Air bah atau kebanjiran (banjir bandang) adalah analogi paling pas untuk kata pendarahan.
PELAKITA.ID – Saya datang dengan batik nasional bergambar burung Garuda. Itu, karena saya ingin bicara tentang Indonesia dan Sulawesi Tengah dalam orasi ekologi dan lingkungan hidup pada acara ini.
Sayang, waktu tidak memadai. Maka, sedikit pikiran itu saya uraikan di tulisan ini. Mensublimasikannya dengan gagasan dan ilustrasi Gubernur Sulawesi Tengah, Dr. Anwar Hafid dari pidato sambutan beliau. Semoga bermanfaat.
Saya ada di pertemuan itu, ketika Dr. Anwar Hafid, Gubernur Sulawesi Tengah memberikan pidato sambutan.
Acaranya itu bernama pemberian penghargaan Proper. Satu Agenda kementerian lingkungan hidup untuk dunia usaha yang menerapkan kaidah lingkungan hidup dalam aktivitas produksinya.
Saya hadir sebagai Kepala Pusat Penelitian Lingkungan hidup (PPLH) dan Sekretaris Kerjasama Universitas Tadulako. Dihadirkan secara resmi untuk memberikan pidato orasi ilmiah.
Di hadapan lebih kurang 60-an pimpinan perusahaan di Sulawesi Tengah. Gubernur Anwar memberikan ilustrasi yang sangat menarik.
Beliau menganalogikan kedatangan investor sebagai tamu yang hendak melamar anak gadis yang cantik jelita. Tentu, selaku tuan rumah, kita akan menerima dengan baik. Proses pelamaran akan dilangsungkan dengan berbagai prosesi dan prosedur yang lazim.
Pada tahap selanjutnya, pelamar akan berusaha untuk memenuhi semua persyaratan yang disepakati.
Efek dari kesepakatan pernikahan ini pasti menimbulkan dampak. Hamil dan melahirkan sebagai contoh. Melahirkan akan menimbulkan darah.
Tapi, berdarah dalam proses melahirkan adalah hal normal. Menjadi tidak normal bila terjadi pendarahan. Umumnya, karena pengabaian terhadap sejumlah persyaratan.
***
Mengutip Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan – Kementerian Kesehatan RI, ibu yang melahirkan anak pada usia di bawah 20 tahun atau lebih dari 35 tahun adalah faktor risiko perdarahan postpartum yang mengakibatkan kematian maternal.
Hal ini disebabkan karena pada usia di bawah 20 tahun fungsi reproduksi seorang wanita belum berkembang dengan sempurna. Sementara itu, pada usia di atas 35 tahun fungsi reproduksi seorang ibu sudah mengalami penurunan dibandingkan fungsi reproduksi normal.
Alhasil, kemungkinan terjadinya komplikasi postpartum terutama perdarahan akan lebih besar. Lebih bahaya lagi bila terjadi kekerasan rumah tangga dalam masa kehamilan.
Di sini kita melihat usia muda dan usia tua menjadi prasyarat penting untuk hindari resiko pendarahan. Di dunia Ekologi dan lingkungan hidup pun demikian.
Ada sejumlah persyaratan yang harus dipatuhi untuk hindari risiko bencana alam maupun sosial (natural and social disaster). Bila ilustrasi ini kita analogikan pada proses investasi dan pengelolaan lingkungan hidupnya. Maka, sejumlah persyaratan harus dipatuhi.
Misalnya, pada tahap awal harus sesuai peruntukan kawasan secara spatial (RTRW/RDTR). Persyaratan lanjutan setidaknya bermuara pada aspek ekonomi (economically profitable), teknik (tecnically possible), sosial (socially acceptable), lingkungan atau ekologi (ecologically sustainable) dan ketersediaan sumber daya lokal (local resources available).
Ini adalah keseimbangan dalam berfikir berkelanjutan berbasis bencana (sensitif of disaster).
***
Untuk Sulawesi Tengah, kepekaan bencana itu harus diarahkan pada sejumlah faktor yang sangat labil. Dia bersinergi konvergen untuk memicu risiko.
Pertama, kawasan bergunung (montagneus), kedua, curuh hujan tinggi (precipitation) dan ketiga, fenomena gempa bumi (tektonik).
Satu satunya elemen yang menstabilkan adalah luasan kawasan hutan. Bahkan, bukan cuma menstabilkan, tapi juga menyimpan kekayaan biodiversitas dan potensi pangan secara langsung maupun tidak langsung.
Saat ini beredar narasi sinis dan ironik di media sosial. Begini kalimatnya ; Belanda tidak punya gunung, Swiss tidak punya laut, Jepang tidak punya sumber daya mineral, Singapura tidak punya sawah, Arab Saudi tidak punya hutan.
Tapi, semua mereka relatif sejahtera. Sementara, Indonesia punya semua yang mereka tidak punya. Namun, mengapa kita miskin? Itu, karena yang tidak dipunyai Indonesia adalah Akal dan Hati nurani.
Singgungan ironik ini harus menyadarkan kita untuk mengelola alam kita dengan benar. Agar, tidak mengapa berdarah, karena itu adalah proses normal dalam kegiatan reproduksi. Akan tetapi, tidak boleh pendarahan karena penyebab umumnya adalah kelalaian antropik (human error).
Air bah atau kebanjiran (banjir bandang) adalah analogi paling pas untuk kata pendarahan.
Dan, artikel ini ditulis bersamaan dengan peristiwa banjir atau kebanjiran yang sedang mengurung kota Palu , sebagai ibukota Provinsi Sulawesi Tengah .Mungkin, banjir ini adalah salah satu contoh pendarahan itu.
Wallahu a’lam bi syawab..
By, Muhd Nur Sangadji
Kepala PPLH Universitas Tadulako.
Professor bidang Ekologi Manusia di Faperta Universitas Tadulako. Lembah Palu, 25/04/2025