Kekerasaan seksual berpotensi terjadi dalam situasi bencana

  • Whatsapp
Para peserta pelatihan KMPT (dok: istimewa)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID – Bercermin dari bencana alam yang terjadi di Palu, berdasarkan asesmen cepat yang dilakukan UNFPA menemukan fakta terjadinya Kekerasan Berbasis Gender (KGB).

Setidaknya terdapat 57 kasus Kekerasan Berbasis Gender dan dari jumlah tersebut, terhadap sebanyak 31 kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), 8 kasus pemerkosaan, 12 kasus pelecehan seksual dan lima kasus eksploitasi seksual. Bahkan terdapat kasus berpotensi Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Read More

Sebagian besar korban adalah remaja yang tidak menerima jatah konsumsi. Hal ini dipaparkan oleh Lusia Palulungan yang membawakan materi Kekerasan Berbasis Gender.

Berdasarkan pengalaman tersebut dan mencermati kondisi di daerah bencana di Masamba, Luwu Utara di mana hak perlindungan bagi perempuan dan pemenuhan hak anak membutuhkan perhatian lebih besar, maka Menteri Bintang telah melakukan Launching Sub Klaster Perlindungan Hak Perempuan dan Anak dari Kekerasan Berbasis Gender dalam Bencana yang telah difasilitasi pula pembentukannya oleh Kemen PPPA pada Agustus lalu.

Apresiasi diberikan atas terbentuknya Sub Klaster ini di Luwu Utara melalui SK Bupati Luwu Utara Nomor 188.4.45/392/IX/2020, tanggal 25 September 2020. Pembentukan Sub Klaster Perlindungan Hak Perempuan dan Anak dari Kekerasan Berbasis Gender dalam Bencana menurut Menteri PPPA merupakan salah satu strategi mengurangi resiko kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam situasi bencana.

Sebagai bentuk dukungan untuk pemulihan kembali pasca bencana, Kemen PPPA memfasilitasi berbagai kegiatan berupa Peresmian Posko Ramah Perempuan dan Anak, Pelatihan untuk Anggota Sub Kluster Perlindungan Perempuan dan Anak dari Kekerasan Berbasis Gender dalam bencana.

Lalu ada pelatihan bagi SDM Pengelola Pos Ramah Perempuan dan Anak (PRPA), pelayanan konseling psikososial bagi penyintas bencana, pelatihan keterampilan, pemenuhan kebutuhan spesifik perempuan dan anak, kebutuhan mandi, baju dalam anak laki-laki dan perempuan, kerudung anak, pemenuhan gizi anak, obat-obatan, perlengkapan sekolah dan alat tulis, perlengkapan masak, permainan anak, alat musik, mesin jahit, sarung, masker, dan sarana edukasi.

Sehubungan dengan hal tersebut, International Organization for Migration (IOM) Indonesia  selaku bagian dari Klaster Nasional Perlindungan Perempuan dan juga KoordinatorSub Klaster Koordinasi dan Manajemen Tempat Pengungsian bersama Kementerian Sosial RI juga tengah menjalan Program Respon Multi Pihak terhadap Pandemi Covid-19 khususnya yang terdampak bencana alam.

Upaya ini ditindaklanjuti IOM dengan mengadakan Pelatihan KMTP pada tanggal 6 – 7 April 2021. Namun disadari bahwa isu perlindungan sangat pentinguntuk menjamin perlindungan para pengungsi khususnya dari Kekerasan Berbasis Gender.

Sehingga, dilaksanakan pula pelatihan untuk memahami Isu Kekerasan Berbasis Gender dalam Kebencanaan. Kedua kegiatan ini dilaksanakan di Hotel Novotel Makassar.

Lokakarya multi pihak ini melibatkan pemerintah provinsi Sulsel, kabupaten Luwu Utara, organisasi masyarakat sipil, masyarakat terdampak bencana dan pihak lainnya. Tujuan dari Lokakarya ini salah satunya untuk mengantisipasi terjadinya dampak yang lebih besar bagi perempuan, anak, lansia dan disabilitas.

Dalam pemaparan, Kepala Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan, Muh. Hasan Basri Ambarala menyampaikan bahwa pentingnya mengidentifikasi kebutuhan spesifik dari perempuan, bayi, perempuan hamil, ibu menyusui, anak, lansia dan disabilitas sebagai kelompok rentan yang paling mengalami dampak dari bencana alam.

Sehingga, pendataan pengungsi baik di tempat pengungsian mandiri maupun di Huntara berdasarkan jenis kelamin, usia, kemampuan fisik/mental dan kondisi sosial lainnya menjadi sangat penting dilakukan. Hal ini agar bantuan, intervensi program dan upaya lainnya dalam rangka penanganan bencana dapat sesuai dengan kebutuhan dan tepat sasaran.

Related posts