Dimensi Modernisasi Perikanan Inkusif: Orasi Guru Besar Sosiologi Perikanan Prof Andi Adri Arief

  • Whatsapp
Kapal 'feeder panges' di Pulau Kapoposang (dok: Pelakita.ID)

Modernisasi perikanan yang terjadi di Indonesia, tidak selalu memberikan kesejahteraan yang merata. Dalam beberapa kasus, justru terjadi marginalisasi nelayan kecil dan tradisional.

PELAKITA.ID – Perikanan bukan hanya tentang teknologi tangkap, budidaya, pengolahan, atau pasar hasil laut.

Ia adalah sebuah lanskap sosial yang kompleks, di mana interaksi manusia dengan ekosistem pesisir dan laut, kebijakan perikanan, serta dinamika ekonomi local, membentuk satu kesatuan yang saling mempengaruhi.

Dalam beberapa dekade terakhir, kita menyaksikan bagaimana modernisasi perikanan telah membawa perubahan besar, baik yang dibawa oleh negara melalui pembangunannya maupun yang dibawa oleh mekanisme pasar karena kebutuhan. 4

Misalnya, digitalisasi, industrialisasi perikanan, dan kebijakan ekonomi biru menjadi agenda utama.

Namun, dalam euforia kemajuan tersebut, masih memunculkan pertanyaan mendasar: Apakah semua kelompok nelayan mendapatkan manfaat yang sama? Bagaimana nasib nelayan skala kecil dan tradisional dalam arus modernisasi ini?

Jawaban atas pertanyaan ini, menjadi semakin penting ketika kita melihat data empiris. Hasil survei dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2022 telah meliris data bahwa, secara kuantitatif terdapat 16,42 juta jiwa masyarakat pesisir yang dikategorikan miskin tersebar dalam 3,91 juta KK, pada 10.666 desa pesisir di seluruh Indonesia.

Potret Pangkalan Pendaratan Ikan di Beba, Galesong Utara (dok: Pelakita.ID)

Kategori poverty headcount index (sesuai indeks kemiskinan wilayah) dengan jumlah poin 0,3214.

Angka tersebut berada pada margin yang sangat rentan, dan berkontribusi menjadi salah satu penyumbang wilayah miskin di Indonesia. Penduduk wilayah pesisir yang berprofesi sebagai nelayan sebanyak 2,5 juta orang yang didominasi oleh nelayan skala kecil dan tradisional.

Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (2020) mengenai segmentasi usaha perikanan tangkap, menunjukkan pula bahwa, ada sekitar 35 persen nelayan yang menggunakan perahu tanpa motor; 33,31 persen menggunakan perahu motor tempel; 23 persen yang menggunakan kapal motor < 5 GT.

Hanya 5 sekitar 8,9 persen saja, nelayan di Indonesia adalah nelayan skala menengah ke atas (kapal ikan > 30 GT = 3671 unit = 0,68 persen).

Begitu juga jika ditinjau dari sisi pertumbuhan volume dan nilai produksi, peningkatan yang dicapai tidak serta merta secara signifikan dinikmati pula oleh pelaku kecil (nelayan kelas grassroot) dalam sistem ekonomi modern.

Ditemukan data bahwa, margin yang jatuh ke tangan nelayan dan pembudidaya ikan hanya sekitar 5 hingga 10 persen saja.

Selebihnya, jatuh ke pihak lain, yakni: para tengkulak tingkat desa, pedagang tingkat lokal, dan pedagang tingkat regional. Sehingga bentuk pasar yang terjadi, cenderung bersifat monopoli dan monopsoni “dimana modal diperoleh di situ hasil dipasarkan” (Iskandar dan Matsuda; 1998; Arief, A. Adri., et al,. 2015; Arief, A. Adri., et al,. 2017; Agusanty, Harnita. 2022).

Asumsi Dasar Modernisasi dalam Aliran Sosiologi Pembangunan

Secara teoritis, modernisasi dalam aliran sosiologi pembangunan, memiliki sejumlah asumsi dasar dalam memahami keterbelakangan suatu masyarakat, yaitu:

Pertama, keterbelakangan cenderung dilihat sebagai suatu “keadaan asli” (original state), yang telah ada dalam aneka bentuknya. Penganut modernisasi melihat bahwa, keterbelakangan itu disebabkan karena belum masuknya kapitalisme.

Karena itu, untuk keluar dari keterbelakangan, harus terbentuk masyarakat kapitalis modern.

Kedua, keterbelakangan merupakan akibat dari banyaknya kekurangan yang ada di dalam suatu masyarakat. Salah satu kekurangan yang dimaksud adalah dalam formasi kapital.

Ketiga, masyarakat terbelakang biasanya tidak mempunyai semacam kesadaran kritis atau mentalitas yang menawarkan perkembangan.

Kemajuan akan terjadi bila orang telah mengadopsi pemikiran rasional, nilai-nilai yang berorientasi masa depan, dan sistem etik (McClelland, D.C. 1987; Rostow. W.W. 1989; Sanderson, 1993; Schoorl, J.W. 1993).

Dalam ekonomi pembangunan, aliran modernisasi ini dapat disejajarkan dengan teori-teori liberal, yang memiliki asumsi dasar bahwa, keterbelakangan identik dengan ketertinggalan, dan untuk mengejar ketertinggalan itu, diperlukan strategi pertumbuhan ekonomi tinggi (Lerner, R.E. 1988; Soewarsono dan Alvin Y. So. 1991; Damanhuri, 1997; Mubyarto, 2000; Amalia et al., 2022).

Selamat atas penganugerahan Gelar Guru Besar Bidang Sosiologi Perikanan FIKP Unhas (dok: Pelakita.ID)

Sebagai seorang akademisi dan peneliti, yang fokus mengkaji dinamika sosial-ekonomi nelayan skala kecil dan tradisional dalam kurun waktu yang lama, saya telah menjadikannya sebagai tanggung jawab akademik sekaligus kehormatan untuk turut serta berbagi ilmu pengetahuan, pengalaman, wawasan, inspirasi dan aspirasi kepada masyarakat perikanan Indonesia melalui edukasi public yang berkualitas, di bidang ilmu Sosiologi Perikanan sebagai Kepakaran saya.

Temuan-temuan riset dan pengamalam empiris saya, telah saya publikasikan dalam bentuk jurnal ilmiah (nasional dan internasional), dan juga telah saya bukukan dalam 15 judul buku (buku referensi, monograf, chapter dan buku ajar).

Dalam konteks ini, saya berpendapat bahwa modernisasi perikanan yang terjadi di Indonesia, tidak selalu memberikan kesejahteraan yang merata.

Dalam beberapa kasus, justru terjadi marginalisasi nelayan kecil dan tradisional (Arief, A. Adri., 2021), konflik sumber daya (Arief, A. Adri., 2022), hingga disrupsi sosial di komunitas pesisir (Arief, A. Adri., 2024).

Oleh karena itu, pandangan akademis saya menyatakan bahwa, modernisasi perikanan harus diorientasikan pada inklusivitas, bukan hanya pada peningkatan produksi dan profitabilitas semata.

Perikanan adalah juga tentang manusia. Tanpa pemahaman yang mendalam mengenai masyarakat pesisir (khususnya nelayan), kita hanya akan menciptakan kebijakan yang teknokratis, yang mungkin meningkatkan angka produksi, tetapi gagal meningkatkan kesejahteraan mereka (khususnya nelayan skala kecil dan tradisional) yang sangat bergantung pada sektor ini.

Dalam beberapa tahun terakhir, saya telah melakukan pengembangan inovasi berbasis riset dan pendampingan kelompok nelayan yang berkontribusi dalam pemberdayaan nelayan skala kecil dan tradisional.

Salah satunya adalah model “Sosioteknologi Perikanan Berbasis Komunitas” yang telah saya tuliskan dalam bentuk buku referensi di tahun 2024 dengan judul “Transformasi Penyuluhan dan Komunikasi Perikanan Era Digital Distruption” yang tidak hanya melihat aspek teknis dalam modernisasi perikanan, tetapi juga bagaimana teknologi dapat berintegrasi dengan kearifan lokal, bagaimana kebijakan harus berbasis pada pemahaman sosial (evidence based policy), dan bagaimana kesejahteraan nelayan kecil dan tradisional dapat menjadi prioritas dalam transformasi sektor perikanan.

Selain itu, hasil riset dan pendampingan kelompok nelayan yang saya lakukan, juga menginisiasi inovasi penggunaan sistem informasi berbasis digital kepada nelayan kecil dalam aktivitas produksinya (literasi digital dan literasi keuangan), seperti: Penggunaan TREKFish (Alat penelusur dan perekam jejak penangkapan ikan).

Lalu ada Aplikasi Laut Nusantara (Data sistem elektronik mengenai informasi penangkapan ikan, jarak posisi ke lokasi penangkapan ikan, konsumsi BBM, jumlah hasil tangkapan, jenis-jenis ikan tangkapan, harga ikan di Pelabuhan).

Kemudian, Aplikasi Nelayan Pintar (informasi keadaan cuaca, kondisi kepelabuhanan, besaran gelombang, arah angin dan harga pasaran ikan di setiap daerah yang dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan), Aplikasi Pemasaran Digital (Fishlog, Minapoli, Aruna).

Inisiasi inovasi lainnya juga mencakup, penguatan kelembagaan komunitas nelayan melalui rancangan desain skema koperasi digital dan integrasi dengan ekonomi biru yang berbasis pada ekowisata dan diversifikasi usaha perikanan.

Pendekatan Sosiolteknologi sebagai Solusi

Sosioteknologi adalah “cara di mana kelompok sosial membangun objek materialnya dari peradaban mereka”. Proses yang digunakan untuk membangun adalah proses secara sosial dan pada tingkat yang sama dibangun pula secara teknis.

Sosioteknologi merupakan konvergensi wawasan teknologi dan sosial dalam penciptaan, konstruksi dan penggunaan peralataan teknis (Radziwill, 2009; Seputro et al., 2021; Arief. A. Adri., 2024).

Dengan demikian, sosioteknologi harus dijadikan proses untuk merancang dan mengimplementasikan kebijakan dan program, sehingga kehidupan sosial ekonomi masyarakat akan bergerak ke arah yang lebih progresif, karena perkembangan teknologi secara kontekstual (bukan justru sebaliknya, membuat nelayan grassroot termaginalisasi dan tereksploitasi karena teknologi).

Pendekatan sosioteknologi bukan hanya memandang teknologi sebagai “benda mati” tetapi dia “hidup” dalam perkembangannya, yang dapat terus menyesuaiakan diri terhadap perubahan yang signifikan berdasarkan apa yang menjadi kebutuhan mendasar dan kongkrik dalam kehidupan kelompok masyarakat sasaran (Sinaga, 2001; Seputro et al., 2021, Arief. A. Adri. 2021).

Data analisis sosioteknologi dan teknokultur diperlukan untuk mengetahui aspek sosial dan budaya macam apa yang menghasilkan baik praktik teknologi yang bermanfaat, atupun yang merugikan.

Nelayan skala kecil (dok: Pelakita.ID)

Kita bisa melakukan semacam rekayasa sosial budaya, yang dapat memaksimalkan manfaat positif dari teknologi dan meminimalisasi kerugian bagi masyarakat dari adanya introduksi teknologi (Munaf et al., 2008. Arief. A. Adri. 2023).

Beberapa alasan penting mengapa pendekatan sosioteknologi menjadi kunci dalam percepatan transformasi nelayan skala kecil dan tradisional, yaitu pertama, meningkatkan Akses dan Adopsi Teknologi secara Adil.

Dengan pendekatan sosioteknologi, inovasi dapat dirancang sesuai dengan kebutuhan, keterampilan, dan daya beli nelayan skala kecil, sehingga lebih mudah diterapkan dan tidak hanya menguntungkan kelompok tertentu.

Kedua, mengurangi Ketimpangan Digital dalam Perikanan. Solusi sosioteknologi dapat berupa pelatihan digitalisasi, penyediaan Wi-Fi komunitas pesisir, atau penggunaan teknologi sederhana berbasis SMS/WhatsApp agar lebih inklusif.

Ketiga, menyeimbangkan Efisiensi Teknologi dengan Kearifan Lokal. Pendekatan sosioteknologi memastikan bahwa teknologi baru dapat dikombinasikan dengan praktik lokal, seperti penerapan rumpon pintar berbasis kearifan nelayan atau pemanfaatan aplikasi cuaca yang sesuai dengan cara navigasi tradisional mereka.

Keempat, meningkatkan Partisipasi Nelayan dalam Ekonomi Biru. Dengan pendekatan sosioteknologi, transformasi dilakukan dengan memberdayakan nelayan, misalnya dengan koperasi digital, platform pemasaran langsung, atau sistem bagi hasil berbasis transparansi blockchain.

Kelima, meningkatkan Keberlanjutan dan Keamanan Sosial-Ekonomi. Sosioteknologi membantu menciptakan solusi seperti:

Sistem kredit mikro digital yang menghindarkan nelayan dari hutang berbunga tinggi; Teknologi tangkap ramah lingkungan yang tetap menjaga stok ikan jangka Panjang; Platform pemantauan cuaca berbasis komunitas yang meningkatkan keselamatan melaut.

keenam, mempercepat Adaptasi Nelayan terhadap Perubahan Iklim. Sosioteknologi dapat membantu nelayan beradaptasi, melalui: Aplikasi prediksi ikan berbasis AI untuk memetakan lokasi tangkapan yang aman. Penggunaan bahan bakar alternatif atau perahu/kapal bertenaga surya untuk mengurangi emisi karbon.

Oleh karena itu, pendekatan sosioteknologi adalah pondasi utama dalam modernisasi perikanan inklusif, karena memastikan bahwa teknologi tidak hanya efisien dan canggih, tetapi juga berkeadilan, dapat diterima oleh komunitas nelayan kecil, dan berkontribusi pada kesejahteraan sosial serta keberlanjutan ekosistem laut.

Membangun Ekosistem Sosioteknologi Berbasis Komunitas

Nelayan skala kecil dan tradisional dapat melakukan akselerasi transformasi, bila mereka dapat tampil sebagai pelaku utama (berdaya) dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhannya.

Dalam pendekatan sosioteknologi, penerimaaan teknologi bagi masyarakat, harus termaknai sebagai proses belajar berdasarkan pengalaman (experince based learning process).

Dengan hasil belajar dari pengalaman tersebut, kapasitas, kapabilitas mereka sebagai masyarakat (social capability), akan bertumbuh dan berkembang dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhannya (Arief. A. Adri., et al. 2021)

Melalui pendekatan sosioteknologi, kebijakan atau program yang sifatnya menghantarkan tambahan sumberdaya ke dalam masyarakat (nelayan skala kecil dan tradisional) seperti, alokasi kredit, asistensi teknis, atau pemberian sarana produksi, harus didesain sebagai proses memfasilitasi mereka, berdasarkan tuntutan perubahan.

Karena itu, persiapan sosial (social preparation) menjadi hal yang utama harus dilakukan, sebelum bergulirnya berbagai program yang diberikan kepada masyarakat/kelompok sasaran (termasuk modernisasi perikanan).

Sebut saja misalnya, bagaimana mengatasi digital devide (kesenjangan digital) untuk saat ini, seperti: mental access (situasi ketidakmampuan individu dalam merasakan manfaat dari teknologi informasi); skill dan material access (karena kurangnya akses serta kemampuan dalam menggunakan teknologi informasi); usage access (kesenjangan terjadi akibat akses teknologi/infrastruktur) terbatas dikarenakan biaya peralatan dan mahalnya operasional) dan kurangnya pendidikan atau literasi digital ke masyarakat.

Oleh karenanya, persiapan sosial harus dilakukan melalui dua aktivitas proses, yaitu: proses penyadaran (conscientization process) dan pengorganisasian masyarakat (community organiation) (Arief. A. Adri. 2024).

Proses penyadaran adalah proses dimana masyarakat/kelompok sasaran difasilitasi untuk mencapai kesadaran kritis, tentang situasi masalah/hambatan pemenuhan kebutuhan yang mereka hadapi, meningkatkan potensi diri dan memberikan pemahaman terhadap kondisi lingkungan yang mereka bisa akses, untuk memenuhi kebutuhannya dengan struktur sosial dimana mereka hidup.

Saat rajungan siap dikirim (foto: Kamaruddin Azis)

Selanjutnya, proses pengorganisasian masyarakat. Konteks ini dimaksudkan sebagai upaya dalam menyiapkan dan memfasilitasi wahana untuk mereka dapat saling konsultasi, bertukar pengalaman, pendidikan dan pelatihan bagi peningkatan kapasitas, kapabilitas dalam memecahkan masalah dan pemenuhan kebutuhan.

Dengan ruang yang setara dan inklusif, interaksi sosial yang sehat akan tumbuh secara alami, mendukung pengembangan social capital dan komunitas yang lebih kreatif dan responsif.

Arah Pengembangkan roadmap implementasi pendekatan sosioteknologi yang lebih terstruktur bagi nelayan skala kecil dan tradisional, merupakan strategi penelitian dan program pengabdian kepada masyarakat yang akan saya lakukan ke depan, dengan menargetkan peningkatan literasi digital dan pemanfaatan teknologi berbasis komunitas.

Roadmap ini mencakup tahapan identifikasi kebutuhan spesifik nelayan, adopsi teknologi yang sesuai, penguatan kapasitas sosial-ekonomi, serta monitoring dan evaluasi keberlanjutan dampaknya.

Mendorong dan memaksimalkan kolaborasi pentahelix, dimana pemerintah, sektor swasta, akademisi, media dan komunitas nelayan harus tampak nyata dalam implementasinya, untuk memastikan transformasi inklusif berjalan efektif.

Pemerintah dapat berperan dalam penyediaan kebijakan dan infrastruktur yang mendukung, sektor swasta dan akademisi dapat menyediakan inovasi teknologi dan pendanaan, media dalam publikasi dan promosi, sementara komunitas nelayan skala kecil dan tradisional menjadi aktor utama melalui persentuhan langsung dengan teknik-teknik berproduksi dan mendistrubiskan produk mereka secara modern, dalam mengakses ruang-ruang ekonomi biru yang lama dan baru.

Jika kita ingin sektor perikanan menjadi pilar ekonomi biru yang inklusif, maka kita harus memastikan bahwa, modernisasi tidak hanya untuk mereka yang kuat, tetapi juga untuk mereka yang paling rentan.

Semua stakeholder harus bekerja sama agar teknologi tidak menciptakan jurang kesenjangan baru, tetapi menjadi jembatan menuju kesejahteraan bagi semua.

Editor: Kamaruddin Azis