KOLOM Sudirman Nasir: Ayo berlebaran dengan nikmat dan tetap sehat

  • Whatsapp
Sudirman Nasir, Ph.D (dok: istimewa)

DPRD Makassar

Fenomena kelebihan berat badan, overweight, dan kegemukan  atau obesitas memang meningkat jauh lebih banyak dibandingkan dasawarsa-dasawarsa lalu.

Sudirman Nasir.Ph.D

Read More

 

PELAKITA.ID – Lebaran Idul Fitri menjelang. Banyak orang telah berbondong-bondong mudik, pulang ke kampung halaman dan berkumpul dengan keluarga. Lebaran memang adalah hari raya dan hari bersuka-ria.

Selain bersilaturahim pada saat lebaran tentu juga akan terhidang banyak makanan. Tidak jarang lebaran bahkan menjadi ajang   “balas dendam” memakan berbagai makanan (khususnyaa kuliner yang dirindukan) selama mudik.

Lebaran memang saat di mana pada banyak keluarga makan berlebih sehingga sebagian orang kebablasan tidak mampu mengontrol pola makannya.

Lumrah ditemui pada saat lebaran banyak orang makan dengan jumlah yang jauh lebih banyak,  baik dari segi porsi, jenis maupun frekuensinya.

Kita cenderung banyak menyantap makanan bersantan, berlemak  dan manis, seperti opor ayam, rendang, gulai kambing, gorengan, kue, dan berbagai macam minuman.

Dalam konteks kuliner Sulawesi Selatan tentuI muncul burasa, nasu likku, coto, ketupat pallubasa lalu ditutup dengan “cuci mulut” tape ketan (tape atau Gambang). Serba enak dan manis.

Ironisnya, sayuran dan buah-buahan cenderung menghilang atau sangat berkurang pada saat lebaran.

Akibatnya adalah asupan makanan kita tidak seimbang dan kita seringkali kelebihan asupan kalori, lemak dan gula namun kekurangan serat. Ini bisa memicu berbagai risiko kesehatan seperti terjadi gangguan saluran pencernaan dan meningkatnya berat badan yang mengarah pada kegemukan.

Fenomena kelebihan berat badan (overweight) dan kegemukan (obesitas) memang meningkat jauh lebih banyak dibandingkan dasawarsa-dasawarsa lalu.

Fenomena ini bisa ditemui di kota-kota maupun di desa-desa, di pemukiman kalangan atas maupun kalangan menengah dan bawah.

Ahli gizi Barry Popkin dari Universitas North Carolina (Chapel Hill) Amerika Serikat pada tahun 2007 lalu menerbitkan tulisan penting di Scientific American berjudul “The World is Fat” (Dunia yang Tambun).

Ia menegaskan, “saat ini bukan saja telah lebih banyak orang yang mengidap kegemukan dibandingkan yang kelaparan, namun bahkan ada lebih banyak orang kegemukan di negara-negara berkembang dibandingkan orang-orang kelaparan di negara-negara yang sama”.

Popkin bahkan turut memperkenalkan istilah baru yakni “globesity” (globesitas) yang menandakan semakin mendunianya masalah kegemukan ini.

Saat ini di Tanah Air, kita menghadapi tantangan berat beban ganda terkait masalah gizi masyarakat.

Seperti negara-negara berkembang lainnya, kita masih menghadapi masalah kekurangan gizi bahkan gizi buruk (deficiency, undernutrition), namun juga telah menghadapi masalah kelebihan gizi (overnutrition), kelebihan berat badanbahkan kegemukan.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (2010) menunjukkan jumlah anak balita penderita gizi buruk mencapai 17 persen, sedangkan jumlah balita penderita obesitas sudah 14 persen (pada 2007 hanya 12.2 persen). Bahkan pada kelompok usia di atas 15 tahun, kejadian kegemukan sudah mencapai 19 persen.

Perlu kita ketahui bahwa kegemukan terjadi akibat ketidakseimbangan antara energi yang dimasukkan ke dalam tubuh dibanding energi yang dibakar.

Kegemukan seringkali disebabkan oleh pola makan berlebih-lebihan, aktifitas fisik yang kurang, maupun karena terkait dengan genetika dan hormonal (bila seorang anak lahir dari keluarga yang mengalami kegemukan, biasanya secara genetik ia juga lebih mudah mengidap kegemukan).

Seseorang disebut kegemukan apabila memiliki indeks massa tubuh (IMT) lebih besar atau sama dengan 30. IMT diperoleh dengan cara membagi berat badan (kg) dengan kuadrat dari tinggi badan (meter).

Semakin banyak penelitian mengaskan bawah kegemukan membuat seseorang menjadi lebih rentan mengidap aneka penyakit, khususnya penyakit-penyakit tidak menular seperti diabetes mellitus, penyakit-penyakit jantung dan pembuluh darah maupun keganasan/kanker.

Sudirman Nasir bersama istir, Dr Nana Saleh dan putranya Rifqy saat berlebaran di Kampung Halaman Soppeng (dok: istimewa/FB)

Namun selain aspek-aspek biomedis di atas, tidak kalah pentingnya memahami lebih baik determinan sosial-ekonomi masalah kegemukan ini.

Banyak orang misalnya sering salah menilai kegemukan sebagai salah satu tanda kemakmuran atau kesejahteraan ekonomi dan lebih banyak terjadi pada orang-orang yang memiliki status sosial-ekonomi tinggi, padahal kian banyak penelitian menunjukkan kalangan miskin dan terpinggirkan justru lebih rentan menderita kegemukan.

Kesenjangan ekonomi yang makin lebar (antar negara maupun di dalam suatu negara) membuat semakin minimnya pendapatan individu dan keluarga miskin yang kemudian memaksa mereka lebih banyak mengonsumsi makanan tinggi energi dan lemak.

Pemenuhan gizi seimbang (terpenuhinya serat, vitamin, mineral dan zat-zat gizi mikro lainnya) menjadi sangat terkendala.

Pengetahuan mereka mengenai perlunya pemenuhan gizi seimbang juga umumnya rendah. Pada saat yang sama panetrasi dan keterjangkauan makanan dan minuman yang kadar gulanya besar (berbagai jenis soft drink, minuman kemasan) di kalangan ini semakin tinggi.

Jajanan-jajanan tinggi kalori, terutama berupa gorengan juga semakin menjadi pilihan kalangan miskin dan menengah-bawah, karena murah, mengenyangkan, terasa enak dan praktis.

Pengalaman negara-negara maju di Amerika Utara, Eropa Barat, Australiadan Jepang menunjukkan, meskipun pada mulanya kelebihan berat badan dan kegemukan juga sempat meningkat di kalangan menengah, namun dalam waktu tidak terlalu lama terjadi perubahan perilaku untuk mengatasinya.

Akses kalangan ini pada informasi kesehatan, dukungan kesehatan dan gizi seimbang untuk mengatasi kegemukan jauh lebih besar.

Biaya sosial-ekonomi akibat kesakitan, perawatan dan kematian dini akibat kegemukan sangat besar dan semakin membebani anggaran negara kita yang terbatas.

Untuk mengatasi hal ini, intervensi struktural yang terpadu dan lintas-sektoral (bukan hanya dari instansi kesehatan), untuk mengurangi kerentanan sosial-ekonomi dan kesehatan kalangan miskin (antara lain meningkatkan pendapatan, daya beli, pendidikan dan akses ke informasi dan fasilitas kesehatan) mutlak diperlukan.

Di tingkat rumah tangga, sangat penting menanamkan kebiasaan memakan makanan bergizi seimbang sedini mungkin, khususnya bagi anak-anak. Kebiasaan memakan makanan seimbang adalah warisan terbaik untuk kesehatan anak-anak kita.

Mitos bahwa makanan bergizi seimbang itu harus mahal dan sulit disiapkan harus dilawan.

Momentum bulan Ramadhan dan lebaran seharusnya kita gunakan supaya kita hidup lebih sehat. Untuk itu kita perlu menyesuaikan pola makan pada saat lebaran dengan sedapat mungkin kita tetap memakan makanan yang bergizi seimbang.

Sangat baik apabila buah-buahan dan aneka sayuran tetap kita siapkan selama lebaran. Memanfaatkan buah-buahan dan sayuran lokal yang tersedia di sekitar kita jauh lebih baik lagi.

Asupan gizi seimbang akan mencegah terjadinya kelebihan berat badan dan kegemukan yang juga berarti mencegah banyak penyakit. Selamat berhari raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin.*


Penulis: Sudirman Nasir, Ph.D |
Pengajar dan peneliti di Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar.

Related posts