PELAKITA.ID – Di balik senyum seorang ibu yang baru melahirkan, tersembunyi realitas yang jarang terungkap: depresi pascapersalinan atau postpartum depression (PPD).
Banyak yang mengira kelahiran seorang anak otomatis membawa kebahagiaan, namun bagi sebagian ibu, justru menjadi awal dari penderitaan emosional yang mendalam.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa sekitar 13 persen ibu baru di seluruh dunia mengalami gangguan kesehatan mental, terutama depresi.

Angkanya bahkan lebih tinggi di negara-negara berkembang: 15,6 persen saat hamil dan meningkat menjadi 19,8 persen setelah melahirkan.
Sayangnya, dalam budaya kita, depresi pascapersalinan masih sering diremehkan. Perempuan yang mengalaminya kerap dicap “kurang bersyukur” atau “tidak siap menjadi ibu”.
Padahal, seperti yang dijelaskan oleh Lieme Puspasari, seorang konselor keluarga di Klinik First Care, yang dikutip dari liputan6.com, “depresi pasca-melahirkan bukanlah bentuk kekurangan atau kelemahan seseorang. Kondisi ini bisa terjadi akibat komplikasi saat melahirkan.”
Gejala PPD jauh lebih kompleks dibandingkan sekadar rasa sedih. Seorang ibu bisa merasa tidak berharga, menarik diri dari lingkungan, mengalami gangguan tidur meski dalam keadaan lelah, bahkan muncul keinginan untuk menyakiti diri sendiri.
Ini bukan cerminan kegagalan menjadi ibu, melainkan sebuah kondisi medis yang serius dan membutuhkan perhatian serta penanganan.
Yang lebih mengkhawatirkan, kondisi ini sering kali tidak dikenali oleh pasangan atau keluarga dekat.
Padahal, dukungan dari lingkungan sangatlah krusial. Seperti disampaikan oleh Dr. dr. Ria Maria T., Sp.Kj., psikiater dan dokter spesialis kejiwaan, “Dukungan suami sangat penting agar baby blues tidak berlanjut menjadi PPD yang bisa berujung pada tindakan ekstrem seperti menyakiti anak atau percobaan bunuh diri.”
Artinya, peran suami dan keluarga sangat menentukan dalam mendeteksi tanda-tanda awal serta memberikan dukungan emosional yang memadai. Namun hal ini tentu hanya mungkin jika mereka memiliki pemahaman yang cukup tentang apa itu PPD.
Karena itu, pemerintah dan lembaga kesehatan perlu memperkuat edukasi publik mengenai kesehatan mental ibu.
Edukasi prapersalinan semestinya tak hanya fokus pada aspek fisik dan teknis kelahiran, tetapi juga pada pemahaman risiko gangguan mental pascamelahirkan.
Beberapa negara seperti Australia dan Kanada telah mewajibkan skrining PPD sebagai bagian dari layanan pascapersalinan. Indonesia sebaiknya mengambil langkah serupa.
Selain itu, pembentukan kelompok pendukung ibu (support group) di komunitas lokal bisa menjadi solusi praktis untuk menyediakan ruang aman bagi para ibu untuk berbagi pengalaman dan mencari bantuan.
Sudah saatnya kita menggeser narasi: dari ibu yang dituntut selalu kuat, menjadi ibu yang diberdayakan untuk bicara dan mencari pertolongan. Karena ketika seorang ibu sehat secara mental, keluarga pun tumbuh dalam suasana yang lebih sehat dan harmonis.
Editor: Denun