Strategi Bertahan Hidup: No Buy Challenge 2025, ditulis oleh Muliadi Saleh, penulis, pemerhati sosial dan budaya, penggagas gerakan literasi dan etika konsumsi bijak.
PELAKITA.ID – Di tengah pusaran zaman yang makin menyesakkan—ketika harga kebutuhan pokok merambat naik, ongkos hidup membubung, dan suara rakyat kecil kerap hanya menjadi gemuruh di tepi telinga kekuasaan—lahirlah sebuah gerakan sunyi namun menggugah: No Buy Challenge 2025.
Sebuah kampanye kolektif yang tumbuh dari keresahan dan ketidakpastian.
Gerakan ini bukan sekadar tantangan untuk menahan diri dari membeli barang dan jasa selama satu tahun penuh, melainkan bentuk perlawanan lembut—lirih namun bermakna—terhadap gaya hidup yang tak pernah merasa cukup, dan sistem ekonomi yang makin mencekik.
Gerakan ini menggema terutama di kalangan urban dan generasi muda yang lelah dengan tekanan konsumerisme digital.
Mereka memilih untuk mengurangi pembelian barang-barang nonesensial, menghindari godaan diskon dan flash sale, menahan jari dari tombol checkout keranjang daring, serta menyusun ulang prioritas hidup dari dasar ke atas—berangkat dari kebutuhan, bukan keinginan.
Bukan karena ingin tampil hemat semata, melainkan karena kehidupan telah memaksa mereka berpikir ulang: tentang makna, tentang masa depan, dan tentang hidup yang harus lebih dari sekadar memiliki.
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, peningkatan iuran BPJS, serta kebijakan asuransi kendaraan yang kini bersifat wajib, menjadi latar belakang ekonomi yang menyulut gerakan ini.
Ketika negara hadir bukan sebagai pereda beban, melainkan sebagai penambah luka dompet, masyarakat pun mulai bergerak diam-diam: menyusun strategi bertahan hidup dengan satu kata kunci—penghematan.
Sebuah survei nasional yang dilakukan UOB Indonesia pada awal tahun ini mencatat bahwa 62 persen responden mengenal konsep No Buy Challenge.
Dari jumlah tersebut, 68 persen menyatakan sedang menjalankannya, sebagian bahkan telah menyiapkan rencana penghematan hingga akhir tahun.
Angka ini bukan sekadar tren viral di media sosial, tetapi pertanda perubahan paradigma konsumen Indonesia.
Kita sedang menyaksikan pergeseran diam-diam namun radikal: dari budaya konsumtif menuju etika hidup minimalis; dari gaya hidup yang dibentuk oleh algoritma dan citra, menuju gaya hidup yang dibangun atas kesadaran dan batas.
Bahwa tidak semua yang tampak dibutuhkan benar-benar perlu. Bahwa kebahagiaan bukanlah produk yang bisa dibeli.
Peneliti dari Celios (Center of Economic and Law Studies), Galau D. Muhammad, menyatakan bahwa gerakan ini erat kaitannya dengan tren frugal living—hidup hemat dan sadar prioritas.
Namun ia juga menambahkan, “Bagi banyak orang, frugal bukan pilihan, melainkan kebutuhan yang lahir dari tekanan ekonomi. Kenaikan harga, stagnasi pendapatan, dan beban pajak telah memaksa mereka berhemat.”
Jika No Buy Challenge berlangsung secara masif tanpa respons kebijakan yang bijak, katanya, “perekonomian bisa kehilangan denyutnya, terutama di sektor ritel dan UMKM.”
Artinya, ada paradoks di sini: menghemat untuk menyelamatkan diri, tapi sekaligus berisiko memperlambat perputaran roda ekonomi bangsa.
Namun di sisi lain, gerakan ini membuka ruang baru bagi sektor informal berbasis tukar-menukar, daur ulang, dan produksi mandiri. Pasar barang bekas, komunitas saling berbagi, dan forum edukasi keuangan kini tumbuh di berbagai kota.
“Banyak anak muda merasa lelah karena terus-menerus membandingkan diri mereka dengan pencitraan di media sosial. No Buy Challenge menjadi bentuk detoks mental—bukan hanya dari konsumsi, tapi dari tekanan untuk selalu terlihat sukses.”
Dalam keheningan mereka yang menolak membeli, tersembunyi suara lantang untuk mengklaim kembali kendali atas hidup.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah penduduk kelas menengah Indonesia menurun dari 57 juta jiwa pada 2019 menjadi 47 juta jiwa di 2024. Penurunan ini bukan sekadar angka, melainkan alarm sosial bahwa ketimpangan makin nyata.
Maka, tidak heran jika semakin banyak orang mulai menahan diri—bukan karena tak ingin hidup nyaman, melainkan karena kenyamanan itu makin mahal harganya.
No Buy Challenge adalah refleksi, bukan sekadar reaksi sesaat. Sebuah kampanye moral yang mengajak manusia kembali pada keseimbangan.
Dunia ini sudah terlalu bising oleh iklan, terlalu penuh oleh limbah konsumsi, dan terlalu cepat dalam mengejar yang semu. Gerakan ini adalah jeda—ruang untuk bernapas—dan upaya untuk memaknai ulang hidup.
Di negeri yang makin sulit membedakan antara kebutuhan dan keinginan, antara hak dan ilusi, No Buy Challenge menawarkan jalan sunyi menuju kebijaksanaan.
Sebagaimana pesan Mahatma Gandhi: “Live simply so that others may simply live.”
Dalam kesederhanaan, ada ruang bagi solidaritas. Dalam hemat, ada ruang bagi harapan.
Gerakan ini mungkin bukan solusi tunggal, namun ia bisa menjadi awal dari sebuah revolusi etis yang lebih besar. Sebab konsumsi bukan hanya soal barang, tetapi soal jiwa. Dan ketika jiwa telah mampu berkata “cukup,” maka dunia pun akan mulai berubah.
Editor: Denun