Dan semoga Koperasi Merah Putih yang digagas pemerintah dapat menjadi mitra potensial bagi usaha ini. Sebab Koperasi Merah Putih merupakan upaya memperkuat swasembada pangan, pemerataan ekonomi, dan mewujudkan desa mandiri menuju Indonesia Emas 2045.
PELAKITA.ID – Di pelosok utara Sulawesi Barat, tersembunyi sebuah desa yang berdenyut tenang dalam ritme alam dan kerja keras: Letawa, Kecamatan Sarjo, Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat.
Bukan desa yang gemerlap oleh lampu kota, tetapi kini mulai bercahaya oleh cita-cita baru.
Sebuah simbiosis sedang tumbuh di tanahnya—antara kebijakan, harapan, dan barisan pisang Cavendish yang mulai berbuah.
Kisah ini berakar dari visi besar Dr. Bahtiar Baharuddin, Pj Gubernur Sulbar kala itu, yang menggagas sebuah platform ekosistem bisnis berbasis komoditas unggulan.
Pilihannya jatuh pada pisang Cavendish—bukan hanya karena potensinya sebagai komoditas ekspor dunia, tetapi karena ia bisa hidup bersahabat dengan tanah lokal dan bertumbuh seiring impian masyarakat.
“Pisang Cavendish ini bukan sekadar tanaman, ia bisa menjadi jantung ekonomi baru desa-desa kita,” tutur Dr. Bahtiar dalam sebuah forum di Mamuju, akhir 2024 lalu.
Pemerintah provinsi kemudian meluncurkan program pendampingan menyeluruh—mulai dari pembibitan unggul, pengolahan lahan komprehensif, pelatihan budidaya, hingga jaminan pasar melalui kemitraan ekspor dan distribusi ritel.
Di tengah gelombang kebijakan ini, sosok sederhana muncul sebagai pionir dari tanah Letawa. Namanya Hastan, S.Ag, seorang petani yang juga guru. Ia bukan pengusaha besar, bukan pula pejabat tinggi. Namun, hatinya tertambat pada tanah dan masa depan warga desa di sekitarnya.
Ia mengulurkan lahannya—sebidang kebun di samping rumahnya yang awalnya hanya hamparan semak tidur—untuk dijadikan semacam pilot project pisang Cavendish pertama di Pasangkayu.
Penanaman perdana dilakukan pada November 2024. Kini, pisang-pisang itu mulai mempertontonkan kemunculan jantungnya—sudah berbuah, masih hijau memang, tetapi seolah menjawab keuletan dan kesabaran kerja tangan-tangan petani.
“Saya ingin anak-anak muda desa ini punya alasan untuk pulang dan tinggal. Kalau tanah bisa beri kehidupan, kenapa harus merantau jauh?” kata Hastan dengan senyum sederhana namun mengakar.
Dr. Firman, yang pernah menjadi Sekda Pasangkayu dan kini berkiprah sebagai pendamping lapangan dari Pemprov, mencatat bahwa keberhasilan Letawa ini bukan hanya soal produksi.
“Kita menyaksikan sebuah model ekonomi desa yang tumbuh organik. Masyarakat tidak hanya menanam, tapi belajar mengelola, menghitung, mengawasi, serta memastikan dan membayangkan hasil. Inilah inti dari pembangunan partisipatif,” ujarnya.
Potensi Ekonomi dan Simbiosis Bisnis
Pisang Cavendish dikenal memiliki nilai ekonomi tinggi. Dalam satu hektare lahan, rata-rata menghasilkan 20–30 kg per tandan pisang pada panen pertama di usia tanam 8–9 bulan.
Harga jual berdasarkan kontrak farming dengan perusahaan off-taker di tingkat petani dipatok Rp4.000 per kilogram selama lima tahun.
Maka, satu hektare saja bisa memberi omzet sekitar Rp160–240 juta per panen.
Dalam skala desa, jika 20 petani menanam satu hektare saja, potensi ekonomi yang digerakkan bisa mencapai Rp3,2–4,8 miliar dalam satu kali panen (panen dapat dilakukan sebanyak tiga kali dalam dua tahun).
Ini belum termasuk efek berantai: lapangan kerja, distribusi, dan olahan produk turunan.
Letawa kini menjadi contoh simbiosis: antara ilmu dan tanah, antara negara dan rakyat, antara pohon dan mimpi. Pisang-pisang Cavendish itu bukan sekadar buah, tetapi simbol harapan.
Mereka tumbuh bukan hanya dari akar, tapi dari keyakinan bahwa desa bisa berdaulat secara ekonomi.
Pasangkayu bukan lagi hanya cerita tentang kelapa sawit dan udang vaname. Ada kisah baru yang tumbuh di tanahnya—lebih manis, lebih lestari, dan lebih membumi.
Kini kita menunggu keberhasilan program ini. Apa pun hasil akhirnya, kita telah menyaksikan sebuah geliat semangat yang tak ternilai: masyarakat desa yang bangkit dari potensi alamnya sendiri. Inilah pelajaran penting dari Letawa.
Sebuah pesan bahwa pembangunan tak bisa berjalan sendiri—dibutuhkan simbiosis mutualisme antara pemerintah, masyarakat, akademisi, dan pelaku usaha.
Hanya dengan kebersamaan dan keadilan, impian Cavendish bisa menjelma jadi lumbung ekonomi masa depan.
Program ini pun sesungguhnya sedang mengorkestrasi kerja bersama dalam kerangka model hexahelix: pemerintah sebagai fasilitator kebijakan, masyarakat sebagai pelaku utama, akademisi sebagai penyedia ilmu dan teknologi, dunia usaha sebagai mitra pasar, media sebagai kanal edukasi dan promosi, serta komunitas sebagai penjaga nilai dan keberlanjutan sosial.
Letawa menjadi ruang uji coba bagaimana enam pilar pembangunan ini bisa bersinergi, saling menguatkan, dan menjaga irama agar simfoni perubahan terus mengalun.
Jika simbiosis ini terus dijaga, bukan tidak mungkin Letawa akan menjadi mercusuar baru pembangunan desa berbasis komoditas unggulan.
Sebab dalam setiap tandan Cavendish yang ranum, terselip harapan akan masa depan yang lebih hijau, lebih adil, dan lebih berdaulat dari tanah sendiri.
Dan semoga Koperasi Merah Putih yang digagas pemerintah dapat menjadi mitra potensial bagi usaha ini. Sebab Koperasi Merah Putih merupakan upaya memperkuat swasembada pangan, pemerataan ekonomi, dan mewujudkan desa mandiri menuju Indonesia Emas 2045.
Koperasi Merah Putih dirancang menjadi pusat aktivitas ekonomi dan sosial bagi warga desa.
Semoga!