Peneliti YKAN paparkan temuan tim monitoring kesehatan karang Bentang Laut Kepala Burung Papua pada webinar FIKP Unhas

  • Whatsapp
Peneliti YKAN Awaluddinnoer saat memaparkan hasil kajian bersama di Bentang Laut Kepala Butung Papua (dok: Pelakita.ID)

DPRD Makassar

Hasil Kajian tim monitoring kesehatan karang Bentang Laut Kepala Burung Papua yang terdiri dari Unipa, YKAN, TNC, WWF, CI, Pemda, dan mitra lainnya menemukan indikasi pemulihan ekosistem terumbu karang yang signifikan di Raja Ampat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir

 

Read More

PELAKITA.ID – Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP) Universitas Hasanuddin semarakkan atmosfer keilmuan jelang Dies Natalis mereka pada Januari 2021. FIKP menggelar webinar terkait Kesehatan Ekosistem Laut, 20 Oktober 2020.

Ada tiga narasumber berbagi pengalaman dan informasi melalui kanal daring Zoom yaitu Prof Zainal Arifin, M.Sc (Guru Besar Pencemaran Laut/LIPI), Awaludinnoer Ahmad, S,Kel, M.Si (tim kerja YKAN di Papua Barat) serta Guru Besar Pencemaran dan Toksikologi Laut Departemen Ilmu Kelautan FIKP Unhas, Prof Akbar Tahir, M.Sc.

Pelakita.ID mencaat beberapa poin penting dari paparan Awaludinnoer yang menyinggung upaya dan hasil pemantauan kondisi kawasan konservasi perairan di Raja Ampat bersama tim monitoring setempat.

Tim monitoring  dan perannya

Menurut Awaludinnoer yang biasa disapa Wawan ini, status ekologi jejaring Kawasan Konservasi Perairan KKP Raja Ampat 2010-2019 sangat relevan dengan apa yang dimaksud dengan kesehatan ekosistem laut pada tema webinar kali ini.

Menurutnya, YKAN, tempat dimana dia bekerja mendapat tugas untuk menjadi bagian dalam tim kegiatan monitoring kesehatan karang di kawasan tersebut.

“Kami menyediakan data, informasi tutupan karang dan struktur komunitas bentos termasuk biomassa perikanan kunci dan ikan herbivora,” katanya terjadi skop kegiatan di sana.

“Untuk pengambilan keputusan terbaik, kami melihat mereka (Pemda) membutuhkan data tentang tutupan data karang hidup dan struktur komunitas bentik dan biomass perikanan kunci dan herbivora. Pemerinah daerah butuh untuk menentukan  zonasi dan kebijakan pengelolaan kawasan,” jelas Wawan.

Secara umum, ada satu siklus manajemen dan monitoring yang sangat dinamis. “Banyak perubahan dalam 10-20 tahun terakhir, sesuai temuan di lapangan,” katanya.

Karena itu, hasil monitoring akan menjadi acuan dalam pengambilan keputusan pengelolalan kawasan konsersavasi perairan. “Analisis data, dan interpretasi data  kami melibatkan Pemda sebagai pengelola kawasan dan para saintis.”

Dia juga menyebut beberapa kawasan konservasi Raja Ampat yang menjadi obyek pemantauan yaitu Ayau di utara, di Teluk Mayalibit, Selat Dampier yang merupakan pusat ekowisata, dan selam, Kepulauan Fam,  ada pula Kofiau di barat, lalu di selatan ada Misool.

“Enam kawasan ini di bawah pengelolaan Badan Layanan Umum Daerah atau BLUD UPTD Raja Ampat Provinsi Papua Barat,” sebutnya. Yang menarik, tambah Wawan, dalam wilayah Raja Ampat itu masing-masing area berbeda.

“Kenapa penting dikelola sebab jika merujuk Devantier, tahun 2009, setiap kawasan memiliki karakteristik terumbu karang berbeda berbeda,” tambahnya.

Metode pemantauan

Pemantauan yang dilakukan oleh Tim monitoring BHS berbasis pada panduan Green dan Wilson (2009) serta Ahmadia et al (2003) yang mengukur tutupan karang dengan point intercept transect (Englsh et al), kemudian pendataan ikan, visual underwater, Choat dan Pears, 2003.

Pemilihan metode ini dianggap mudah dan relevan dengan situasi atau konstalasi Raja Ampat yang luas, punya karakteristik unik. “Kita mengkaji pada hampir 100-an lebih titik, belum lagi di bentang kepala Papua, Teluk Cendrawasih, Kaimana dan Fakfak,” tambahnya.

Yang menjadi cermatan Wawan dan timnya adalah persentasi tutupan karang hidup, biomassa ikan, kakatua hingga kulit pasir.

Berdasarkan pantauannya, dari tahun 2012 hingga 2018 di Waigeo, di kawasan no take zone, ada perbedaan dan sangat dinamis.

“Di tahun 2014 naik, dan di 2016 menurun 2018, terutama di no take zone meningkat, perubahan ini yang menjadi landasan bagi pengelolaan untuk kebijakan menentukan manajemen plan atau kawasan,” kata Wawan.

Bagin Wawan, apa yang dilakukan di Raja Ampat ini sangat relevan dengan pengelolaan kawasan. “Karenanya, perlu data dan analisis secara berkala. Seperti yang kita lihat pada ikan herbivora, pada surgeon fish, ada peningkatan drastis dan perlu dijawab,” harapnya.

Dia juga menjelaskan bahwa UNIPA juga melakukan kegiatan rutin, ada social monitoring dan menemukan bahwa kegiatan keagamaan berdampak pula pada intensitas tekanan pada ekosistem laut.

Fenomena lain yang dia paparkan adalah semakin meningkatnya tutupan karang. “Di jejaring KKP, ikan herbivora meningkat, ikan carnivora juga meningkat,” ungkapnya.

Dampak MPA

Salah satu respon dari berjalannya MPA adalah seperti apa dampak MPA dan bagaimana bisa merancang pembuktiannya.

“Kita merancang monitoring dengan memulai dari trend dan dampaknya. Termasuk membandingkan kondisi terumbu karang pada kawasan terkontrol dan tidak terkontrol. Kita juga melihat manajemen MPA dan kaitannya dengan dampak,” sebutnya.

Hasilnya, menurut Wawan, populasi karang di Raja Ampat mash stabil, hiu mudah ditemukan, demikian pula adanya pemulihan lokasi pemijahan ikan. “Ada beberapa schooling ikan-ikan besar di Misool, Ayau dan Dampier,” tambahnya.

“Bagaimana dengan terumbu karang? Ada yang baik, ada juga yang kena penyakit, ada sisa bom, ada coral bleacing meski masih kurang dari 1 persen,” sebut Koordinator Program YKAN di BHS ini.

“Perhatian ke depan, adalah pada macro algae yang tumbuh sangat cepat, demikian pula sponge, di Raja Ampat ada outbreaks Acanthaster plancii dan ternyata dari NOAA sudah ada peringatan sebanyak dua kali terkait ancaman pemanasan suhu air laut,” imbuh Wawan.

Hal yang lain yang disampaikan adalah polusi. “Semakin banyak orang datang semakin berimplikasi ke lingkungan,” ucapnya.

“Tantangan yang dihadapi saat ini adalah semakin banyaknya sampah dan limbah yang mengancam, selain itu, masih berlangsung destructive fishing, yang umumnya bergeser dari lokasi lain. Demikian pula kapasitas sumber daya manusia dan jumlah pemantau atau anggota tim monitoring yang perlu ditingkatkan jumlah,”katanya.

Alumni Ilmu Kelautan Unhas angkatan 2003 ini merekomendaiksn agar ke depan setelah mengembangkan sistem pengawasan yang efekif atas ancaman yang ada maka perlu perlu penambahan site kontrol.

“Karena yang ada saat ini akan menjadi kawasan konservasi. Kemudian perlu melakukan evaluasi sistem zonasi, dan terus melaksanakan riset kerjasam,” pungkasnya.

Related posts