ARMUZNA: Tiga Titik Khusyuk di Padang Suci, ditulis oleh Muliadi Saleh, seorang penulis, pemikir, penggerak literasi dan kebudayaan. Menulis untuk Menginspirasi, Mencerahkan, dan Menggerakkan Peradaban.
PELAKITA.ID – Setelah umrah, tibalah puncak ibadah haji yang terangkai dalam tiga tempat sakral: Arafah, Muzdalifah, dan Mina—disingkat ARMUZNA.
Arafah, sebuah padang sunyi seluas cinta, menjadi tempat seluruh jamaah berdiri dalam wukuf. Tak ada ibadah haji tanpa Arafah. Di sanalah, pada 9 Zulhijah, manusia dihadirkan dalam kemurnian tertinggi, seolah berdiri di Padang Mahsyar, menanti pengadilan Tuhan.
Wukuf bukan sekadar diam di padang pasir, tetapi bertafakur, menengok kembali arah hidup, dan menangisi segala kelalaian masa lalu. Dalam kacamata tasawuf, Arafah adalah maqam ma’rifat: pengenalan hakiki terhadap Allah melalui penanggalan ego dan keterbukaan jiwa.
Selepas maghrib, rombongan bergerak menuju Muzdalifah, membentang di antara malam dan mimpi. Di tanah itu, mereka bermalam di bawah bintang tanpa kemewahan dunia.
Mereka mengumpulkan batu-batu kecil—bukan sekadar benda keras, tapi simbol tekad untuk melawan bisikan iblis yang selalu hadir dalam hidup. Muzdalifah adalah maqam tafakkur: tempat perenungan di antara gelap dan terang.
Pagi harinya, tibalah mereka di Mina. Di sana, ritual melempar jumrah dilakukan.
Setan dilambangkan dalam tiga pilar—jumrah ula, wustha, dan aqabah. Dengan melontarkan batu-batu itu, sejatinya manusia sedang melontarkan hawa nafsu, iri hati, kesombongan, dan semua penyakit hati yang merusak.
Dalam perspektif sufistik, Mina adalah maqam mujahadah: medan jihad melawan diri sendiri.
Kemudian dilanjutkan dengan penyembelihan kurban, tahallul (mencukur rambut), dan thawaf ifadah. Setiap ibadah mengandung nilai, dan setiap nilai adalah pendidikan. Haji mendidik keikhlasan (niat), kesabaran (wukuf), kebersamaan (sa’i), keberanian (jumrah), dan ketundukan total pada Allah (tawakkal).
Haji dalam Kaca Mata Tasawuf: Jalan Menuju Fana’
Para sufi memandang haji bukan sekadar syariat, melainkan hakikat. Haji adalah perjalanan menuju fana’—meleburkan diri dalam kehendak Allah, dan baqa’—bertahan hanya dengan nilai-nilai ilahiah. Haji adalah miniatur kematian: pakaian ihram menyerupai kain kafan, Arafah menyerupai Mahsyar, dan tahallul adalah kelahiran kembali dalam kemurnian.
Seorang sufi besar, Imam al-Ghazali, menulis bahwa haji adalah bentuk konkret dari jihad nafsani. Ia menapaki tujuh stasiun jiwa: dari syari’ah ke thariqah, lalu ke hakikat dan ma’rifat, hingga mencapai puncak ketenangan dalam dzikrullah yang hakiki.
Haji bukan hanya tentang kehadiran tubuh, tetapi kesadaran hati.
Setelah Haji: Kembali sebagai Manusia Baru
Mak Ija kini kembali ke kampungnya. Tak lagi membawa kain ihram, tapi membawa hati yang lapang. Ia tetap menanam padi, tetap menyapu halaman, tetapi ada sesuatu yang berubah: tutur katanya lebih lembut, sikapnya lebih damai, dan ibadahnya lebih dalam.
Ia tak menyombongkan gelar “Hajjah”, sebab ia tahu, haji sejati adalah yang tak lagi menuntut pujian.
Haji telah mengubahnya. Ia kini melihat dunia dengan mata batin. Ia tahu bahwa harta bukan segalanya, bahwa dosa bisa diampuni jika benar-benar tobat, dan bahwa hidup ini terlalu singkat untuk kebencian dan permusuhan.
Kita yang Tak Berhaji: Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Tak semua bisa berangkat ke Tanah Suci. Tapi semua bisa menapaki jejak spiritual haji. Kita bisa bermuhasabah seperti di Arafah, merenung seperti di Muzdalifah, dan melawan ego seperti di Mina.
Kita bisa belajar bersabar dalam antrian, belajar ikhlas dalam musibah, dan belajar mencintai sesama seperti jamaah yang tidur bersama di tenda-tenda.
Haji adalah panggilan, tapi nilai-nilainya adalah kewajiban. Setiap muslim dituntut untuk berhaji dengan akhlak, dengan kesabaran, dengan cinta, dan dengan pengorbanan—di mana pun ia berada.
Ibadah haji adalah perjalanan cinta. Ia bukan sekadar rukun, tapi jalan panjang menuju pembebasan diri dari belenggu dunia. Ia bukan hanya tentang thawaf dan sa’i, tapi tentang maaf dan makna. Ia bukan tentang kain ihram, tapi tentang kesucian hati.
Dan setiap dari kita, berhaji atau belum, dipanggil untuk menempuh jalan yang sama—menuju Allah, melalui Arafah kehidupan, Muzdalifah pengharapan, dan Mina pengorbanan, demi menjadi manusia yang kembali: bersih, utuh, dan mencintai.
Editor Denun