Posisi Sulsel Merosot sebagai Produsen Kakao Nasional, Darwis Ismail: Jalankan Agroforestri Terpadu

  • Whatsapp
Darwis Ismail (dok: istimewa)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID – Ketua Kerukunan Keluarga Luwu Raya Jabodetabek Darwis Ismail memberi perhatian pada komoditi kakao yang diproduksi dan diolah di kawasan itu.

Hal tersebut disampaikan Darwis saat ditanya media ini terkait atensinya sebagai Bacaleg DPR Ri dari Dapil 3 Sulawesi Selatan.

“Sudah lama saya menaruh perhatian pada komoditi luar biasa seperti kakao ini. Sejak masih mahasiswa saya melihat bagaimana warga kita di Luwu Raya memanfaatkannya untuk menyambung kehidupan,” ujar Darwis, Jumat, 21/7.

Menurut dia, kawasan seperti Luwu yang meliputi Belopa, Bajo, Ponrang, Kamanre merupakan sentra kakao.

“Demikian pula Luwu Utara yang punya kawasan potensial seperti Bone-Bone, Mappedeceng hingga Malangke, bahkan hingga Luwu Timur, dan sejumlah kecamatan di Pinrang,” sebutnya.

“Maksud saya, kakao ini sudah lama jadi sandaran ekonomi warga. Tapi kalau mendengar ceritanya bahwa dari hari ke hari produksi anjlok, dari tahun ke tahun persoalan penyakit masih menjadi kendala produksi, rasanya kita bisa simpulkan ada yang tidak beres di pengelolaannya,” jelasnta.

“Kementerian terkait yaitu Kementerian Pertanian, terutama Dinas seperti Perkebunan di daerah harusnya punya formula menuntaskan persoalan itu,” harapnya.

“Kalau perlu ada lahan tertentu yang menjadi laboratorium riset dan pengembangannya. Tentu dalam skala luar, bukan asal-asalan. Saya  kira perlu memang revitalisasi usaha perkebunan kakao ini, perlu serius,” ujarnya.

Darwis memperoleh data,  beberapa tahun lalu, Sulsel masih menjadi daerah penghasil kakao terbesar di Indonesia dengan produksi rerata sebesar 184.000 ton per tahun.

“Produktivitas kakao Sulsel terus turun, bahkan ke posisi ketiga secara nasional. Pada tahun 2020 lalu, produksi kakao Sulsel mencapai 118.148 ton,” ungkapnya.

Dia menyebut produksi itu dipasok dari luas lahan 196.378 hektare atau 13,1 persen dari luas lahan kakao nasional yang mencapai 1,5 juta ha.

“Sulsel ini di bawah Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Dulu ndak gitu,” ujarnya.

Menurut Darwis, sejumlah kolega di Luwu Raya menyebut anjloknya produksi kakao di Sulsel itu dipicu sejumlah persoalan.

“Ada yang bilang perubahan iklim, usia tanaman apkir,kapasitas petani kakao yang lemah, dan manajemen tanam yang amburadul, tidak seperti dulu. Petani setengah-tengah karena tak gagal karena penyakit,” ucapnya.

“Banyak juga yang beralih ke tanaman pangan yang dinilai memiliki keekonomian lebih tinggi disertai peremajaan relatif lebih cepat,” tambahnya.

“Pendeknya, kalau kita semua memandang kakao masih memiliki prospek yang besar untuk bisa kembali sebagai komoditas unggulan Sulsel harusnya Pemerintah Daerah perlu mengalokasikan anggaran yang maksimum,” tegas dia.

Data dari The World Cocoa Foundation mengindikasikan adanya peningkatan kebutuhan kakao sebesar 3 persen per tahun secara global selama beberapa dekade terakhir.

Analisis dari Cocoa Barometer pada 2020 mengindikasikan adanya defi sit pemenuhan kebutuhan kakao sekitar 500 metrik ton di kawasan Asia sendiri.

“Inilah peluang itu, sekarang kembali ke kita semua, serius gak nih?,” tanyanya.

“Saya kita tidak salah kalau perlu kesepakatan bersama mendorong apa yang disebut sistem agroforestri perkakaoan yang terpadu dan bisa dmonitor dengan baik progressnya,” tambahnya.

“Mari jalankan program Agroforestri Kakao Terpadu. Jangan setengah-tengah,” sarannya.

“Coba buat sistem terpadu, mengelola kawasan perkebunan dengan mengisinya sejumlah komoditi, kakao dengan kopi, atau dengan kelapa, atau dalam kebun ada kolam ikan air tawar? Kakaoi tumbuh, menghasilkan, petani juga bisa dapat pemasukan ganda,” ujarnya.

“Kan ini menarik kalau ada sumber daya untuk biayai, bisa APBN atau APBD,” katanya.

“Nah pada saat yang sama peneliti dan kembangkan pula cloning benih baik, riset pun harus simultan,” imbuhnya.

“Saya juga berharap ke depan Pemerintah juga tidak abai pada ketersediaan pupuk petani kakao seperti KCL, Urea hingga NPK-Zn. Ini sangat vital, jangan seperti sekarang ini, petani harus bersitegang dengan penyalur baru dapat,” tutup dia.

 

 

Related posts