Saya bertanya-tanya. Seberapa besar keuntungan yang diperoleh perusahaan? Berapa persen yang masuk ke kas negara? Apa yang didapat oleh daerah? Dan yang terpenting, apa yang benar-benar diperoleh masyarakat sekitar?
PELAKITA.ID – Di Hotel Bogenvile, yang berdiri di puncak bukit Kolonodale, saya merenung dengan penuh kegelisahan.
Pikiran saya melayang ke dua negeri yang tanah dan airnya terus dikuras atas nama pembangunan: Sulawesi Tengah dan Maluku Utara, Morowali dan Halmahera.
Sebagai anggota Komisi Penilai AMDAL Provinsi Sulawesi Tengah sekaligus Kepala PPLH Universitas Tadulako, saya merasa perlu mencatatkan renungan ini. Semoga ada manfaatnya.
Mengupas Gunung, Mengikis Kehidupan
Pemandangan ini bukan hal baru bagi saya. Dari pesawat yang melintas di atas Teluk Tomori, Kolonodale, saya sering melihat gunung-gunung yang dikupas hingga ke puncaknya.
Hutan lenyap, tanah terbuka menganga, dan laut berubah merah akibat limpasan sedimen yang terbawa hujan. Namun, hari ini saya menyaksikannya dari dekat—di tengah tapak proyek tambang itu sendiri.
Puluhan perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) beroperasi di sini. Mereka menebang hutan, mengeruk tanah, lalu mengangkutnya ke tongkang untuk dikirim ke smelter.
Jalan-jalan tambang yang tumpang tindih dengan jalan provinsi membentang sepanjang kurang lebih 17 kilometer. Masyarakat yang melewati jalur ini pasti merasa tidak nyaman, padahal ini adalah akses umum dari sisi selatan menuju Kabupaten Poso.
Dalam pertemuan dengan pihak perusahaan, saya menyoroti hak publik atas infrastruktur ini. Pemerintah harus hadir dan bertindak. Solusinya sebenarnya sederhana: kumpulkan otoritas perusahaan, dudukkan mereka, dan cari jalan keluar bersama.
Ada preseden yang bisa dijadikan contoh, seperti proyek pengerasan jalan Iradat Puri dari Palolo ke Palu pada tahun 1970-an atau jalur dua Bungku, Morowali, yang dibangun dengan kontribusi perusahaan pada tahun 2000-an.
Dulu, perusahaan rela menyumbang sekitar Rp8 miliar untuk infrastruktur publik. Maka, alasan “tidak bisa” seharusnya tidak lagi berlaku.
Peran AMDAL: Menyelaraskan Kepentingan Lingkungan dan Sosial
Hari ini, 26 Februari 2025, masyarakat diundang untuk mengikuti sosialisasi AMDAL dari salah satu perusahaan tambang.
Mengapa mereka dilibatkan? Karena mereka adalah pemangku kepentingan terdekat dalam kawasan lingkar tambang. AMDAL bukan sekadar dokumen teknis; ia mengkaji dampak dari berbagai aspek—fisik, kimia, biologi, sosial budaya, ekonomi, hingga kesehatan masyarakat. Namun, aspek sosial harus menjadi perhatian utama, sebab ia menyangkut persepsi, rasa, dan perilaku masyarakat. Jika diabaikan, konflik sosial bisa menjadi bom waktu yang meledak kapan saja.
Dalam lamunan saya, saya ingin percaya bahwa kehadiran perusahaan-perusahaan tambang ini membawa manfaat besar bagi bangsa dan negara.
Dulu, Indonesia mengalami masa kejayaan minyak bumi, lalu hasil hutan, dan kini tambang mengambil peran utama. Namun, keterbukaan dan kejujuran masih menjadi tantangan.
Saya bertanya-tanya. Seberapa besar keuntungan yang diperoleh perusahaan? Berapa persen yang masuk ke kas negara? Apa yang didapat oleh daerah? Dan yang terpenting, apa yang benar-benar diperoleh masyarakat sekitar?
Jika semua pertanyaan ini dijawab dengan transparan, dipahami oleh publik, dan diklasifikasikan secara jelas, kekayaan negeri ini akan benar-benar dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
Indikator Keberhasilan: Kemajuan yang Nyata
Indikator keberhasilan bisa dilihat dari perubahan nyata di lapangan. Ketika kita kembali ke Morowali Utara beberapa tahun mendatang, kita seharusnya bisa melihat masyarakat sekitar tambang hidup lebih sejahtera.
Jalan-jalan tertata, anak-anak bisa mengenyam pendidikan dengan baik, layanan kesehatan meningkat, tingkat kriminalitas menurun, dan aspek sosial-budaya tetap lestari.
Orang-orang yang datang akan berkata dengan bangga, “Semua kemajuan ini terjadi karena daerah ini adalah wilayah pertambangan.” Bukan justru sebaliknya—di mana wilayah tambang lebih sering dikenal karena bencana sosial dan lingkungan yang diakibatkannya.
Intinya, kekayaan dalam perut bumi tidak boleh dibiarkan tertimbun hingga kiamat. Tetapi, pengambilannya pun tidak boleh menciptakan “kiamat” lokal bagi masyarakat sekitar.
Inilah mengapa AMDAL harus memastikan bahwa eksploitasi sumber daya alam dilakukan dengan benar dan berkeadilan.
Wallahu a’lam bishawab.
Editor: K. Azis
___
Muhd Nur Sangadji adalah seorang dosen di Universitas Tadulako. Ia menempuh pendidikan di Université Jean Moulin Lyon 3, Prancis, serta mempelajari bidang pertanian dan agronomi di Universitas Tadulako. Sebelum itu, ia menyelesaikan pendidikan menengahnya di SMA Negeri 1 Kota Ternate.