangan arah. Ia menukar amanah dengan tipu daya, menjual janji demi kursi.

Amanah: Kepemimpinan adalah Titipan, Bukan Warisan

Rasulullah adalah cermin dari amanah sejati. Meski menjadi pemimpin tertinggi di Madinah, ia hidup sederhana. Kekuasaan tidak dijadikan alat untuk memperkaya diri atau kroni. Ketika seorang perempuan bangsawan mencuri, dan ada upaya melindunginya, Rasulullah menegaskan:

“Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku akan memotong tangannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Amanah tidak hanya soal menjaga uang rakyat, tetapi juga kepercayaan publik. Allah berfirman:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.”
(QS. An-Nisa: 58)

Pemimpin yang amanah tidak menyakiti rakyat dengan kebohongan tersembunyi. Ia menjaga harta dan suara rakyat sebaik menjaga kehormatan dirinya sendiri.

Tabligh: Menyampaikan Kebenaran, Meski Tak Populer

Tabligh bukan sekadar berpidato—ia adalah keberanian menyampaikan kebenaran, meskipun tidak menyenangkan. Rasulullah tidak pernah menyembunyikan wahyu, meskipun itu mengundang caci maki dan ancaman.

Dalam khotbah terakhirnya, beliau bertanya kepada umat:

“Bukankah aku telah menyampaikan risalah kepada kalian?”
Para sahabat menjawab, “Benar, engkau telah menyampaikan, menunaikan, dan memberi nasihat.”
Lalu beliau bersaksi kepada langit: “Ya Allah, saksikanlah!”

Inilah hakikat tabligh: menyampaikan tanpa takut, tanpa menggadaikan kebenaran demi pujian atau jabatan. Pemimpin sejati tidak menjual kesadaran, tetapi membangunkannya.

Fathanah: Kecerdasan yang Mencerahkan

Kecerdasan Rasulullah bukan sekadar intelektualitas tinggi, tetapi kebijaksanaan yang membimbing. Ia menyusun strategi perang seperti di Badar dan Khandaq, menegosiasikan perjanjian Hudaibiyah, serta menata sistem pemerintahan di Madinah secara modern.

Pemimpin yang fathanah tidak mudah terbawa arus hoaks, tidak silau dengan popularitas, dan tidak membungkus kebijakan dengan jargon palsu. Ia hadir sebagai cahaya—bukan bayang-bayang.

Imam Al-Ghazali menulis dalam Ihya Ulumuddin:

“Pemimpin membutuhkan ilmu, bukan sekadar niat baik. Karena tanpa ilmu, niat baik bisa tersesat dan menyesatkan.”

Rasyid Ridha pun menyebut, Nabi Muhammad ﷺ adalah contoh pemimpin revolusioner yang mengubah masyarakat jahiliyah menjadi beradab hanya dalam dua dekade.

Kepemimpinan Bernurani

Prof. Dr. Komaruddin Hidayat menyatakan, karakter utama Rasulullah sebagai pemimpin adalah spiritualitas yang berpijak pada nilai moral universal. “Rasulullah bukan hanya memimpin negara, tetapi memimpin peradaban,” tegasnya.

Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menulis:

“Kepemimpinan dalam Islam bukanlah perebutan jabatan, melainkan amanah untuk menegakkan keadilan dan melindungi yang lemah.”

Mahatma Gandhi pun mengakui:

“Saya tidak melihat senjata di tangan Muhammad, tapi dunia tunduk pada cintanya.”

Sementara Prof. Din Syamsuddin mengatakan:

“Nabi Muhammad adalah pemimpin spiritual dan politik yang menyinari dunia bukan dengan senjata, tapi dengan akhlak dan kecerdasan.”

Dan KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) menulis:

“Engkau memimpin bukan dengan tangan besi,
Tapi dengan kasih dan akal yang murni.”

Di Manakah Pemimpin Itu Kini?

Dalam demokrasi hari ini, kita tidak kekurangan pemimpin—tapi kehilangan Pemimpin. Kita butuh sosok yang tidak hanya mengejar kekuasaan, tapi menjadikan kekuasaan sebagai ladang pengabdian. Sosok yang menjadikan sidiq, amanah, tabligh, dan fathanah sebagai kompas kepemimpinan.

Saat bangsa dilanda krisis kepercayaan, saat rakyat lelah melihat sandiwara politik dan drama elit, sudah waktunya menoleh ke model kepemimpinan Nabi. Bukan untuk dimitoskan, tetapi diteladani dan dibumikan.

Membumikan Langit di Pundak Pemimpin

Allah menegaskan dalam Al-Qur’an:

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan hari akhir, dan yang banyak mengingat Allah.”
(QS. Al-Ahzab: 21)

Jika kita ingin membangun negeri yang adil, sejahtera, dan bermartabat, maka kepemimpinan harus kembali berpijak pada nilai-nilai kenabian. Negeri ini tidak kekurangan ahli strategi, tapi amat membutuhkan pemimpin yang berani berkata jujur, memegang amanah, dan menyuarakan kebenaran dengan cerdas dan bijaksana.

Kita butuh Pemimpin—yang hadir bukan untuk disorot kamera, tetapi untuk menyinari rakyatnya. Pemimpin yang tak sekadar ada, tapi memimpin dengan cinta, akhlak, dan cahaya nubuwah.

Pemimpin seperti Rasulullah: sidiq, amanah, tabligh, dan fathanah.