Ilustrasi kegiatan (Istimewa)Cinta Terlarang, Samudera Takdir, dan Kemenangan Teater SATU Makassar
PELAKITA.ID – Sebuah pertunjukan dramatis yang mengangkat salah satu bagian paling tragis dari epik mitologi Bugis, Sureq Galigo, berhasil memukau publik dan juri dalam Festival Teater Berbahasa Daerah se-Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat Tahun 2024.
Judul pertunjukannya: Galigo: Nawanawana Sawerigading, dipentaskan oleh Teater SATU dari SMA Negeri 1 Makassar.
Pertunjukan ini secara berani menyoroti konflik batin tokoh legendaris Sawerigading, yang terjerat dalam cinta terlarang terhadap saudari kembarnya sendiri, We Tenri Abeng.
Ketika hasrat itu tak bisa diwujudkan, Sawerigading memilih untuk meninggalkan tanah kelahirannya dan bersumpah tidak akan pernah kembali.
Ia kemudian berlayar mengarungi samudera takdir, hingga akhirnya bertemu dengan We Cudai, putri mahkota dari istana La Tanete di negeri Cina. Dari pernikahan inilah lahir seorang anak laki-laki: I La Galigo, sang tokoh utama dalam naskah epik tersebut.
Yang membuat pertunjukan ini istimewa adalah penggunaan bahasa Bugis Kuno, sebagaimana tertulis dalam manuskrip asli Sureq Galigo—sebuah naskah sastra Bugis kuno yang dikenal sebagai salah satu yang terpanjang di dunia.
Karya ini telah diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia dalam kategori Memory of the World pada tahun 2011.
Galigo: Nawanawana Sawerigading bukan hanya sebuah pertunjukan panggung, tetapi juga bentuk pelestarian bahasa dan sastra klasik yang nyaris punah.
Dengan membawakan kisah ini menggunakan bahasa asali yang nyaris tak lagi digunakan dalam keseharian, Teater SATU turut menghidupkan kembali warisan budaya yang sangat berharga.
Prestasi mereka tak main-main. Selain dinobatkan sebagai Penyaji Terbaik I, pertunjukan ini juga menyabet empat penghargaan khusus dalam ajang tersebut, yakni:
-
Skenario Terbaik
-
Penata Musik Terbaik
-
Penata Artistik Terbaik
-
Pemeran Wanita Terbaik
Kemenangan ini bukan hanya menjadi pencapaian bagi Teater SATU Makassar, tapi juga menjadi bukti bahwa karya sastra klasik seperti Sureq Galigo tetap relevan dan hidup dalam ruang budaya generasi muda.
Redaksi