Laki-Laki Tidak Bercerita: Kenapa Memilih Diam, Tak Berani Menangis?

  • Whatsapp
Muliadi Saleh (dok: pribadi)

Oleh Muliadi Saleh
Penulis | Pemikir | Penggerak Literasi dan Kebudayaan


Laki-laki itu tak menangis di atas panggung,
tapi jiwanya meleleh dalam senyap yang panjang.
Ia tidak bercerita, bukan karena tak punya luka—
melainkan karena dunia telah lama menutup mulutnya.

PELAKITA.ID – Apa yang membuat lelaki begitu hemat kata, pelit air mata, dan miskin ekspresi perasaan?

Ini bukan sekadar persoalan pribadi. Ini adalah hasil konstruksi sosial yang diwariskan lintas generasi: laki-laki harus kuat, harus tegar, dan tak boleh tampak rapuh.

Sejak kecil, mereka dipuji ketika tak menangis, ditepuk pundaknya saat menahan sakit, dan ditertawakan bila menunjukkan kelemahan. Maka jadilah mereka dewasa tanpa bahasa untuk rasa. Tak mampu menjelaskan kesedihan. Tak tahu bagaimana meminta tolong.

Dalam kajian gender, perempuan memang sering dibahas sebagai korban utama sistem patriarki. Namun, di tengah perjuangan panjang menuju kesetaraan, ada satu ironi yang kerap terabaikan: sistem yang sama juga melukai laki-laki—hanya saja dengan cara yang lebih sunyi.

Patriarki menempatkan mereka di menara kuasa, tetapi menutup pintu kelembutan di dalam hati. Dunia memberi mereka tongkat komando, tapi melucuti kebebasan untuk menjadi manusia yang utuh.

Toxic masculinity lahir dari luka kolektif ini. Lebih dari sekadar istilah, ia adalah penjara tak kasat mata yang membuat laki-laki kehilangan kemanusiaannya.

Mereka didorong menjadi pencari nafkah, pengambil keputusan, pelindung, dan pahlawan keluarga—namun tak pernah diajarkan menjadi manusia biasa yang boleh lelah, boleh gagal, bahkan boleh menangis.

Maka tak mengherankan jika angka depresi dan bunuh diri di kalangan laki-laki secara global lebih tinggi dibanding perempuan.

Menurut data WHO, laki-laki tiga hingga empat kali lebih mungkin meninggal karena bunuh diri dibanding perempuan di banyak negara. Di Indonesia, mayoritas pelaku bunuh diri adalah laki-laki usia produktif—mereka yang tak bercerita karena tak tahu harus kepada siapa bersuara.

Diam laki-laki bukanlah tanda damai. Ia adalah gejala psikis yang terpendam. Dalam diam itu tumbuh akar stres, rasa terisolasi, rasa bersalah, dan tekanan batin tanpa saluran.

Banyak yang menyalurkan beban itu bukan lewat kata, tetapi lewat agresi dan pelarian: tenggelam dalam pekerjaan, larut dalam gadget, atau mencari pelipur dalam alkohol dan candu.

Gejala yang lebih halus pun sering terabaikan: gangguan tidur, mudah marah, kehilangan minat, atau rasa hampa yang terus menghantui. Namun pergi ke psikolog? Terlalu tabu. Sebab dunia bilang: laki-laki harus kuat.

Padahal, mereka tidak bercerita bukan karena tak bisa, melainkan karena tak pernah diajarkan. Mereka tidak menangis bukan karena tak terluka, tetapi karena dilarang sejak kecil. Maka tumbuhlah generasi lelaki yang meletakkan harga dirinya pada seberapa kuat ia menahan rasa. Lelaki yang menanggung dunia di pundaknya, tapi tak punya tempat untuk bersandar.

Sudah saatnya kita menulis ulang narasi tentang laki-laki. Bahwa menjadi laki-laki tidak berarti harus selalu kaku, tidak merasa, atau tak berbagi. Lelaki juga manusia—punya emosi, punya kebutuhan untuk dipeluk dan dipahami.

Pendidikan gender harus hadir di rumah, sekolah, tempat ibadah, dan ruang publik.

Kita harus mulai mengajarkan anak laki-laki untuk mengenali perasaannya, membicarakan keresahannya, dan meminta bantuan saat lelah. Menjadi laki-laki tidak harus selalu kuat. Kekuatan sejati terletak pada keberanian untuk mengakui kelemahan. Untuk bicara. Untuk menangis. Untuk membuka luka agar bisa sembuh.

Laki-laki juga ingin didengar, bukan hanya dituntut untuk mendengar. Laki-laki juga ingin pulang, bukan hanya disuruh bertahan. Laki-laki juga ingin bercerita—tapi apakah kita bersedia menjadi pendengarnya?

Laki-laki tidak bercerita bukan karena tak mau, tapi karena kita tak menyediakan ruang aman bagi mereka. Maka tugas kita bukan sekadar mengkritik diam mereka, melainkan menciptakan tempat di mana mereka bisa bersuara.

Dunia yang lebih setara bukan hanya tentang perempuan yang bebas menjadi diri sendiri, tapi juga tentang laki-laki yang bebas menjadi manusia seutuhnya.

Sebab bila dunia terus melarang laki-laki menangis, air mata mereka akan tumpah dalam bentuk yang jauh lebih tragis.


Motto Penulis:
“Menulis untuk Menginspirasi, Mencerahkan, dan Menggerakkan Peradaban.”