Menguji Tambang Nikel Raja Ampat dengan Simulasi Oseanografi, Bukan Sekadar Jarak Udara

  • Whatsapp
Kenapa kita sungguh tega pada alam demi fulus? (dok: Istimewa/BBC)

PELAKITA.ID – Polemik tambang nikel di Raja Ampat kembali menjadi sorotan publik. Setelah Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa lokasi tambang PT Gag Nikel cukup jauh dari ikon wisata Raja Ampat.

Pulau Piaynemo—sekitar 30 hingga 40 kilometer—banyak yang menafsirkan pernyataan itu sebagai upaya meredakan kekhawatiran masyarakat akan dampak lingkungan.

Namun, dalam perspektif ilmu kelautan dan ekologi pesisir, jarak geografis di darat tidak serta-merta mencerminkan keterpisahan ekologis di laut.

Hemat penulis, laut bukanlah entitas yang statis dan terkotak-kotak, melainkan sistem yang hidup. Apa yang terjadi di Pulau Gag dampaknya bisa ke mana-mana. Efeknya menjalar, bergerak, dan saling terhubung oleh arus, gelombang, pasang surut, serta berbagai proses oseanografis lainnya.

Justru di sinilah letak urgensi pendekatan ilmiah yang lebih menyeluruh: bukan pada jarak lintas udara semata, melainkan melalui simulasi oseanografi kawasan.

Simulasi oseanografi memungkinkan kita memahami bagaimana air laut bergerak dan membawa partikel-partikel kecil seperti sedimen, logam berat, atau bahan pencemar lainnya dari satu wilayah ke wilayah lain.

Foto-foto menyedihkan dari Pulau Kabaena tentang dampak tambang beberapa waktu lalu, termasuk di sekitar Morowali, Kolaka, tentang sedimentasi dan warna air yang keruh menjadi kekhawatiran yang nyata.

Manfat simulasi

Dalam konteks tambang nikel di pulau-pulau kecil seperti Gag dan Kawe, jika dilakukan simulasi, ini bisa menunjukkan bagaimana arus laut tahunan dan musiman berpotensi menyebarkan material tambang ke wilayah yang secara administratif terpisah, tapi secara ekologis terhubung.

Material seperti sedimen dan limbah tambang dapat hanyut bersama arus, kemudian menetap di kawasan terumbu karang, padang lamun, atau wilayah pemijahan ikan yang menjadi tulang punggung ekosistem Raja Ampat.

Risiko dari aktivitas tambang seperti ini bukanlah sekadar kemungkinan, melainkan pengalaman berulang di banyak tempat lain. Jadi memang harus dihindari.

Di pulau-pulau kecil, penambangan kerap menyebabkan erosi lahan, longsoran tanah, dan limpasan sedimen ke laut, terutama saat musim hujan.

Sedimen yang berlebihan mengakibatkan air laut menjadi keruh dan menghambat penetrasi cahaya, yang sangat dibutuhkan oleh ekosistem seperti terumbu karang dan lamun untuk bertahan hidup.

Belum lagi paparan logam berat seperti nikel, kobalt, dan mangan juga dapat terakumulasi dalam tubuh organisme laut, mulai dari plankton hingga ikan konsumsi, menciptakan potensi keracunan dalam rantai makanan yang akhirnya bisa berdampak pada kesehatan manusia.

Terumbu karang identik dengan Raja Ampat

Terumbu karang di Raja Ampat bukan sekadar bentang alam bawah laut yang indah, tetapi jantung dari keanekaragaman hayati laut dunia. Jika arus membawa limbah tambang ke kawasan ini, maka kematian massal karang bisa terjadi dalam hitungan minggu.

Lebih jauh, gangguan terhadap jalur migrasi ikan dan lokasi pemijahan dapat memukul kehidupan nelayan tradisional yang menggantungkan hidup dari laut, serta mengganggu keseimbangan ekosistem yang selama ini terjaga. Inilah ekses paling nyata bagi kawasan terumbu karang di Raja Ampat yang selama ini menjadi ‘Hutan Tropis’ terakhir di negeri kita.

Dalam menghadapi potensi dampak ini, pemerintah dan para pemangku kepentingan tidak bisa lagi hanya mengandalkan peta administratif atau pernyataan umum soal “jauhnya” lokasi tambang dari pusat wisata.

Yang dibutuhkan adalah pendekatan berbasis data dan ilmu kelautan. Simulasi hidrodinamika dengan perangkat lunak oseanografi seperti MIKE21, Delft3D, atau ROMS harus dilakukan untuk memetakan pola arus, gelombang, serta potensi penyebaran sedimen dan limbah tambang. Data ini bisa digunakan untuk menghukum perusak lingkungan.

Data lapangan atau in situ juga penting dikumpulkan untuk memvalidasi model dan melacak jejak pencemaran logam berat di dalam jaringan makanan laut.

Perlu Kolaborasi

Universitas dan lembaga penelitian seperti Universitas Papua, Universitas Hasanuddin, hingga BRIN dapat memainkan peran sentral dalam mengembangkan peta risiko ekologis dan menyusun skenario mitigasi jika pertambangan tetap berlangsung termasuk dengan mengajak jejaring LSM Kelautan untuk mencari bukti dan dampaknya.

Ini menjadi penting untuk mencegah kerusakan ekologis jangka panjang dan menjaga reputasi Raja Ampat sebagai kawasan konservasi kelas dunia.

Pembaca sekalian, tambang di pulau kecil seperti Gag dan Kawe tidak bisa dilihat secara terpisah dari Raja Ampat hanya karena peta menunjukkan jarak puluhan kilometer sebagaimana sangkaan Menteri Bahlil.

Laut adalah ruang yang cair dan saling menyambung. Ketika sedimen, logam berat, atau bahan kimia dari aktivitas tambang dilepaskan ke laut, dampaknya bisa meluas lebih jauh dari yang dibayangkan. Laut tidak mengenal batas administrasi.

Karena itu, jika kita benar-benar ingin – atau sebagaimana sejumlah LSM internasional dan nasional yang selama ini telah menjaga keberlanjutan kawasan ini serta memastikan bahwa warisan laut Raja Ampat tetap lestari bagi generasi mendatang, maka simulasi oseanografi bukan sekadar pelengkap, melainkan keharusan.

Bahli bisa saja menghentikan operasi saat melihat hasil simulasi itu, sebab, sains dan pengetahuan lokal pun harus menjadi fondasi dari setiap keputusan besar yang menyangkut ruang hidup kita bersama.

(DN)