Shakira Oqmalia Firdany | Gaya Hidup Moderen yang Menggerus Masa Depan

  • Whatsapp
Ilustrasi (dok: Pelakita.ID)

Artikel Gaya Hidup Moderan yang Menggerus Masa Depan ditulis oleh, Shakira Oqmalia Firdany, Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.

PELAKITA.ID – Di berbagai penjuru kota, kehadiran makanan cepat saji seakan telah melekat ketat dalam kehidupan masyarakat moderen.

Makanan tinggi gula, lemak, dan kalori tersebut kerap hadir dalam kemasan menarik, menawarkan kemudahan di tengah kesibukan. Ironisnya, meskipun risiko kesehatan akibat obesitas telah diketahui secara luas, angka kasus obesitas di Indonesia justru terus meningkat setiap tahunnya.

Tak hanya menyerang kalangan dewasa, kecenderungan ini juga mulai mengkhawatirkan di kalangan anak-anak, terutama remaja.

Sayangnya, upaya untuk mendorong pola hidup sehat sering kali menemui hambatan yang kompleks.

Maka, penting untuk menelaah lebih dalam: apa yang membuat perubahan menuju kehidupan sehat terasa begitu sulit diwujudkan, dan bagaimana peran seluruh lapisan masyarakat dapat dioptimalkan untuk mengatasi tantangan ini?

Shakira Oqmalia Firdany, Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin (imageby Pelakita.ID)

Apa Itu Obesitas?

Obesitas, atau yang lebih dikenal sebagai kegemukan, merupakan kondisi ketika jumlah lemak dalam tubuh melebihi batas normal yang dibutuhkan.

Penumpukan lemak berlebih ini menyebabkan berat badan seseorang meningkat secara signifikan, bahkan melampaui batas ideal. Kondisi ini tak hanya memengaruhi penampilan fisik, tetapi juga berisiko menimbulkan masalah kesehatan serius.

Obesitas kini telah menjadi masalah kesehatan global berskala epidemik. Setiap tahunnya, diperkirakan sekitar 2,8 juta orang di seluruh dunia meninggal akibat kelebihan berat badan atau obesitas. Menurut data World Health Organization (WHO) tahun 2022, 1 dari 8 orang mengalami obesitas.

Sebanyak 37 juta anak dan remaja berusia 5–19 tahun mengalami kelebihan berat badan pada tahun yang sama, termasuk 160 juta yang hidup dengan obesitas.

Di Indonesia, prevalensi obesitas pada remaja usia 18 tahun ke atas mencapai 28,7% (dengan IMT ≥ 25). Sementara di kelompok usia 13–15 tahun, Provinsi Sulawesi Selatan mencatat prevalensi tinggi, yaitu sekitar 6,3%, dengan 2,6% di antaranya berada di Kota Makassar.

Remaja dan Junk Food

Peningkatan angka obesitas pada remaja saat ini sebagian besar dipengaruhi oleh kebiasaan mengonsumsi makanan cepat saji modern, atau yang tergolong sebagai junk food.

Jenis makanan ini umumnya mengandung kadar gula, tepung olahan, lemak trans, lemak jenuh, garam, serta bahan tambahan seperti pengawet dan pewarna dalam jumlah tinggi, namun minim serat dan vitamin.

Contoh junk food antara lain hamburger, ayam goreng, dan kentang goreng yang banyak dijual di restoran cepat saji.

Perubahan pola konsumsi remaja Indonesia juga dipengaruhi oleh perkembangan zaman dan masuknya budaya asing. Banyak remaja kini lebih menyukai makanan cepat saji dibanding makanan berserat tinggi seperti sayur dan buah.

Hal ini terjadi karena junk food mudah ditemukan, cepat disajikan, rasanya lezat, dan tersedia di berbagai tempat.

Selain itu, pengaruh teman sebaya, padatnya aktivitas di luar rumah, serta kurangnya pengawasan orang tua dalam pemilihan makanan turut meningkatkan konsumsi makanan cepat saji di kalangan usia muda.

Kebiasaan Nyata Remaja

Nur (16 tahun), siswi SMA di Makassar, mengaku sering mengonsumsi makanan cepat saji terutama saat jam istirahat atau sepulang les. “Kadang seminggu bisa 2 sampai 3 kali makan junk food, rasanya enak dan cepat disajikan,” ujarnya.

Hal serupa juga disampaikan oleh Putri (21 tahun), mahasiswa FKM Unhas. Ia mengatakan, “Kalau sedang banyak tugas atau begadang, saya lebih pilih pesan makanan cepat saji lewat ojek online. Rasanya familiar, dan saya jadi nggak perlu repot untuk memasak.”

Dampak Fisik dan Psikologis

Obesitas dapat menimbulkan berbagai dampak negatif bagi kesehatan, di antaranya gangguan pernapasan, peningkatan risiko patah tulang, tekanan darah tinggi, tanda awal penyakit kardiovaskular, resistensi insulin, serta gangguan psikologis.

Gangguan psikologis yang umum dialami remaja dengan obesitas meliputi kecemasan, depresi, rendahnya kepercayaan diri, labilnya emosi, serta pengalaman negatif akibat perundungan dan isolasi sosial.

Secara keseluruhan, hal ini dapat menurunkan kualitas hidup. Selain itu, remaja bertubuh besar kerap menjadi sasaran perilaku diskriminatif seperti body shaming, yang berdampak buruk terhadap kesejahteraan psikologis mereka.

Peran Orang Tua dan Gaya Hidup Sehat

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), obesitas dapat dicegah melalui pola makan sehat yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral, diimbangi dengan konsumsi sayur dan buah.

Penting juga melakukan aktivitas fisik seperti olahraga selama 30–60 menit setiap hari dengan intensitas sedang—misalnya jalan cepat, lari pagi atau sore, atau bermain sepak bola.

Orang tua memiliki peran penting dalam mengawasi makanan yang dikonsumsi anak, sehingga asupan ke dalam tubuhnya bisa terkontrol dengan baik.

Pembaca sekalian, obesitas telah menjadi kondisi yang semakin umum di kalangan remaja masa kini. Namun, ini adalah kondisi yang bisa dicegah dan dikendalikan. Kini saatnya kita merenung: apakah kita akan terus membiarkan kebiasaan tersebut mengurangi kualitas hidup secara perlahan, atau mulai mengambil langkah kecil untuk hidup lebih sehat dan membangun masa depan yang lebih baik?

Keputusan tersebut sepenuhnya berada di tangan remaja yang peduli terhadap kesejahteraan dirinya sendiri.