Mohd Nur Sangadji | Memahami “Efek Purbaya” Melalui Pengetahuan Lokal dan Refleksi Akademik

  • Whatsapp
Illustration of the podcast

Walau sebagian kepala daerah merasa khawatir karena adanya pengurangan alokasi dana, Sangadji menilai hal itu wajar. Bagi dia, persoalannya bukan pada besaran anggaran, melainkan pada bagaimana dana yang ditransfer dari pusat benar-benar digunakan secara efektif di daerah.

Diskusi Daring | Rabu, 15 Oktober 2025 | 12.30–13.00 WITA

PELAKITA.ID – Diskusi daring bertajuk “Understanding the Purbaya Effect Through Local Knowledge and Academic Reflection” menghadirkan perpaduan antara wawasan akademik dan pengalaman lokal untuk membedah makna Efek Purbaya—sebuah istilah yang merefleksikan perubahan sosial, ekonomi, dan lingkungan dalam konteks regional.

Perbincangan yang dipandu oleh founder Pelakita.ID Kamaruddin Azis ini menyoroti manuver Menteri Keuangan Purbaya yang disebut berani dan bikin sejumlah pihak panas dingin, berikut dinamika di kawasan Sulawesi, di mana interaksi antara pembangunan, pertanian, dan ketahanan masyarakat membentuk narasi baru tentang tata kelola dan transformasi daerah.

Pembicara utama, M. Nur Sangadji, dosen Fakultas Pertanian Universitas Tadulako (Palu), membagikan refleksinya yang berangkat dari penelitian dan pengalaman panjang di bidang pembangunan wilayah.

Melalui paparannya, Sangadji menjembatani teori dan praktik dengan menegaskan bahwa kebijakan nasional hanya akan bermakna jika benar-benar memperkuat kapasitas lokal dan berdampak nyata di lapangan.

Menafsir Ulang Makna “Efek Purbaya”

Dalam pengantarnya, Nur Sangadji mengamati bahwa beberapa minggu terakhir publik ramai membicarakan apa yang ia sebut sebagai Efek Purbaya.

Banyak pihak, menurutnya, menunjukkan apresiasi dan optimisme terhadap langkah-langkah yang diambil oleh Purbaya untuk melakukan reformasi mendasar dalam tata kelola fiskal di Indonesia.

Ia menyoroti tiga prinsip utama pendekatan Purbaya: penyesuaian anggaran dengan kebutuhan nyata, pemanfaatan dana tepat waktu, dan pencegahan penyalahgunaan anggaran.

Walau sebagian kepala daerah merasa khawatir karena adanya pengurangan alokasi dana, Sangadji menilai hal itu wajar. Bagi dia, persoalannya bukan pada besaran anggaran, melainkan pada bagaimana dana yang ditransfer dari pusat benar-benar digunakan secara efektif di daerah.

Di sinilah Efek Purbaya menemukan maknanya—bukan sebagai hukuman bagi pemerintah daerah, melainkan dorongan menuju pengelolaan keuangan publik yang lebih efisien dan akuntabel.

Dari Tanah ke Sistem: Analogi Tata Kelola

Berdasarkan pengalamannya bekerja sama dengan pemerintah daerah dan lembaga internasional seperti UNDP, Sangadji mengilustrasikan pentingnya tata kelola yang baik dengan analogi pertanian.

“Dalam bertani,” ujarnya, “salah satu masalah utama adalah keasaman tanah. Anda tidak bisa meningkatkan produktivitas hanya dengan menambah pupuk jika tanahnya masih asam, karena unsur hara tidak akan terserap dengan baik. Tanahnya harus dinetralkan dulu.”

Dengan cara yang sama, sebelum pemerintah pusat menyalurkan anggaran besar ke daerah, sistem tata kelolanya harus lebih dulu ‘dinetralkan’—diperkuat dengan transparansi, akuntabilitas, dan kesiapan kelembagaan. Tanpa fondasi itu, sebesar apa pun dana yang digelontorkan tidak akan menghasilkan kemajuan berarti.

Dari Kemauan Politik ke Implementasi

Sangadji menjelaskan bahwa tata kelola yang efektif setidaknya melalui tiga tahapan: kemauan politik (political will), penganggaran politik (political budgeting), dan pelaksanaan politik (political implementation).

Banyak kebijakan, katanya, berhasil pada dua tahap awal namun terhenti di tahap implementasi. Di sinilah partisipasi masyarakat menjadi penting.

Pembangunan tidak boleh bersifat top-down semata, melainkan inklusif, menggabungkan inisiatif kelembagaan dan gerakan akar rumput. Hanya dengan cara itu kebijakan publik bisa benar-benar menghadirkan perubahan di kehidupan masyarakat.

Menata Ulang Pemanfaatan Sumber Daya

Dalam konteks ekonomi yang lebih luas, Sangadji mengutip pernyataan Prof. Jatna dari Universitas Indonesia: “Kita mengambil yang kecil, tapi menghancurkan yang besar.”

Ungkapan itu, jelasnya, menggambarkan bagaimana eksploitasi sumber daya alam jangka pendek—terutama sektor tambang—sering kali merusak aset jangka panjang seperti keanekaragaman hayati dan pertanian berkelanjutan.

Ia membedakan dua jenis sumber daya alam: yang bernilai jangka pendek (seperti tambang) dan yang bernilai jangka panjang (seperti pertanian dan ekosistem).

Bagi pemerintah daerah, ini berarti pengelolaan keuangan harus diarahkan pada penguatan produktivitas pertanian, peningkatan akses petani terhadap sarana produksi, dan pembenahan mekanisme pasar yang adil.

Menurutnya, jika dijalankan dengan baik, kebijakan Purbaya dapat menjadi pintu menuju pergeseran besar: dari ekonomi berbasis kapitalisasi menuju ekonomi berbasis sosialitas, di mana pertumbuhan dinikmati lebih merata oleh semua lapisan masyarakat.

Pembangunan Sebagai Tanggung Jawab Bersama

Nur Sangadji menegaskan bahwa pembangunan sejati harus berpijak pada kebutuhan masyarakat dan peka terhadap potensi bencana, baik alam maupun sosial. Program yang tidak menjawab persoalan nyata masyarakat, tidak bisa disebut pembangunan.

Ia menekankan pentingnya pelibatan warga dalam setiap tahap perencanaan dan pelaksanaan agar manfaat dan risikonya terbagi secara adil.

“Pembangunan,” katanya, “adalah tanggung jawab bersama—bukan hanya pemerintah, tapi juga masyarakat.”

Ia menutup bagian ini dengan refleksi sederhana namun bermakna:

“Di kelas kita belajar berpikir.
Di lapangan kita belajar bertindak.
Tapi di masyarakat, kita belajar hidup bersama.”
Bagi Sangadji, semangat kebersamaan inilah yang menjadi inti dari pembangunan yang berkelanjutan.

Keadilan, Kepemimpinan, dan Pemberdayaan Lokal

Diskusi juga menyinggung pentingnya keadilan pajak dan pembagian manfaat terutama di daerah kaya sumber daya seperti Sulawesi Tengah.

Meski banyak memberikan kontribusi melalui sektor tambang, masyarakat lokal kerap hanya memperoleh sedikit manfaat ekonomi. Karena itu, Sangadji menyerukan sistem yang lebih adil, transparan, dan berempati—sistem yang tidak hanya digerakkan oleh logika, tetapi juga oleh rasa keadilan.

Ia juga menyoroti masalah kepemimpinan. Meskipun Indonesia rutin melahirkan pemimpin baru, banyak di antaranya yang belum memiliki kesiapan strategis.

Karena itu, pendidikan politik, kelembagaan yang kuat, dan kolaborasi dengan universitas menjadi faktor penting dalam membentuk kepemimpinan yang visioner.

Di Sulawesi Tengah sendiri, kolaborasi antara akademisi dan pemerintah daerah dalam penyusunan dokumen kajian lingkungan strategis serta perencanaan pembangunan menjadi contoh sinergi ilmu pengetahuan dan kebijakan publik yang patut ditiru.

Refleksi Penutup

Diskusi singkat selama tiga puluh menit itu diakhiri dengan nada optimistis. Sangadji berharap dialog seperti ini terus berlanjut agar jembatan antara pengetahuan lokal, refleksi akademik, dan kebijakan nasional semakin kuat.

Ungkapan itu merangkum semangat sesi ini—terbuka, kolaboratif, dan berorientasi pada pembelajaran berkelanjutan. Sebuah semangat yang sejalan dengan upaya memahami dan mewujudkan makna sejati dari Efek Purbaya.

___
Penulis Kamaruddin Azis