Pendekatan bijaksana terhadap tradisi seperti sesajen sejalan dengan ajaran Islam tentang dakwah bil hikmah (dakwah dengan kebijaksanaan). Islam mengajarkan untuk berdialog dan mencari titik temu, alih-alih menentang secara keras.
PELAKITA.ID – Di balik prosesi tradisional sesajen yang dilaksanakan oleh masyarakat, tersimpan makna mendalam mengenai hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.
Di Sulawesi Selatan, tradisi ini lebih dari sekadar ritual agama; ia adalah wujud kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun. Bagi masyarakat Bugis dan Makassar, sesajen berfungsi sebagai jembatan spiritual yang menyatukan alam dan budaya.
Setiap elemen dalam sesajen, mulai dari beras hingga bunga, memiliki makna ganda: sebagai ungkapan rasa syukur dan usaha simbolis untuk menyuburkan tanah.
Secara ilmiah, pembusukan bahan organik dalam sesajen ternyata memiliki manfaat besar bagi kesuburan tanah. Proses dekomposisi yang melibatkan mikroorganisme seperti bakteri dan jamur melepaskan unsur-unsur hara penting—seperti nitrogen, fosfor, dan kalium—yang meningkatkan kesuburan tanah hingga 25% dibandingkan pupuk kimia.
Penelitian dalam mikrobiologi tanah menunjukkan bahwa mikroba berperan vital dalam pembentukan humus, yang memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan kapasitas retensi air.
Sesajen, yang awalnya dianggap ritual murni, ternyata menyimpan potensi agronomis yang luar biasa.
Tradisi sesajen di Sulawesi Selatan menggambarkan sinergi antara budaya dan ilmu pengetahuan. Dalam setiap upacara adat, sesajen dipersembahkan di alam terbuka—di sawah, halaman rumah adat, atau pemakaman leluhur.
Elemen-elemen sesajen, yang dipilih tidak hanya berdasarkan simbolismenya, juga berfungsi sebagai pupuk alami. Proses dekomposisi ini, yang dikenal sebagai “universitas surga” bagi mikroba, menghasilkan kompos yang mampu mengembalikan kesuburan tanah secara alami dan berkelanjutan.
Alam telah menyediakan mekanisme daur ulang sempurna, di mana setiap materi yang kembali ke bumi menjadi modal kehidupan baru.
Studi lapangan di Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa penggunaan kompos organik dari dekomposisi sesajen dapat mengurangi erosi tanah dan menjaga kestabilan ekosistem.
Penggunaan kompos ini terbukti meningkatkan produktivitas pertanian dan mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia yang merusak struktur tanah.
Ini membuktikan bahwa tradisi sesajen, bila dipadukan dengan ilmu pengetahuan modern, dapat menjadi model pengelolaan alam yang berkelanjutan.
Pesan moral yang dapat kita ambil adalah pentingnya menjaga keseimbangan alam. Ritual sesajen, meskipun memiliki nilai simbolis, juga mengandung ajaran ilmiah yang mengingatkan kita untuk memperlakukan tanah dengan kasih sayang dan hormat.
Alih-alih menggunakan pupuk kimia agresif, memilih pupuk organik hasil dekomposisi alami memperkokoh prinsip keadilan ekologis. Ini adalah ajakan untuk hidup bijaksana,
tidak serakah, dan jujur pada alam, sehingga hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam tetap harmonis, memberi manfaat untuk generasi kini dan mendatang.
Lebih dari sekadar upacara adat, tradisi sesajen di Sulawesi Selatan adalah cerminan nyata hubungan timbal balik antara budaya dan sains. Alam memiliki ritme dan kodratnya sendiri yang harus dihargai dan dilestarikan.
Setiap butir sesajen yang terurai mengingatkan kita bahwa di balik tradisi yang tampak mistis, tersembunyi mekanisme alam yang telah terbukti ilmiah dalam menjaga dan mengembalikan kesuburan tanah. Inilah harmoni sejati yang mengajak kita merawat bumi dengan rasa syukur dan kebijaksanaan.
Pandangan Islam terhadap Tradisi Sesajen
Islam mengajarkan tauhid, bahwa ibadah dan doa hanya boleh ditujukan kepada Allah.
Oleh karena itu, sesajen yang dipersembahkan kepada makhluk gaib atau roh leluhur dengan keyakinan bahwa mereka memiliki kuasa atas kehidupan, dapat mengarah pada syirik, yang sangat dilarang dalam Islam. Dalam Surah Al-An’am ayat 162, Allah berfirman:
“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”
Namun, tidak semua praktik sesajen harus dianggap sebagai penyimpangan akidah. Beberapa komunitas adat memandang sesajen lebih sebagai simbol penghormatan kepada alam atau sebagai bagian dari kebiasaan leluhur, tanpa keyakinan pada kekuatan gaib. Gus Dur, tokoh pemikir Islam, menganjurkan pendekatan yang lebih inklusif terhadap tradisi budaya.
Dalam banyak pemikirannya, Gus Dur menekankan pentingnya memahami esensi suatu praktik budaya dengan kebijaksanaan, tanpa menghakimi atau menstigma tradisi tertentu.
Menurut Gus Dur, Islam di Indonesia tumbuh dalam lanskap budaya yang kaya dan harus mampu berdialog dengan kearifan lokal tanpa mengurangi esensi tauhid.
Dalam konteks sesajen, Gus Dur lebih menekankan aspek sosial dan ekologisnya. Jika tradisi ini dilakukan tanpa keyakinan mistis, tetapi sebagai bentuk penghormatan terhadap alam atau leluhur, maka yang lebih penting adalah mengedukasi masyarakat tentang makna spiritual dalam Islam tanpa harus menghapuskan budaya mereka.
Harmoni antara Islam, Tradisi, dan Alam
Islam mengajarkan bahwa manusia adalah khalifah fil ardh, pemimpin di bumi yang bertanggung jawab menjaga keseimbangan alam. Islam menganjurkan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana, termasuk dalam pertanian dan pelestarian lingkungan.
Seiring dengan kajian ilmiah yang menunjukkan manfaat ekologis dari bahan organik dalam sesajen, kita bisa melihat bahwa tradisi ini selaras dengan ajaran Islam dalam menjaga keseimbangan alam.
Pendekatan bijaksana terhadap tradisi seperti sesajen sejalan dengan ajaran Islam tentang dakwah bil hikmah (dakwah dengan kebijaksanaan). Islam mengajarkan untuk berdialog dan mencari titik temu, alih-alih menentang secara keras.
Jika unsur yang bertentangan dengan tauhid dapat diarahkan pada makna yang lebih edukatif, sementara unsur ekologis dan sosialnya tetap dipertahankan, maka tradisi ini dapat menjadi bagian dari harmoni antara agama, budaya, dan alam.
Kesimpulannya, sesajen, jika dilihat dari perspektif yang lebih luas, tidak selalu bertentangan dengan nilai Islam. Selama tidak disertai keyakinan pada kuasa selain Allah, dan lebih menekankan nilai sosial serta ekologisnya, maka praktik ini dapat dihargai dalam bingkai Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Islam mengajarkan keseimbangan, bukan hanya dalam spiritualitas, tetapi juga dalam menjaga hubungan dengan alam dan budaya di sekeliling kita.
Penulis adalah alumni Sosial Ekonomi Pertanian Unhas, angkatan 88