Catatan Denun | Etika dan Cuan di Balik Pesan Natsir Nessa hingga Nadiem Makarim

  • Whatsapp
Ilustrasi (dok: executivesupportmagazine.comt)

Etika Lebih Penting dari Cuan: Pelajaran dari Natsir Nessa hingga Nadiem Makarim

__
PELAKITA.ID – Di lingkungan Universitas Hasanuddin, pernah ada sosok yang begitu dihormati karena dedikasinya dalam prinsip, kehalusannya dalam bertindak, dan keberaniannya dalam membangun Marine Science Unhas kala itu.

Ia adalah Prof. Dr. Natsir Nessa, guru besar termuda Unhas pada masanya di bidang sosial ekonomi perikanan. Penulis masih ingat disertasinya di IPB tentang juku torani dan kerentanan eksploitasinya.

Natsir memainkan peran penting dalam pendirian Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan pada tahun 1988, setahun sebelum penulis masuk kuliah di fakultas tersebut.

Kiprah Prof. Natsir masih terasa hingga kini, bukan hanya dalam desain kebijakan dan komposisi dosen di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, tapi juga dalam cara beliau menanamkan nilai—terutama tentang etika dalam berpikir dan menyampaikan kritik.

Suatu kali, dalam sebuah studium generale di LT4, beliau menanggapi gaya protes keras dari mahasiswa
Kelautan terhadap dominasi rektorat dengan ungkapan yang sangat membekas:

“Kalian ini kalau mau kritik atau beri masukan, sampaikan dengan baik. Lihat juga momennya. Jangan kau kasih ayam goreng ke kita tapi dengan dilempar.”

Sederhana, tapi dalam. Bahwa cara menyampaikan sama pentingnya dengan isi pesan itu sendiri.

Mari bawa ke case Nadiem dan juga untuk sesiapa yang merasa terdidik sekolah tinggi di luar sana

Pernyataan ini relevan untuk memahami konteks yang lebih luas hari ini—misalnya pada perjalanan seorang tokoh nasional seperti Nadiem Makarim yang dielu-elukan oleh publik karena ojek online-nya, yang dipuja-puji sana sini karena fasih berbahasa Inggris dan hasil didikan Amerika.

Dari Gojek hingga kursi Menteri Pendidikan, Nadiem menawarkan semangat inovasi dan efisiensi.

Sayangnya, kisahnya di dunia kebijakan publik juga menyadarkan kita bahwa modal dan kekuasaan tidak cukup tanpa etika pengelolaan sumber daya. Ada potensi bias kebijakan, mis-manajemen, hingga negara tekor triliunan Rupiah.

Dengan etika, kita dipandu untuk mewaspadai potensi permasalahan, kita bisa mengendalikan potensi bias dengan mengajak anggota tim bicara, memantau perkembangan dan melakukan upaya korektif.

Nadiem dianggap gagal menjadi penjaga lalulintas organisasi setingkat Kementerian.

“Dia tidak pernah jadi guru,” kata JK. — dia tidak mengalami bagaimana menjadi guru, luput pada proses dan cara penanganan.

Sosodara, mengapa etika dan kepandaian membaca momentum seperti yang disampaikan Natsir Nessa itu penting?

Pertama, etika adalah kompas di tengah kekuasaan.

Pada konteks Nadiem, dalam dunia pendidikan, yang dipertaruhkan bukan hanya sistem, tapi nasib jutaan murid dan guru. Ketika proyek digitalisasi pendidikan dilakukan tanpa cukup transparansi atau empati, dampaknya bisa melukai kelompok rentan.

Kedua, modal besar tak menjamin kebaikan publik. Malah diduga korupsi. Gojek bisa saja sukses karena kapital dan teknologi. Tapi pendidikan tak bisa diperlakukan seperti pasar. Keadilan dan akses jauh lebih penting daripada efisiensi atau semaca mengurus cuan.

Ketiga, kepercayaan publik bertumpu pada etika. Kebijakan yang dianggap terlalu dekat dengan vendor swasta bisa menggerus integritas seorang pemimpin. Dalam dunia pelayanan publik, netralitas dan keberpihakan kepada rakyat adalah segalanya.

Keempat, tanpa etika, kepemimpinan menjadi alat eksklusi. Banyak guru di pelosok tidak siap dengan sistem digital. Jika suara mereka tak diindahkan, maka kebijakan yang seharusnya membebaskan justru membelenggu.

Kelima, reputasi bisa dibangun dengan prestasi, tapi hanya etika yang bisa menjaganya. Nadiem mungkin inovator hebat, atau sosodara bisa bertameng sebagai influencer dengan sejuta follower tapi di ranah publik, empati dan etika lah yang menentukan warisan yang ditinggalkan.

Dari Prof. Natsir hingga Nadiem, satu benang merah bisa kita tarik: Etika bukan sekadar norma. Ia adalah pondasi kepercayaan, arah kebijakan, dan ukuran keberadaban seorang pemimpin.

Modal bisa membeli pengaruh. Tapi etika adalah yang membuat pengaruh itu berarti.

— remas-remas lutut setelah gowes ke Bontomarannu

_
Denun, Tamarunang, 30 Juni 2025