Catatan Hari Bumi 2025 | Di Punggung Bumi Tadulako

  • Whatsapp

PELAKITA.ID – Bertepatan dengan Hari Bumi yang jatuh pada Selasa, 22 April 2025, artikel ini saya remajakan (rejuvenate). Tema Hari Bumi tahun ini adalah “Our Power, Our Planet” atau “Energi Kita, Planet Kita”.

Banyak fakta menunjukkan bahwa kelonggaran dalam monitoring dan evaluasi telah memicu krisis ekologi yang makin mengerikan.

Oleh: Muhd Nur Sangadji
(muhdnursangadji@gmail.com)
Kepala PPLH Universitas Tadulako


Dalam banyak tulisan tentang Sulawesi Tengah, saya selalu mengingatkan pentingnya memahami kondisi fisik wilayah ini—apa yang oleh Saleh disebut sebagai originalitas dan autentisitas.

Terdapat sejumlah faktor yang secara alamiah bersifat labil (instabil), seperti aktivitas tektonik, curah hujan tinggi, dan kawasan bergunung. Konsekuensinya pun nyata, seperti yang telah kita alami: gempa bumi, tsunami, hingga likuefaksi.

Satu-satunya elemen yang memperkuat dan menstabilkan kawasan ini adalah vegetasi hutan. Bila vegetasi ini hilang, maka bencana seperti longsor, banjir, dan kekeringan akan datang tanpa ampun.

Karena itu, pemerintah yang cerdas dan peduli semestinya menjadikan kondisi ekologis ini sebagai bahan pertimbangan utama dalam setiap kebijakan pembangunan (development sensitive to disaster risks). Pemburu lahan atas nama investasi—terutama dari industri ekstraktif seperti tambang dan perkebunan skala besar (estate)—harus diawasi secara ketat.

Fakta-fakta di lapangan menunjukkan, betapa longgarnya pengawasan yang dilakukan. Kelapa sawit ditanam hingga ke puncak gunung—suatu praktik yang jelas dilarang dalam dokumen AMDAL.

Tambang terbuka tanpa reklamasi pun marak terjadi. Akibatnya dapat kita bayangkan sendiri: hilangnya keanekaragaman hayati karena perubahan tutupan lahan heterogen menjadi monokultur, banjir, dan sedimentasi yang mengancam kawasan pesisir.


Buol, Morowali, dan Luwuk Banggai bisa menjadi peringatan nyata. Di kawasan-kawasan ini, aktivitas perkebunan dan pertambangan skala besar sangat masif.

Bukan berarti tidak boleh ada investasi, tetapi harus disesuaikan dengan daya dukung lingkungan.

Jika tidak, kita bukan sedang membangun masa depan, tetapi sedang menyiapkan kuburan massal bagi rakyat—dan kita sendiri. Cukuplah tragedi Palu menjadi pelajaran bagi kita semua.

Dua dari tiga bencana besar itu melibatkan air. Nasrullah mengajak kita belajar dari karakter air: kita berkewajiban mengelolanya agar memberi manfaat, bukan mendatangkan malapetaka.

Karena itu, pemerintah daerah tidak boleh lagi tergoda menggadaikan alam demi janji kesejahteraan palsu.

Sampai hari ini, saya mencatat masih ada beberapa pemerintah daerah yang berhasrat membuka lahan besar-besaran tanpa pertimbangan risiko.

Saya mengajak: berhentilah bersikap gegabah atas nama pembangunan. Ikutilah RPJP, RPJMD, dan RTRW yang didukung oleh KLHS. Ini bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga panggilan nurani. Jika kita yang merencanakan, maka kita pula yang harus mematuhi kaidahnya.

Syukurlah, masih ada kepala daerah yang menolak dengan tegas dan bahkan mencari solusi konkret.

Bupati Buol, misalnya, berjibaku seorang diri melawan hegemoni korporasi yang ingin kembali menguasai tanah Buol, padahal daya dukung wilayahnya sangat rentan. Ia juga mendorong program berbasis pengelolaan air sebagai antisipasi atas kerusakan di hulu.

Di Luwuk, Bupati Banggai meluncurkan program Pinasa (Pia Na Sampah Ala = Lihat Sampah, Ambil), sebagai bentuk pembelajaran dan kesadaran kolektif terhadap kebersihan lingkungan.

Kelurahan Kayumalue Pajeko, RW 001/RT 002, Kec. Palu Utara. #Palu

Kota Palu dengan program Galigasa masih membutuhkan kerja keras untuk bertransformasi dari kota terjorok menjadi kota yang asri.

Praktik-praktik baik (best practices) ini patut ditiru. Inisiatif lokal dan inovasi sesuai konteks masing-masing daerah sangat mungkin dilakukan. Saya yakin banyak kepala daerah lainnya telah mengambil inisiatif serupa—barangkali saya saja yang belum mengetahui.

Yang jelas, kita semua harus lebih sadar bahwa bencana bisa datang kapan saja.

Kesadaran ini harus terus dirawat, apalagi kita pernah mengalami tiga bencana besar sekaligus dalam satu waktu: gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi. Semuanya menimpa Bumi.

Selamat Hari Bumi 2025.
Wallahu a’lam bish-shawab.


Penulis adalah Associate Professor di bidang Ekologi Manusia, Universitas Tadulako.