Mereka Sakit dan Sendiri: Saatnya Kita Jadi Rumah Singgah, ditulis oleh: Muliadi Saleh. Penulis adalah pemikir, penggerak literasi dan kebudayaan. Baginya, menulis untuk menginspirasi, mencerahkan, dan menggerakkan peradaban.
PELAKITA.ID – Mereka datang dari jauh, membawa luka dan impian tentang kesembuhan. Dari kampung-kampung terpencil, dari pulau-pulau kecil, dari desa yang belum tersentuh sinyal kuat, mereka menuju kota demi berobat.
Sering kali yang mereka temui bukanlah sambutan hangat, melainkan persoalan baru: di mana mereka yang sakit akan tinggal selama berobat?
Rumah singgah menjadi jawaban
Bukan gedung megah atau hotel berbintang, tapi ruang sederhana yang penuh cinta. Rumah singgah adalah simbol keberpihakan sosial. Ia bukan sekadar tempat berlindung dari hujan dan terik matahari, tapi juga tempat berteduh dari kesendirian, keputusasaan, dan rasa asing di kota besar.
Di sinilah kita belajar: kemanusiaan tidak selalu berbentuk donasi besar. Kadang ia hadir dalam bentuk kasur tipis, secangkir teh hangat, atau pelukan tulus dari relawan.
Gerakan rumah singgah adalah amaliah sosial yang lahir dari nurani. Ia tumbuh dari rasa peduli, bukan dari kalkulasi untung rugi. Di sejumlah daerah, rumah singgah lahir dari kolaborasi pemda, ormas keagamaan, LSM, dan masyarakat. Di Banten, pemerintah menyediakan rumah singgah di Jakarta bagi warganya yang menjalani pengobatan.
Di Sulawesi Selatan, ada rumah singgah pasien dhuafa hasil kolaborasi Pemprov dengan Rumah Zakat dan YBM PLN. Semua hadir bukan untuk mencari nama, tapi untuk menjadi bagian dari perjuangan pasien-pasien tak bersuara.
Masyarakat pun punya peran penting. Rumah-rumah warga bisa menjadi oasis bagi keluarga pasien. Mahasiswa, santri, bahkan komunitas pengajian bisa ikut ambil bagian—entah sebagai relawan, donatur, atau penyebar kabar kebaikan.
Jika setiap RT punya satu rumah singgah sederhana, betapa besar dampaknya. Dalam sunyi dan sakit, pasien merasa tidak sendiri.
Iklim sosial yang peduli hanya bisa dibangun jika kita tak lagi sibuk pada diri sendiri. Dunia ini bukan milik orang sehat dan kuat saja. Maka semestinya, setiap rumah sakit besar di kota-kota memiliki mitra rumah singgah yang dikelola dengan hati. Pemda mesti menjadikannya program prioritas.
Dana APBD yang selama ini habis untuk beton dan aspal bisa dialihkan sebagian untuk program ini—karena menyembuhkan luka bukan hanya tugas dokter, tapi juga tugas kemanusiaan.
Para ahli kebijakan publik menyebut rumah singgah sebagai solusi antara. Ia menjembatani kesenjangan layanan kesehatan antara pusat dan daerah.
Data menunjukkan banyak pasien dari desa gagal menjalani pengobatan karena biaya tinggal di kota. Rumah singgah menambal celah itu. Ia bukan solusi utuh, tapi tanpa dia, proses pemulihan menjadi makin rumit.
Sosiolog menyebut rumah singgah sebagai ruang sosial yang memperkuat solidaritas. Dalam satu ruang tinggal, berkumpul pasien dari berbagai latar belakang.
Mereka berbagi cerita, doa, bahkan makanan. Di situ tumbuh empati kolektif. Dan bukankah itu yang kita cari dari hidup ini? Untuk merasa bahwa kita tak sendirian, bahwa ada yang peduli.
Rumah singgah juga menjadi lahan amal jariyah. Setiap orang yang kita bantu di sana, setiap rasa lega yang kita hadirkan, akan kembali kepada kita dalam bentuk keberkahan.
Maka sudah saatnya gerakan rumah singgah dijadikan gerakan nasional. Diangkat dalam khutbah Jumat, didorong dalam musrenbang desa, dijadikan tema kampanye sosial di media sosial.
Sebab rumah singgah bukan hanya rumah. Ia adalah pelita bagi yang berjuang. Ia adalah simpul kasih sayang yang menenun Indonesia yang lebih peduli.
Dan di saat dunia sibuk mengejar teknologi dan kekayaan, semoga kita tidak lupa: yang membuat bangsa besar bukanlah gedung pencakar langit, tapi seberapa dalam ia peduli pada yang sedang jatuh dan terluka.
Editor Denun