Knowledge Sharing Series #1 | Yusran ‘Blue Forest’, Ikonik dan Ironi: Kondisi Mangrove Indonesia

  • Whatsapp

Selama beberapa dekade terakhir, laju kehilangan ekosistem mangrove di Indonesia berkisar antara 20.000 hingga 52.000 hektar per tahun. Saat ini, tingkat kehilangan tersebut berkisar antara 0,27% hingga 2% per tahun.

PELAKITA.ID – Yusran Nurdin Massa, alumni Ilmu Kelautan Unhas angkatan 1997 dan telah berkiprah dalam program pengelolaan mangrove secara berkelanjutan dan berbasis masyarakat menjadi narasumber pada Kelas Marine Science Alumni Knowledge Sharing

Program berkala ini digelar oleh Pelakita.ID bekerjasama Ikatan Sarjana Kelautan Unhas, Jumat, 29 Februari 2025.

Berikut paparannya.

Peluang Besar untuk Konservasi dan Mitigasi

Yusran menyampaikan bahwa mangrove memiliki peran penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim.

“Menghentikan laju kerusakan ekosistem ini saja dapat menyumbang hingga 12% dari target Nationally Determined Contributions (NDC) Indonesia,” kata dia.

Selama beberapa dekade terakhir, laju kehilangan ekosistem mangrove di Indonesia berkisar antara 20.000 hingga 52.000 hektar per tahun. Saat ini, tingkat kehilangan tersebut berkisar antara 0,27% hingga 2% per tahun.

Penurunan tersebut kata Yusran, menunjukkan bahwa upaya konservasi dan rehabilitasi mulai menunjukkan hasil, meskipun masih diperlukan langkah-langkah konkret untuk memulihkan ekosistem ini sepenuhnya.

Realitas Manggrove Kita (Dok: Yusran Nurdin Massa)

Potensi Karbon dan Nilai Ekonomi Mangrove

Mangrove menyimpan cadangan karbon dalam jumlah besar. Kerusakan ekosistem ini telah melepaskan sekitar 190 juta ton CO2 ekuivalen ke atmosfer.

“Angka ini setara dengan emisi yang dihasilkan jika seluruh kendaraan di Indonesia mengelilingi bumi sebanyak dua kali (dimodifikasi dari CIFOR, 2015),” ujarnya.

Selain perannya dalam mitigasi perubahan iklim, mangrove juga memiliki nilai ekonomi yang signifikan.

“Dengan strategi yang tepat, nilai finansial mangrove dapat ditingkatkan melalui pengelolaan sumber daya berkelanjutan, baik dari segi pemanfaatan kayu, hasil hutan bukan kayu (HHBK), maupun jasa lingkungan,” tambahnya.

Penyebab Degradasi Mangrove

Selama tiga dekade terakhir, Indonesia telah kehilangan sekitar 52.000 hektar mangrove per tahun, setara dengan luas Kota New York. Saat ini, laju kehilangan terus berlanjut dengan angka 0,27% hingga 2% per tahun. Beberapa faktor utama penyebab degradasi ekosistem mangrove antara lain ekspansi tambak hingga illegal logging

“Bahkan termasuk wisata yang tidak berkelanjutan, kemudian pembangunan di wilayah pesisir serta ekspansi perkebunan seperti kelapa sawit,” ujarnya.

Dia juga menyebutkan sejumlah titik di Kota Makassar dan Maros juga dalam sengketa miat, antara yang mau mengembangkan kawasan perumahan dan pentingnya menjaga sumber resapan air. Inilah yang perlu menjadi atensi bersama.

Langkah-Langkah Pemulihan Mangrove

Menghentikan alih fungsi mangrove dapat membantu Indonesia mencapai ¼ dari komitmen nasional untuk mengurangi emisi karbon sebesar 29% pada tahun 2030. Ini setara dengan mengurangi 4 juta kendaraan di jalan raya (dimodifikasi dari CIFOR, 2015).

Yusran menilai, untuk mengatasi degradasi, diperlukan langkah-langkah konkret, antara lain penegakan hukum dan penghentian ancaman terhadap ekosistem mangrove, pemulihan dan rehabilitasi ekosistem yang telah rusak.

“Termasuk penyadaran dan peningkatan kapasitas pengelolaan mangrove serta penyusunan kebijakan lokal, seperti peraturan desa yang mendukung konservasi mangrove,” sarannya.

Selain itu, penting juga untuk memastikan pemanfaatan mangrove dilakukan secara berkelanjutan melalui pengelolaan kayu, HHBK, dan jasa lingkungan. Keterlibatan masyarakat dalam perlindungan hutan juga menjadi aspek penting dalam menjaga ekosistem ini.

Inisiatif Global dan Nasional untuk Rehabilitasi Mangrove

Sebagai referensi, Yusran menyebutkan sejumlah inisiatif telah dikembangkan untuk membalikkan tren hilangnya mangrove, antara lain Mangrove Forest Landscape Rehabilitation (MFLR) yang direkomendasikan oleh berbagai lembaga konservasi (Lewis et al., 2009; IUCN, 2017; Worthington & Spalding, 2018).

“Kemudian, Global Mangrove Alliance dengan target meningkatkan tutupan mangrove global sebesar 20% pada tahun 2030 (sekitar 3 juta hektar) dan Deklarasi PBB 2021-2030 sebagai Dekade Restorasi Ekosistem (UN Decade on Ecosystem Restoration),” tambahnya.

Para peserta Knowledge Sharing Alumni kerjasama Pelakita.ID dan Ikatan Sarjana Kelautan Unhas, Jumat, 29/2/2025)

“Di tingkat nasional, berbagai kebijakan telah diterapkan seperti Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No.14/2017, yang menargetkan rehabilitasi mangrove seluas 1,82 juta hektar hingga tahun 2045.” ucapnya.

“RPJMN 2020-2024, dengan prioritas rehabilitasi 50.000 hektar per tahun serta Gerakan Percepatan Rehabilitasi Mangrove Nasional, dengan target 637.000 hektar di 9 provinsi pada 2021-2024 (Perpres 120/2020: BRGM), dengan target 150.000 hektar pada tahun 2021,” paparnya.

Tantangan dalam Rehabilitasi Mangrove

Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, studi menunjukkan bahwa sekitar 90% upaya rehabilitasi mangrove di seluruh dunia belum mencapai tujuannya (Lewis et al., 2016).

Beberapa penyebab utama kegagalan ini antara lain pemilihan lokasi rehabilitasi yang kurang tepat akibat penilaian kelayakan yang tidak menyeluruh.

“Kondisi lahan dan masalah kepemilikan yang menghambat rehabilitasi. Banyaknya area rehabilitasi yang telah dialihfungsikan atau dikuasai oleh pihak lain. Sebagian besar kegiatan penanaman dilakukan di tanah lumpur yang tidak cocok untuk pertumbuhan mangrove dan teknik rehabilitasi yang tidak sesuai akibat kurangnya pemahaman di tingkat praktisi dan pelaksana lapangan,” terangnya.

Saran Yusran

Yusran menawarkan sejumlah saran. Untuk memastikan efektivitas rehabilitasi mangrove, identifikasi lahan potensial harus dilakukan secara luas dengan mempertimbangkan aspek ekologis.

Dikatakan, berdasarkan PMN 2023, beberapa area yang memiliki potensi tinggi untuk direhabilitasi meliputi tambak dan lahan terbuka, mangrove yang mengalami abrasi, serta tanah timbul akibat proses akresi.

Selain itu, tingkat kerapatan mangrove juga menjadi faktor penting, dengan kategori mangrove jarang (0-30%) yang mencakup 70.209 ha, mangrove sedang (30-70%) seluas 155.716 ha, dan mangrove lebat (70-90%) yang mendominasi dengan 3.216.689 ha.

Dalam upaya pemulihan ekosistem mangrove, pendekatan rehabilitasi yang direkomendasikan mencakup Ecological Mangrove Rehabilitation (EMR) yang berfokus pada pemulihan hidrologi sebagai faktor utama, serta Integrated Mangrove-Aquaculture, yang mengintegrasikan tambak dengan ekosistem mangrove secara berkelanjutan.

Untuk meningkatkan pengelolaan mangrove di Indonesia, diperlukan langkah-langkah strategis yang komprehensif. Salah satunya adalah moratorium konversi mangrove guna mencegah alih fungsi lahan yang merusak ekosistem.

Selain itu, perbaikan tata kelola kawasan konservasi dan buffer zone menjadi kunci dalam mendukung pelestarian serta pemanfaatan tradisional yang berkelanjutan.

Model rehabilitasi yang terintegrasi dengan tambak, seperti mosaic landscape mangrove-aquaculture, juga perlu dikembangkan guna memastikan keseimbangan antara konservasi dan ekonomi.

Perencanaan dan pelaksanaan rehabilitasi yang lebih baik juga menjadi prioritas untuk mengurangi tingkat kegagalan program restorasi.

Sementara itu, pengelolaan tambak yang berkelanjutan harus terus didorong agar dapat menekan laju ekspansi lahan yang berkontribusi pada kerusakan mangrove.

Selain aspek ekologi, pengembangan mata pencaharian berbasis mangrove menjadi langkah penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.

Dukungan kebijakan, kelembagaan, dan fasilitasi pengelolaan berbasis komunitas harus diperkuat agar rehabilitasi mangrove dapat berjalan dengan optimal.

Selain itu, penerapan skema pembayaran jasa lingkungan seperti REDD+ dan PES dapat menjadi insentif bagi masyarakat dalam menjaga dan melestarikan ekosistem mangrove. Sebagai langkah lebih lanjut, perlindungan mangrove juga perlu dimasukkan dalam kontribusi nasional untuk pengurangan emisi karbon (NDC), mengingat peran strategis mangrove dalam mitigasi perubahan iklim.

Dengan berbagai langkah ini, tegas Yusran, Indonesia dapat memastikan bahwa kekayaan ekosistem mangrove tetap lestari, memberikan manfaat ekologis, sosial, dan ekonomi bagi generasi mendatang

Editor: Denun