Pelakita Trip: Kepulauan Tanimbar, rumah nyaman perantau Bugis – Makassar

  • Whatsapp
Kota Saumlaki, Kabupaten Kepulauan Tanimbar (dok: K. Azis)

DPRD Makassar

Di Kota Saumlaki – lidah orang Makassar menyebut Samalaki –  di Pulau Yamdena Tanimbar, di batas Indonesia – Australia, penulis bertemu peracik coto dan konro Daeng Nenra asal Tanralili Maros. Di pasar ada Haji Longi asal Ulaweng yang berjualan pakaian serta Tajuddin asal Madello Bone si perental mobil.

____
PELAKITA.ID – Pembaca sekalian, sudah pernah mendengar nama Kota Saumlaki? Kalau Kabupaten Kepulauan Tanimbar? Iya, Saumlaki adalah ibu kota Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku, dulu bernama Kabupaten Maluku Tenggara Barat.

Penulis sudah empat kali ke sini. Mmenempuh perjalanan udara menuju Kota Saumlaki, Kepulauan Tanimbar dari Jakarta melewati Makassar, Ambon lalu lalnjut dengan penerbangan pesawat kecil semisal Wings Air.

Read More

Pengalaman pertama adalah dalam tahun 2017 ketika diminta menjadi konsultan penjajakan potensi dan pengembangan budidaya rumput laut bersama Destructive Fishing Watch Indonesia yang mendapat mandat dari PT Inpex untuk komponen CSR.

Hamparan darat dan laut Tanimbar (dok: K. Azis)

Saumlaki adalah kota yang indah. Tak terlalu luas tetapi dikelilingi pantai dan laut yang elok.

Di daerah ini pula saya menyaksikan bagaimana orang-orang Bugis – Makassar berdiaspora ekonomi dan menggantungkan mata pencaharian pada sumberdaya alam tersedia. Sebagai nelayan, pedagang, peracik coto hingga jadi tukang jahit di jantung kota.

Pasar-pasar dan pusat kuliner di Saumlaki banyak diwarnai pendatang dari Kota Makassar, Kendari dan ‘migrasi Bugis-Makassar’ dari kota-kota sekitarnya seperti Ambon, Tual hingga Langgur bahkan Timor-Leste.

Di kota ini, saya menyaksikan Patung Soekarno, menjadi saksi bagaimana Masjid Baiturrahman tegak berdiri bersama gereja-geraja yang indah dan menjulang.

Saya kira, Kepulauan Tanimbar adalah rumah yang nyaman bagi perantau atau bagian dari diaspora ekonomi Bugis – Makassar juga yang lain.

Salah satu momen yang tak terlupa adalah saat menyiapkan rencana kunjungan Dirjen PDTT Dr. Suprayoga Hadi di Desa Lermatang, Kecamatan Tanimbar Selatan, Maluku Tenggara Barat dalam bulan Oktober bulan Maret 2017. Di momen ini saya menyaksikan bagaimana warga setempat menggelar aksi bakar batu untuk memasak umbi-umbian dan ikan.

Jalur dari Lermatang ke Latdalam juga eksotik. Menyaksikan hutan-hutan purba dan masih lebat.

Pantai Latdalam (dok: K. Azis)

Saya sungguh menikmati interaksi dengan warga Desa Lermatang dan Latdalam itu. Di antara dua desa ini saya menyaksikan para pedagang sarung asal Bugis datang mencari rezeki. Membeli rumput laut dan menawarkan jam dinding hingga barang-barang elektronik lainnya.

Kedua desa ini adalah desa penting di Pulau Yamdena. Lermatang ditempuh selama 30 menit perjalan ke barat Saumlaki sementara Latdalam ditempuh kurang lebih 2 jam. Semoga jalan antara Saumlaki dan Latdalam sudah bagus. Saat ke sana, masih dalam kondisi pengerasan.

Bersua orang Bugis Bone

Hingga kedatangan keempat saya di Kota Saumlaki, coto Makassar di warung dekat pelabuhan laut ini sungguh menggoda.

Sensasi berbeda terasa ketika menjajal konronya. Konro kerbau, meski daging lebih berserat ketimbang daging sapi namun lembut lunak di lidah. Kuahnya juga mantap khas konro yang kaya rempah.

Perahu nelayan di Saumlaki, mirip perahu dari Kota Makassar (dok: K. Azis)

Pemilik warung Coto Konro itu bernama Daeng Nenra, dia mengaku orang Maros.

“Saya asal Tanralili, Maros. Setelah gagal buka warung di Tobelo, Ternate, saya menemukan semangat berusaha lagi di Saumlaki,” katanya saat ditemui dalam bulan Agustus 2016.

Sudah dua kali menjajal konronya, rasanya jadi pembuktian bahwa konro asuhan lelaki asal Batimurung, Maros, Sulsel ini pantas disandingkan dengan konro terbaik di tanah Makassar.

Di bandara Saumlaki saya bertemu perantau asal Bone. Namanya Tajuddin.  “Lahir dan besar di Kampung Madello, Bone, sudah 15 tahun di Kota Saumlaki. Sempat bersekolah di SMA 6 Makassar namun tak selesai,” ucap Tajuddin.

Dia mengaku sampai di Saumlaki bersama pamannya. “Saya memilih ke Saumlaki menumpang kapal laut. Bukankah setiap kita adalah pejalan,” katanya waktu itu.

Tajuddin (ujung kanan)

Tajuddin bermukim di Saunlaki dan menyebutnya sebagai pilihan. “Saya bertemu jodoh dengan perempuan Bugis bernama Nurlaela kelahiran Pulau Larat, pulau perbatasan dengan Australia.” ucapnya.

Taju menyebut, keluarga Nurlaela adalah juga ‘Passompe’, “Ayahnya Bugis pedagang. Sekarang saya tinggal bersama empat orang anak di rumah yang masih dikontrak di  Saumlaki,” ungkapnya.

Dia mengaku meski sudah belasan tahun tinggal di Saumlaki dan punya usaha rental mobil, dia selalu kembali ke kampung halaman, Madello.

“Rindulah yang membuat saya harus pulang,” ucapnya. Dia bercerita awalnya hendak ke Ambon tapi pengembaraannya berujung rasa betah di Saumlaki.

“Saya ke Ambon lalu ke Tual. Sekarang di Saumlaki, sekarang punya tiga mobil cicilan yang dia rentalkan. Kalau bapak ibu ke Saumlaki dan butuh mobil sewa, hubungilah pak,” katanya.

Penulis di depan warung coto milik warga Tanaralili Maros (dok: K. Azis)

Bertemu orang Bugis, Makassar, Bajo juga saya alami di Pasar Saumlaki. Saya bertemu orang Bone  Ulaweng bernama Haji Longi. Dia berdagang pakaian. Hendak beli handuk setelah selesai makan malam dengan beberapa kolega. Pemilik ikan bakar pun asal Kota Makassar.

“Saya ke sini 10 tahun lalu, dan saat ini masih menyewa lahan dan took ini dari pengusaha lain,” ujarnya.

Satu hal yang kerap terlihat di perbatasan Maluku Tenggara Barat dan Australia ini adalah kita acap melihat pesawat-pesawat dari selatan Indonesia melintasi wilayah teritori kita. Salah satunya pesawat ini yang saya teropong dari daratan Pulau Tanimbar.

Dugaan saya, ini adalah pesawat komersil yang kalau masuk wilayah kita harus beri tanda asap seperti itu atau bisa jadi karena gesekan dengan udara dingin, entahlah.

Penampakan Konro Dg Nenra (dok: K. Azis)

Bermula dari PPKT

Dalam tahun 2016, saya berkenalan dengan beberapa fasilitator pendampingan dan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar (PPKT) yang dikelola oleh DFW Indonesia dan didukung oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Endev-GIZ di Jakarta.

Di forum itu, saya bersitatap dan berbagi cerita dengan 17 fasilitator pulau terluar, pria muda, perempuan belia. Mereka adalah belasan anak muda yang memilih bekerja di PPKT ini, mengemban amanah Jokowi-JK untuk Nawacita yang diidamkan, menjadikan Indonesia sebagai ‘Maritime Axis’ dunia.

Mereka memilih di tepian, dari Pulau Brass Papua hingga Enggano Bengkulu, dari Bepondi Supiori hingga Sebatik Nunukan. Dari Alor hingga Lingayan di Toli-Toli. Dari Marore hingga Larat di Maluku Tenggara Barat.

Dari pertemuan dengan mereka, saya jadi ingat tahun 1996 ketika pertama kali bekerja di LSM. Hilir mudik dari Paotere Makassar ke Taka Bonerate, selama 2 tahun pertama dalam suka duka. Ombak kencang, hujan badai, laut teduh, panas kemarau, angin timur dan barat.

Sejujurnya saya menyukai perjalanan itu, pengalaman itu, seperti tiada beban. Namun saat ini, saya memikirkan kembali fragmen itu dengan satu simpulan, bernyali juga saya ya waktu itu? Padahal ini masih organ dalam Indonesia, masih perairan di Sulawesi Selatan.

Bagaimana dengan mereka yang akan menyeberangi pulau besar dengan pesawat lalu menyebrangi pulau kecil berjam-jam dan jauh dari pusat Jakarta, mereka di tepi negara, di bibir Pasifik, di tepian Laut China Selatan hingga bersitatap dengan nelayan tetangga Filipina di Marore?

Penulis bersama Koordinator Nasional DFW Indonesia Andi Suhufan di Desa Lermatang (dok: istimewa)

Pulau Brass yang ditempuh dari Biak kemudian ke Supiori kemudian naik kapal (dan mungkin harus menunggu dua minggu untuk sampai). Atau di Kolepon di Merauke? Jauh nian, tapi inilah Indonesia kita yang luar biasa luas itu. Pun suku-suku berbeda. heterogen, karakter dan kebiasaan.

Indonesia dengan ragam budaya yang majemuk adalah tantangan bagi kaum muda itu. Keren bukan? Nah, dari kaum muda yang energik dan membanggakan ini saya sadar pula bahwa mengelola Indonesia terutama PPKT, kita tak hanya berani menghadapi dinamika alam laut yang kadang teduh, kadang bergejolak, tetapi juga karakter manusia yang amat beragam.

Tak ada yang mudah sebab mereka (para fasilitator PPKT itu) datang dari daerah yang berbeda, butuh adaptasi dan belajar sungguh-sungguh, untuk kemanusiaan dan masa depan bangsa.

Dari kaum muda itu, saya tahu persis arti mengabdi, untuk Indonesia yang mereka cintai. Mereka sangat siap menjadi bagian dari Indonesia, meski jauh di tepian nusa bangsa. Saya, mereka, kami di sini, semua merasakan getaran pengabdian itu.

 

Penulis: K. Azis

Related posts