Jika seseorang rutin menunaikan Tahiyatul Masjid tetapi membuang sampah sembarangan, menebang pohon tanpa kendali, atau boros dalam penggunaan air dan energi, maka ada kesenjangan spiritualitas yang harus dikoreksi.
PELAKITA.ID – Setiap kali seseorang memasuki masjid, dianjurkan untuk menunaikan Salat Tahiyatul Masjid, sebuah bentuk penghormatan kepada rumah Allah.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka janganlah ia duduk sebelum salat dua rakaat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Namun, ada ironi yang mengusik: bagaimana mungkin seseorang yang begitu tekun menghormati masjid melalui salat, tetapi abai dalam menjaga kebersihan dan kelestarian bumi?
Jika seluruh bumi adalah masjid, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: “Telah dijadikan untukku bumi sebagai masjid dan alat bersuci.” (HR. Bukhari dan Muslim), maka seharusnya penghormatan terhadap masjid tidak hanya terbatas pada bangunan fisiknya, tetapi juga meluas ke seluruh bumi sebagai rumah ibadah universal.
Masjid sebagai Mikro-Bumi, Bumi sebagai Makro-Masjid
Masjid adalah tempat suci yang dijaga kebersihannya. Umat Islam dilarang mengotorinya, baik secara fisik maupun moral. Namun, bagaimana dengan bumi yang Allah anugerahkan sebagai tempat tinggal? Para ilmuwan lingkungan mengingatkan bahwa bumi sedang menghadapi ancaman serius akibat ulah manusia.
Polusi udara dan air: Menurut data WHO (2023), 99% populasi dunia menghirup udara yang melebihi ambang batas aman.
Krisis sampah: Bank Dunia melaporkan bahwa sampah global akan meningkat hingga 3,4 miliar ton pada 2050.
Deforestasi: Setiap tahun, lebih dari 10 juta hektar hutan hilang akibat aktivitas manusia (FAO, 2022).
Jika seseorang begitu berhati-hati menjaga kebersihan masjid, mengapa tidak memperlakukan bumi dengan standar yang sama? Bukankah mengotori udara, merusak hutan, dan mencemari air sama saja dengan mencemari “masjid besar” yang Allah hamparkan untuk manusia?
Kesadaran Spiritual yang Holistik
Islam mengajarkan keseimbangan antara ibadah ritual dan ibadah sosial. Salat bukan hanya tentang gerakan tubuh, tetapi juga refleksi jiwa dan tindakan nyata dalam kehidupan.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَ رْضِ بَعْدَ اِصْلَا حِهَا وَا دْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًا ۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ
“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.”
(QS. Al-A’raf 7: Ayat 56)
Jika seseorang rutin menunaikan Tahiyatul Masjid tetapi membuang sampah sembarangan, menebang pohon tanpa kendali, atau boros dalam penggunaan air dan energi, maka ada kesenjangan spiritualitas yang harus dikoreksi.
Sebaliknya, memuliakan bumi adalah bentuk lain dari ibadah. Menanam pohon, mengurangi sampah plastik, dan menjaga kebersihan lingkungan adalah perpanjangan dari prinsip penghormatan terhadap masjid. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Jika Kiamat datang sementara di tangan salah seorang dari kalian ada bibit pohon, maka jika ia mampu menanamnya sebelum datangnya Kiamat, hendaklah ia menanamnya.” (HR. Ahmad).
Sejatinya Tahiyatul Masjid
Mereka yang mengklaim mencintai masjid tetapi mengabaikan bumi harus merenungkan kembali makna penghormatan sejati. Bumi adalah tempat sujud yang lebih luas dari sekadar bangunan masjid.
Jika kita benar-benar memahami Tahiyatul Masjid, maka kita juga harus menjalankan Tahiyatul Bumi—menjaga, melestarikan, dan memuliakan ciptaan Allah ini dengan sepenuh hati.
Maka, tanyakan pada diri sendiri: apakah penghormatan kita hanya sebatas dua rakaat, ataukah meresap ke dalam setiap langkah kita dalam menjaga bumi? Ataukah menjadikan dua rakaat beranak pinang memenuhi semesta?
Wallahu A’lamu Bissawaab.
– Moel’S@21032025-