Gen Z dan Literasi Pangan: Paradoks Zaman Antara Filter Instagram dan Nasi di Meja

  • Whatsapp
Ilustrasi petani milenial (Ilustrasi Pelakita.ID)

PELAKITA.ID – Di era serba digital ini, hidup kita berada di antara dua dunia: layar dan ladang. Generasi Z—anak-anak muda yang lahir antara 1997 hingga 2012—tumbuh dengan jempol yang lincah dan mata yang tajam, memindai feed Instagram, TikTok, atau YouTube Shorts.

Pada sisi yang lain, mereka juga tumbuh di tengah belantara krisis: krisis lingkungan, krisis pangan, dan krisis makna.

Tak banyak dari mereka yang menyadari bahwa secangkir kopi susu kekinian yang mereka nikmati sambil scroll layar adalah ujung dari serangkaian proses panjang—dimulai dari petani kecil di dataran tinggi, tangan-tangan kasar yang memetik, hingga truk yang membawanya ke kota. Tapi seberapa dalam pemahaman mereka tentang semua itu?

Di sinilah pentingnya literasi pangan—pemahaman menyeluruh tentang apa yang kita makan, dari mana asalnya, bagaimana diproduksi, dan apa dampaknya bagi tubuh, lingkungan, dan masyarakat.

Literasi ini bukan sekadar pengetahuan gizi, melainkan juga tentang etika, ekologi, budaya, dan ekonomi. Sayangnya, di era serba cepat ini, Generasi Z lebih akrab dengan calories count daripada carbon footprint dari makanan yang mereka konsumsi.

Pangan Bukan Sekadar Isi Perut

Bagi Gen Z, makanan adalah ekspresi diri. Mereka memotret makanan sebelum menyantapnya, membuat ulasan di media sosial, memilih menu vegan atau gluten-free bukan karena kebutuhan medis, tetapi karena tren. Namun, apakah mereka tahu bahwa beras yang mereka makan sedang terancam oleh perubahan iklim? Bahwa Indonesia masih mengimpor kedelai dan gandum dalam jumlah besar?

Pangan sejatinya adalah narasi panjang tentang perjuangan, budaya, dan kearifan lokal. Di balik sepiring nasi uduk ada filosofi syukur.

Di balik pedasnya sambal, ada kisah adaptasi dan keberanian. Sayangnya, semua itu semakin jarang dibaca dan dihargai oleh generasi digital hari ini.

Ketika literasi digital melesat, literasi pangan justru tersendat. Banyak anak muda tak lagi tahu cara menanam, memanen, apalagi memasak.

Mereka tahu cara memesan makanan lewat aplikasi, tapi tak tahu musim panen cabai. Inilah paradoks zaman: teknologi meroket, tetapi pengetahuan dasar tentang pangan justru merosot.

Bangkitnya Gen Z Petani Digital

Namun tak semua kabar adalah kelabu. Tumbuh harapan dari kampung dan pelosok desa. Muncul gelombang Gen Z yang memilih jalan pertanian dan pangan berkelanjutan, dengan cara yang segar dan cerdas.

Program seperti Youth Entrepreneurship and Employment Support Services (YESS) berhasil menjangkau generasi muda yang aktif di sektor agribisnis, teknologi pertanian, hingga pemasaran digital hasil panen. Mereka adalah Gen Z dan milenial yang tak hanya ingin bertani, tapi juga membangun sistem pangan yang lebih baik.

Di media sosial, mulai dikenal para petani muda dan pegiat pangan lokal yang memperkenalkan benih, pangan lokal, hingga etika makan.

Komunitas dan startup pertanian bermunculan, menyatukan teknologi dengan tradisi untuk menciptakan ekosistem pangan yang lebih adil dan berkelanjutan.

Mahasiswa di berbagai universitas membangun Food Community Garden dan bisnis urban farming yang menguntungkan. Bahkan, Indonesia kini tercatat sebagai negara dengan pertumbuhan agripreneur muda tercepat di Asia Tenggara dalam dua tahun terakhir.

Mereka bukan petani tradisional—mereka adalah petani digital. Mereka mengelola lahan dengan drone, menjual hasil panen lewat marketplace, dan mempromosikan pangan lokal melalui Instagram Reels dan video edukatif di TikTok.

Antara Pertanian dan Perkotaan

Gen Z hidup di tengah arus urbanisasi dan globalisasi. Mereka terbiasa dengan supermarket, bukan pasar tradisional. Lebih mengenal istilah plant-based meat ketimbang “tempe daun jati”. Mereka tidak salah—dunia memang berubah. Tapi perubahan menjadi persoalan ketika memutuskan akar dari tanah.

Literasi pangan adalah jembatan antara kota dan desa, antara petani dan konsumen.

Ia mengajarkan bahwa makanan tak berasal dari rak-rak toko, melainkan dari tanah yang diolah, keringat yang tercurah, dan langit yang memberi hujan.

Kita perlu menghadirkan kembali ruang-ruang belajar tentang pangan: sekolah yang menanam sayur, kampus dengan kebun kolektif, dan media sosial yang memperlihatkan wajah petani muda, resep keluarga, dan cerita dari ladang-ladang yang terus berjuang.

Pangan sebagai Identitas dan Perlawanan

Di tengah gempuran makanan cepat saji dan budaya instan, memilih pangan lokal, sehat, dan berkelanjutan adalah bentuk perlawanan. Makanan bisa menjadi simbol identitas, kedaulatan, dan bahkan nasionalisme.

Bayangkan jika Gen Z mencintai kuliner lokal bukan karena nostalgia, melainkan karena kesadaran ekologis.

Bayangkan jika nasi jagung, sagu, dan ubi menjadi tren baru yang menggantikan junk food. Bayangkan jika sekolah-sekolah mengajarkan filosofi makanan, sejarah rempah, dan pentingnya kedaulatan pangan.

Dari Layar Kecil Menuju Ladang Luas

Kini saatnya Generasi Z membuka mata—bukan hanya pada layar kecil, tetapi juga pada ladang luas. Saatnya mereka bertanya: dari mana makanan ini berasal? Siapa yang menanamnya? Apa dampaknya bagi bumi?

Literasi pangan bukan hanya tugas petani atau koki. Ini adalah tanggung jawab kita bersama—terutama mereka yang akan mewarisi dunia ini. Dunia yang lapar akan kesadaran, bukan sekadar makanan.

Dan semoga, di masa depan, Gen Z tak hanya mahir membuat konten viral, tetapi juga menjadi penjaga pangan yang bijak—yang tahu bahwa sepiring makanan adalah doa, sejarah, dan harapan.

Gen Z dan Literasi Pangan:
Paradoks Zaman Antara Filter Instagram dan Nasi di Meja
Oleh: Muliadi Saleh
Penulis, Pemikir, Penggerak Literasi dan Kebudayaan