PELAKITA.ID – Pagi masih menggeliat dalam redup cahaya. Langit belum sepenuhnya terang, namun udara segar telah lebih dulu mengetuk-ngetuk hati yang rindu untuk bergerak.
Rasanya tergoda untuk keluar rumah. Menyapa dunia dengan langkah-langkah kecil yang penuh makna. Jalan kaki di seputar kompleks bukan hanya urusan tubuh, tapi juga tentang menyusun ulang kesadaran, menata ulang pikiran, dan terkadang, menjaring ilham.
Di tikungan pertama, penulis berpapasan dengan Pak Dr. Darmhamsyah—seorang dosen di Universitas Hasanuddin yang dikenal dengan senyum khas dan pemikirannya yang dalam.
“Apa kabar Pak Dar?” sapaku ringan.
“Alhamdulillah, baik dan sehat,” jawabnya hangat.
Kami terus berjalan di jalur masing-masing. Tapi di putaran kedua, langkah kami beriringan. Seperti dua aliran sungai yang bertemu untuk sementara sebelum berpisah kembali ke muaranya.
“Pak Dar,” kataku memulai obrolan, “saya senang dengan inspirasi-inspirasi yang sering Bapak bagikan di media sosial. Banyak yang mencerahkan.”
“Alhamdulillah. Saya juga menikmati tulisan-tulisan Pak Mul,” balasnya tulus. “Inspiratif dan substantif. Teruslah menulis. Tulisan itu bisa menjadi warisan. Legacy.”
Aku terdiam sejenak, menyimpan ucapannya dalam saku hati. Kami terus melangkah. Tapi bukan lagi langkah biasa. Setiap jejak terasa membawa muatan makna. Kami masuk ke ruang sunyi di antara kata dan makna, antara niat dan ilham.
“Kadang saya berpikir,” lanjut Pak Dar, “setiap ide yang melintas, setiap getaran di hati, itu bisa jadi ilham dari Tuhan. Sayangnya, kita sering biarkan ia lewat begitu saja. Hilang tertiup angin, lenyap ditelan kesibukan.”
Aku mengangguk. Terasa benar kata-katanya. Betapa sering kita diberi isyarat langit, tapi kita menolak mencatatnya. Padahal Nabi bersabda, “Barangsiapa dikehendaki oleh Allah untuk mendapat kebaikan, maka Allah akan memahamkannya dalam agama.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ilham adalah pemahaman yang dibisikkan oleh Tuhan, dan menuliskannya adalah bentuk syukur.
Pak Dar menambahkan, “Ilmu, inspirasi, apapun namanya, ketika dibukukan, ditulis, disimpan—maka ia menjadi cahaya. Jika tidak, ia hanya akan menjadi uap yang menghilang.”
Aku pun teringat pesan Imam Syafi’i, “Ikatlah ilmu dengan menulisnya.” Kata-kata beliau bagaikan lonceng pengingat bagi siapa pun yang pernah disentuh oleh pengetahuan, tapi lalai mengikatnya.
Kami pun sepakat bahwa dunia hari ini penuh potensi ilham, tapi sering kekurangan orang yang mau menampung dan menyampaikannya. Kita terlalu cepat bergerak, terlalu terburu-buru, hingga lupa bahwa setiap ide adalah titipan Tuhan yang harus dirawat.
Bayangkan jika setiap kita menuliskan satu inspirasi sehari. Bayangkan jika setiap guru, penyuluh, pedagang, petani, mahasiswa, dan ibu rumah tangga mengikat ilmu dan pengalaman dalam bentuk tulisan. Bukankah bumi akan menjadi perpustakaan hikmah?
Firman Allah dalam Al-Qur’an mengingatkan kita: “Nuun. Demi pena dan apa yang mereka tulis.” (QS. Al-Qalam: 1). Sebuah sumpah agung untuk pena. Karena menulis bukan hanya aktivitas duniawi, tapi juga bagian dari kesaksian spiritual.
Obrolan kami berakhir di ujung jalan, tapi tidak di ujung makna. Kami kembali ke rumah masing-masing, namun membawa semangat baru—bahwa setiap langkah kaki pagi adalah langkah menuju kedalaman diri. Dan bahwa menulis bukan sekadar aktivitas intelektual, tapi juga ibadah kecil yang mencatat jejak ilham Tuhan.
Kita tidak pernah tahu, tulisan mana yang akan menyentuh hati seseorang, membangkitkan harapan, atau menyelamatkan jiwa yang nyaris putus. Tapi kita tahu satu hal: bahwa setiap kata yang lahir dari kejujuran hati dan disusun dengan cinta akan hidup lebih lama dari usia penulisnya.
Maka, tulislah.
Meski hanya satu kalimat, satu ide, satu kesan dari pagi.
Karena di sana mungkin tersimpan sebutir ilham dari langit,
yang sedang mencari rumah untuk menetap: dalam kertas,
dalam hati, dalam sejarah.
___
Penulis: Muliadi Saleh – Penulis, Pemikir, Penggerak Literasi dan Kebudayaan.
Motto: Menulis untuk Menginspirasi, Mencerahkan, dan Menggerakkan Peradaban.