“Jika pulau-pulau kecil dijual bagai komoditas pasar bebas, kita kehilangan benteng ekologi, integrasi wilayah, dan harga diri sebagai bangsa maritim.”
PELAKITA.ID – Maraknya penawaran jual beli pulau-pulau kecil di Indonesia menegaskan kegagapan kita mengelola aset strategis bangsa. Pulau-pulau kecil yang jumlahnya lebih dari 17.000 bukan sekadar gugusan daratan di lautan, melainkan simpul ekologi, budaya, ekonomi, dan kedaulatan nasional.
Ironisnya, pulau-pulau kecil justru kerap dipandang sebagai komoditas pasar bebas yang bisa diperjualbelikan, bukan sebagai ekosistem rapuh yang menopang kehidupan komunitas lokal.
“Kapitalisme global menukar pulau kecil dengan uang, menukar ekologi dengan laba.”
Dalam perspektif sosiologi kritis, fenomena ini mencerminkan hegemoni kapitalisme global yang menempatkan pulau kecil hanya sebagai prIvate property.
Proses ini menegasikan hak sosialekologis masyarakat adat, nelayan kecil, dan perempuan pesisir yang selama ini hidup dari dan menjaga pulau-pulau kecil.
Dominasi modal yang dilegitimasi negara menunjukkan relasi kuasa timpang dalam struktur sosial kita. Padahal, pulau kecil adalah benteng geopolitik NKRI, bukan hanya obyek bisnis. Ketika dilepas ke pemodal asing, fungsi strategisnya melemah dan kedaulatan wilayah pun terancam
Ekologi Strategis yang Terlupakan
“Paradigma modernisasi menjadikan pulau kecil sekadar ruang eksploitasi.”
Pulau-pulau kecil memiliki peran ekologis strategis: mangrove, lamun, dan terumbu karang di sekitarnya menopang keanekaragaman hayati, melindungi pantai dari abrasi, dan menjadi habitat pembiakan ikan karang yang menopang ekonomi subsisten masyarakat pesisir.
Potensi wisata bahari dan kulturalnya pun diakui dunia. Namun pendekatan pembangunan yang dominan masih bertumpu pada paradigma modernisasi yang memandang pulau kecil sebagai periphery untuk ditransformasikan lewat pariwisata massal, pertambangan, atau budidaya industri.
Tanpa pendekatan community-based development, pembangunan hanya menimbulkan kemiskinan baru, degradasi ekosistem, dan ketimpangan struktural.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.39/MEN/2004 telah menetapkan bahwa bidang usaha di pulau-pulau kecil yang terbuka bagi investasi meliputi budidaya laut (mariculture), kepariwisataan, industri perikanan, penyediaan air bersih, resor dan restoran,
pertanian, peternakan, perkebunan, serta energi dan sumberdaya mineral. Namun investasi ini tidak boleh sekadar mengejar pertumbuhan, melainkan harus tunduk pada daya dukung ekologis dan keadilan sosial.

Ilmu dan Data sebagai Fondasi Kebijakan
Konsep ini pertama kali dipopulerkan oleh Ian McHarg, arsitek lanskap dan perencana lingkungan dalam bukunya “Design with Nature” (1969).
Intinya, McHarg menekankan bahwa perencanaan pembangunan harus menghormati, melindungi, dan mendayagunakan kekuatan serta fungsi alam dengan cara yang paling mendukung keberlanjutan.
Di sinilah kebutuhan pengelolaan terpadu pulau kecil berbasis ekosistem menjadi keniscayaan. Pulau-pulau kecil dengan laut yang luas adalah himpunan integral komponen hayati dan nirhayati.
Jika salah satu rusak, maka keseluruhan ekosistem terganggu. Karena itu, setiap kegiatan di pulau kecil harus sesuai zonasi ekologi dan daya dukungnya.
Dampak negatif berupa pencemaran, sedimentasi, atau perubahan hidrologi harus diminimalkan. Kegiatan rekayasa fisik pun wajib tunduk pada prinsip design with nature.
Kearifan Lokal: Penjaga Sejati Pulau Kecil
Analisis kesesuaian ruang dan daya dukung ekosistem harus berbasis data ilmiah, pemetaan spasial (SIG), dan kajian biofisik. Dengan demikian, kawasan yang sangat sesuai, sesuai bersyarat, atau tidak sesuai dapat ditetapkan untuk skala prioritas, seperti konservasi, marikultur, pariwisata bahari berkelanjutan, atau pertanian ramah lingkungan.
Sebagai panduan hukum, PERPRES No. 34 Tahun 2019 dan PERMEN KP No. 8 Tahun 2019 menetapkan bahwa minimal 30% luas pulau harus tetap dikuasai negara untuk kawasan lindung atau kepentingan publik.
Sisanya boleh dimanfaatkan, tetapi pelaku usaha wajib mengalokasikan setidaknya 30% dari lahan yang digunakan untuk ruang terbuka hijau. Ini garis batas minimum agar ekosistem pulau tetap hidup.
Kearifan Lokal: Penjaga Sejati Pulau Kecil
“Mengabaikan kearifan lokal berarti menghancurkan jati diri maritim kita.” Dalam perspektif sosiologi budaya, pulau-pulau kecil memuat kearifan lokal seperti sasi di Maluku atau panglima laot di Aceh—nilai budaya yang menyeimbangkan pemanfaatan dan pelestarian.
Komodifikasi pulau kecil menjadi resort privat tanpa penghargaan pada kearifan ini sama saja dengan memutus rantai budaya dan identitas masyarakatnya.
Ekologi Sosial dan Masa Depan Maritim
Ekologi sosial mengingatkan kita bahwa ekosistem, masyarakat lokal, budaya, dan kebijakan harus berjalan selaras. Pemanfaatan berlebih tanpa batas ekologis akan menghancurkan basis ekonomi lokal yang justru hendak dibangun.
Pulau kecil mestinya dipertahankan dan dikembangkan sebagai ruang hidup lestari, pusat budaya bahari, dan benteng geopolitik.
Jika negara terus membiarkan pulau-pulau kecil dijual bagai komoditas pasar bebas, maka kita kehilangan benteng ekologi, integrasi wilayah, dan harga diri sebagai bangsa maritim.