Selamat Hari Bumi 2025 | Desa dan Tantangan Perubahan Iklim: Saatnya Bertindak dari Akar Rumput

  • Whatsapp

Catatan Hari Bumi 2025 oleh Abd Ma’bud, Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat, Kabupaten Pangkajene Kepulauan

PELAKITA.ID – Perubahan iklim bukan lagi isu masa depan—ia hadir di depan mata, mengetuk pintu desa-desa kita. Kenaikan suhu, hujan yang tak menentu, banjir, kekeringan, dan wabah penyakit kini menjadi bagian dari keseharian masyarakat desa.

Padahal, di desa-lah kehidupan Indonesia bermula. Di sanalah sebagian besar rakyat menggantungkan hidup pada alam: sawah, ladang, sungai, dan laut.

Tapi justru desa pula yang paling rentan menghadapi perubahan iklim ini. Keterbatasan informasi, akses teknologi, dan infrastruktur membuat adaptasi menjadi tantangan tersendiri.

Dampak Perubahan Iklim yang Mengguncang Kehidupan Desa

1. Pertanian yang Tak Lagi Ramah Musim

Bertani kini tak lagi sesederhana membaca langit. Hujan datang tak menentu, kemarau berkepanjangan, dan gagal panen menjadi cerita umum. Di banyak desa, para petani kebingungan menentukan waktu tanam. Hasil pertanian menurun, ekonomi keluarga pun terguncang.

2. Infrastruktur Rentan Bencana

Banjir dan longsor tak hanya menghancurkan rumah, tetapi juga jalan-jalan desa. Mobilitas warga terganggu, bantuan lambat datang, dan distribusi hasil panen pun terhambat. Desa jadi terisolasi justru saat paling membutuhkan bantuan.

3. Ancaman Kesehatan yang Mengintai

Suhu yang semakin panas dan buruknya sanitasi akibat banjir memicu meningkatnya penyakit seperti demam berdarah, malaria, hingga gangguan pernapasan. Fasilitas kesehatan di desa belum sepenuhnya mampu merespons cepat.

Strategi Adaptasi: Menguatkan Desa dari Dalam

Meski terdampak hebat, desa juga menyimpan kekuatan besar untuk bertahan. Strategi adaptasi perlu dirancang bukan dari atas, tapi dari akar rumput. Tiga langkah utama bisa dilakukan:

1. Memperkuat Kelembagaan Desa

Desa perlu memiliki rencana pembangunan yang ramah iklim. Melalui dokumen RPJMDes yang mempertimbangkan risiko bencana dan perubahan iklim, pemerintah desa dapat mengarahkan program secara strategis.

2. Menghidupkan Kembali Kearifan Lokal

Banyak desa memiliki tradisi dan pengetahuan lokal dalam mengelola alam. Misalnya sistem tanam berpola, pembuatan terasering, hingga pemanfaatan tanaman penahan erosi. Kearifan ini perlu digali, dirawat, dan dikembangkan.

3. Mengadopsi Teknologi Tepat Guna

Teknologi sederhana namun berdampak besar seperti irigasi tetes, komposter limbah organik, panel surya, dan biogas bisa menjadi solusi murah dan berdaya tahan tinggi. Teknologi harus didekatkan ke desa, bukan dimonopoli di kota.

Kisah Inspiratif dari Desa Nglanggeran

Desa Nglanggeran di Gunungkidul adalah contoh nyata. Dari desa yang rentan krisis air, kini mereka menjadi desa ekowisata berbasis konservasi.

Warga bersatu mengelola lingkungan, membangun sistem pertanian organik, dan mengembangkan wisata edukatif. Pemerintah, akademisi, dan masyarakat berjalan bersama. Ini bukti bahwa kolaborasi adalah kunci perubahan.

Dari Desa, Kita Mulai Selamatkan Bumi

Hari Bumi 2025 adalah pengingat bahwa perubahan iklim bukan hanya urusan konferensi tingkat tinggi. Ia adalah persoalan harian di desa-desa kita.

Dengan memperkuat kelembagaan, merawat kearifan lokal, dan membuka akses teknologi, desa bisa jadi ujung tombak perubahan. Karena dari desa, bumi bisa lebih lestari.

Ediror: Denun