Pahlawan-pahlawan Pangan: Penyuluh, Petani, dan Pelestari Kearifan Lokal, ditulis oleh Muliadi Saleh yang merupakan penulis, pemikir dan penggerak liteeasi dan kebudayaan. “Menulis untuk Menginspirasi, Mencerahkan, dan Menggerakkan Peradaban”
PELAKITA.ID -Bangsa ini butuh revolusi sunyi—gerakan batin untuk kembali menghormati akar, kembali menundukkan kepala kepada tanah yang memberi hidup, kepada tangan-tangan kasar yang merawat benih harapan dengan kesabaran yang nyaris suci.
Kita perlu menjadikan petani bukan lagi objek belas kasihan di televisi dan proposal bantuan, tapi subjek utama pembangunan bangsa—sosok yang layak didengar dalam setiap perumusan kebijakan, yang duduk sejajar dalam meja-meja pengambilan keputusan.
Penyuluh pertanian bukan sekadar pelengkap birokrasi lapangan. Mereka adalah pemandu arah, penerjemah pengetahuan, jembatan antara penemuan dan kenyataan.
Mereka harus dikembalikan ke tempat terhormat: sebagai obor dalam gelap, sebagai guru bagi petani yang ingin tetap bertahan dalam dunia yang terus berubah. Dan kearifan lokal yang selama ini dipandang sebelah mata harus kita rawat dan hidupkan kembali.
Ia bukan warisan beku dari masa silam, melainkan cahaya dari masa lalu yang bisa menerangi masa depan. Ia menyimpan logika ekologi, nilai spiritual, dan etika produksi yang melampaui kalkulasi ekonomi.
Para pahlawan pangan ini tak pernah meminta tepuk tangan. Mereka tak mencari nama, tak mengejar gelar. Mereka hanya ingin dihargai dengan harga yang jujur, dengan dukungan yang tulus, dengan kebijakan yang manusiawi.
Mereka tak menuntut headline, tapi diam-diam menghidupi headline kita semua. Mereka tak memproklamasikan jasa, tapi setiap butir nasi yang kita kunyah adalah bukti cinta mereka yang konkret.
Jika hari ini kita bisa makan dengan tenang, itu karena ada yang rela bangun saat langit masih kelam, menyentuh tanah dengan doa, memanggul harapan di pundak, menanam dalam panas, menuai dalam diam, dan menjual dalam rugi.
Mereka tak berseragam, tak berbaris dalam upacara, tak berdiri di mimbar. Mereka hanya membungkuk di sawah, menatap langit, menakar hujan, dan memohon agar langit tak berubah murka. Mereka adalah wajah paling jujur dari perjuangan dan keteguhan—pahlawan yang tak bertepuk, tapi menggetarkan nurani.
Kita hanya perlu sedikit empati, lalu sedikit aksi. Beli beras lokal, dukung hasil tani desa, hormati petani dalam ucapan dan kebijakan. Perkuat penyuluhan agar ilmu pertanian tak putus di jalan.
Lestarikan kearifan lokal agar tradisi tetap menyatu dengan ekologi. Bukan semata karena mereka butuh kita, tapi karena kita tak akan bertahan tanpa mereka.
Negeri ini tak hanya dibangun oleh para penggagas di istana atau pemikir di kota.
Negeri ini hidup oleh tangan-tangan yang menanam, menyiram, dan merawat kehidupan dari hulu—oleh para penanam sunyi di desa-desa, yang di sana hidup sedang disemai dengan cinta yang tak dikenal dunia.
Maka jangan biarkan mereka layu sebelum panen, jangan biarkan mereka kehilangan tanah sebelum benih sempat tumbuh.
Dan bila kata-kata tak mampu cukup membayar jasamu, wahai petani dan penyuluh yang tabah, maka izinkan kami memanjatkan doa ini untukmu:
Ya Tuhan, yang menumbuhkan tunas dan meniupkan angin lembut ke ladang-ladang kecil kami,
Lindungilah mereka yang menanam demi kami yang tak sempat menunduk ke bumi.
Lapangkan jalan mereka, sejukkan langit mereka, suburkan ladang dan hati mereka.
Teguhkan mereka dalam sepi, kuatkan mereka dalam pasrah, bahagiakan mereka dalam panen.
Dan jadikan kami manusia yang tahu berterima kasih, bukan hanya dalam ucapan, tetapi dalam tindakan.
Agar bumi ini tetap hijau oleh tangan-tangan tulus yang bekerja dalam diam.
Aamiin.
Ditulis untuk merayakan Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Ir. Hj. Andi Ida Rosada, M.Si., dalam bidang Penyuluhan di Fakultas Pertanian dan Bioremediasi Lahan Tambang, Universitas Muslim Indonesia, 31 Mei 2025.
Tentang Penulis:
Artikel ini ditulis oleh Muliadi Saleh, Direktur Lembaga SPASIAL. Dapat dihubungi melalui email: mulsinyur@gmail.com