DFW Indonesia Beberkan Persepsi Publik Terkait Giant Sea Wall

  • Whatsapp
Ilustrasi Giant Sea Wall (dokL Jakarta Post)

PELAKITA.ID — Destructive Fishing Watch Indonesia (DFW-I) menyelenggarakan kegiatan diseminasi hasil survei persepsi masyarakat Jakarta terkait rencana pembangunan Giant Sea Wall (GSW), Rabu, 30 April 2025)

Proyek ini merupakan kelanjutan dari National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) yang saat ini dipercepat melalui Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029.

Dalam dokumen RPJMN tersebut, pembangunan GSW dimaksudkan sebagai bagian dari upaya pengamanan terpadu wilayah perkotaan, sekaligus mendukung pengembangan kawasan Pantai Utara Jawa yang mencakup DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur sebagai pusat pertumbuhan ekonomi nasional.

Survei dilakukan secara daring pada 20 Maret hingga 25 April 2025, melibatkan 105 responden dari berbagai latar belakang pekerjaan yang berdomisili di wilayah Jabodetabek.

Mayoritas responden berusia 24–29 tahun (35,2%) dan telah tinggal di wilayah tersebut selama lebih dari 15 tahun (47,6%).

Luthfian Haekal, Human Rights Manager DFW-I, mengakui adanya keterbatasan dalam riset ini, khususnya terkait jumlah responden.

“Representativitas sampel memang menjadi salah satu keterbatasan survei ini. Namun demikian, temuan-temuan yang muncul dapat menjadi potret awal dan landasan eksplorasi lebih lanjut,” ujar Haekal.

Hasil survei menunjukkan bahwa mayoritas responden (56,2%) tidak setuju dengan pembangunan Giant Sea Wall.

Penolakan ini umumnya didasarkan pada kekhawatiran terhadap dampak ekologis, seperti kerusakan ekosistem pesisir, gangguan terhadap penghidupan nelayan, serta potensi penggusuran pemukiman.

Sementara itu, 43,8% responden mendukung proyek ini, dengan alasan perlindungan dari banjir rob dan penguatan ketahanan wilayah pesisir.

“Responden yang berhasil kami jangkau cenderung lebih mendukung solusi berbasis alam, seperti pembukaan ruang hijau atau restorasi mangrove, dibandingkan solusi rekayasa teknis seperti GSW,” terang Haekal.

Temuan menarik lainnya adalah bahwa 88,6% responden merasa belum dilibatkan secara optimal dalam proses kebijakan pembangunan GSW.

Bahkan, 91,4% responden menyatakan bahwa masyarakat pesisir—yang menjadi pihak paling terdampak langsung—belum dilibatkan secara aktif. Proses kebijakan dinilai masih bersifat top-down dan minim partisipasi publik.

Ketika ditanya mengenai kesediaan untuk berpartisipasi, sebanyak 67,7% responden menyatakan bersedia terlibat melalui berbagai mekanisme, seperti konsultasi publik, penyampaian aspirasi, dan rapat dengar pendapat.

“Masyarakat menginginkan ko-kreasi solusi, bukan sekadar menjadi objek pembangunan,” tegas Haekal.

Dalam penutupnya, Haekal menegaskan pentingnya pembangunan kota yang berbasis pada prinsip hak atas kota (right to the city). “Ruang bukan hanya tempat tinggal fisik, tapi ruang kolektif yang harus dapat diubah secara demokratis untuk penghidupan yang lebih layak.

Right to the city bukan sekadar akses terhadap ruang kota, melainkan hak untuk turut mengubah kota demi kehidupan yang lebih bermakna,” pungkasnya.

Laporan lengkap hasil survei dapat diakses melalui tautan berikut:
👉 https://dfw.or.id/diseminasi-hasil-survei-persepsi-masyarakat-terhadap-giant-sea-wall-copy/