ALUMNI INSPIRATIF: Jalan pengabdian Syamsuddin Alimsyah di ranah antikorupsi

  • Whatsapp
Abraham Samad dan Syamsuddin Alimsyah (dokL Tribunnews)

DPRD Makassar

Pelakita.ID mewawancarai alumni Universitas Hasanuddin yang disebut menginspitasi jagat pembangunan daerah melalui aksi-aksi advoksi sosial, ekonomi dan lingkungan. Kali ini, giliran Syamsuddin Alimsyah, pendiri Komite Pemantau Legislatif dan merupakan alumni Sastra Unhas.

MAKASSAR, PELAKITA.ID – Jika sosodara kerap membaca berita di media mainstream Kota Makassar tahun 2000-an, nama Syamsuddin Alimsyah kerap wara-wiri dari tajuk berita hingga forum-forum advokasi perencanaan dan penganggaran pembangunan daerah.

Saat itu, mengemuka arus bawah untuk mengecek dan melacak ke arah mana anggaran dialokasikan oleh pihak eksekutif dan legislatif.

Apakah sudah memenuhi kaidah transparasi dan akuntabilitas, itulah perjuangan Syamsuddin Alimsyah kala itu.

Saat Syamsuddin beraksi di Makassar untuk menagih laporan penganggaran APBD, maka itu direspon oleh penggiat serupa di daerah, katakanlah, seperti Selayar untuk ikut menekan DPRD agar terbuka membeberkan alokasi anggaran dan peruntukan. Seperti itu dampak perjuangannya.

Itu kesan penulis pada sepakterjang KOPEL di Makassar kala itu.

Syam, begitu kita menyapanya, adalah pejuang antikorupsi dari organisasi Komite Lembaga Legislatif KOPEL yang berbasis di Makassar saat itu.

Mahasiswa Sastra bernomor stambuk 9407127 ini menjadi daya tarik tersendiri karena aktif menjadi ‘penelisik anggaran’ DPRD Sulsel termasuk DPRD kabupaten-kota lainnya.

Pria kelahiran Bulukumba pada 8 November 1975 itu adalah alumni Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, Jurusan Sastra Indonesia tahun 1999. Tidak butuh waktu lama untuk dapat pekerjaan setelah merampungkan kuliahnya di Kampus Merah.

Bersama Abraham

Nama Syamsuddin Alimsyah saat itu kerap disandingkan aktivis Abraham Samad yang mendirikan  Anti Corruption Committee atau ACC, pilihan yang kemudian mengantar Abraham Samad sebagai Ketua KPK bertahun kemudian.

“Iya, kami berteman, melakoni profesi dan perhatian yang sama, anti korupsi, demokrasi dan hak azasi manusia sejak dulu,” aku Syam saat dihubungi Pelakita.ID, Kamis, 26 Januari 2023.

“Tahun lalu bersama Pak Abraham Samad kami mendirikan organisasi ASA Indonesia,” ungkapnya. “Saya didapuk jadi Ketua Yayasan ASA Indonesia yang bergerak di isu Anti Korupsi, Perlindungan HAM dan Demokrasi,” terangnya.

Kepala Pelakita.ID, dia menceritakan perjalanan karirnya. Jejak yang bisa menjadi inspirasi bagaimana alumni Unhas masuk di palagan profesi yang selalu hangat dan menantang: anti korupsi!

Jalan karir

 “Saya mulai aktif di dunia NGO pada tahun 2000 dan menjadi pendiri Lembaga Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Indonesia,” ucapnya.

Menurut Syam, KOPEL adalah sebuah NGO atau LSM yang fokus melakukan pemantauan kinerja pemerintahan di daerah.

“Sebelum di KOPEL,  antara tahun 1996 higga 2003, saya  aktif  sebagai jurnalis di Harian Berita Kota,” kenangnya.

“Dengan berbekal sebagai wartawan, sekarang ini juga aktif menulis opini tentang pemerintahan dan kebijakan publik, baik di media nasional maupun lokal., termasuk menulis buku-buku panduan  penguatan kapasitas DPRD dan Pendampingan Masyarakat di Desa,” jelasnya.

Bersama KOPEL, Syamsuddin mengaku ikut aktif mengadvokasi kebijakan yang fokus memberi perlindungan bagi kelompok marginal, buruh, tani perempuan termasuk dengan masyarakat tergolong kurang beruntung.

“Tahun 2007 hingga 2008, menjadi leader inisiatif pembentukan Ombudsman Kota Makassar yang menangani keluhan warga terhadap pelayanan publik,” ujarnya.

Dia juga aktif mendampingi beberapa daerah dalam membentuk perda-perda yang berkaitan pelayanan publik kesehatan dan pendidikan.

Dalam tahun 2015,  Syam didapuk sebagai trainer bagi  Pendamping Desa yang difasilitasi oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

“Di tahun yang sama, saya juga menjadi konsultan Pembelajaran dari Inovasi Perempuan Miskin untuk Penguatan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan oleh KGCK-MAMPU,” ungkapnya.

Dalam kapasitas tersebut, Syam menyebut ikut membantu enam desa menyusun Perdes tentang Tanggungjawab Desa dalam persoalan kesehatan dan pendidikan.

“Salah satunya, Desa Wolwal  Kecamatan Alor Barat NTT berhasil mendapat penghargaan dari Kemendes karena inovasinya terlibat dalam mengatasi persoalan pendidikan di desanya,” ucap Syam.

Jejak pengabdian Syam pada demokratisasi, penguatan kapasitas para pemangku kepentingan pembangunan daerah dapat terbaca pada kiprahnya di beberapa proyek prestisius.

Dia pernah menjadi konsultan penguatan kapasitas legislatif di beberapa Lembaga Donor seperti BASICS – DFTAD (2011 hingga 2015).  DRSP-USAID (2011 hingga 2012) dan  LGSP- USAID tahun 2009 hingga 2012.

“Pernah pula sebagai penanggungjawab program kerja sama KOPEL dan Uni Eropa tahun 2009 hingga 2012,” ungkap Dewan Pembina KOPEL Indonesia ini.

“Saat ini, aktif mengadvokasi program sekolah aman dan nyaman di Kabupatan Bogor, Jawa Barat,” pungkas Syamsuddin Alimsyah.

Tentang KOPEL

Komite Pemantau Legislatif yang selanjutnya disebut dengan KOPEL Sulawesi yang pada perkembangan selanjutnya berubah nama menjadi KOPEL Indonesia merupakan  lembaga Non Government Organication (NGO) didirikan pada tanggal 10 Maret 2000.

KOPEL berkedudukan di Kota Makassar berdasarkan dengan Akte Notaris Widartiningsih Nomor 13 tertanggal 29 Mei 2000 yang selanjutnya diperbaharui dengan Badan Hukum Yayasan dengan nama “Yayasan Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Indonesia” pada notaris yang sama dengan Nomor: 18 tertanggal 23 Mei 2019.

KOPEL terdaftar pada Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 194/D.III.3/VIII/2009 dengan beberapa kali perpanjangan terakhir dengan nomor: 01-00-00/095/D.IV.1/XI/2015 tertanggal 16 November 2015.

KOPEL didirikan oleh sejumlah aktivis angkatan tahun 1998 yang terdiri dari mahasiswa dan jurnalis yang saat itu banyak melakukan peliputan di DPRD Provinsi Sulawesi Selatan.

Latar belakang pendirian lembaga ini cukup sederhana, ingin melihat lembaga wakil rakyat berfungsi sebagaimana mestinya.

DPRD sebagai wakil rakyat benar-benar difungsikan, tidak hanya sekadar stempel dan justifikasi sebuah kebijakan yang dipaksakan oleh eksekutif untuk disetujui oleh DPRD sebagai wakil rakyat. Fenomena ini terjadi pada masa Orde Baru.

Di lain pihak, pasca reformasi dengan lahirnya berbagai kebijakan setelah tumbangnya Orde Baru, DPRD dipandang semakin kuat.

Dengan kewenangan lebih yang diberikan kepada DPRD dengan kapasitas yang lemah akibat dari rekruitmen politik oleh partai poitik dengan hanya mengandalkan ketokohan dengan suara terbanyak tapi minim kapasitas, mengakibatkan kehawatiran di kalangan aktivis dan kelompok masyarakat sipil akan lahirnya berbagai kebijakan yang tidak pro rakyat.

Berdasarkan dengan pertimbangan tersebut, sejumlah jurnalist dan mahasiswa angkatan 1998 membentuk Komite Pemantau Legislatif yang kerap disebut KOPEL Sulawesi yang dalam perkembangannya berubah nama menjadi KOPEL Indonesia.

Oleh karena itu, KOPEL sesuai dengan namanya mengkonsentrasikan diri pada perbaikan tata kelola pemerintahan agar menjadi lebih transparan, partisipatif dan akuntabel melalui penguatan dan pemantauan di DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).

 

Editor: K. Azis

 

 

 

 

Related posts