Catatan dari Knowledge Sharing Alumni kerjasama Pelakita – ISLA Unhas | Perlindungan Mangrove dan Panggilan untuk Alumni

  • Whatsapp

Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan produksi kepiting di Pallime Bone, dari 1.526,5 ton pada 2007 menjadi 1.110,5 ton pada 2016. Di sisi lain tingkat resiliensi sosial pada level sedang.

PELAKITA.ID – Ada yang menarik pada Ajang Knowledge Sjaring yang digelar oleh Pelakita.ID dan Ikatan Sarjana Kelautan Unhas ISLA Unhas.

Pada sharing yang mendapuk Yusran Nurdin Massa, alumni Ilmu Kelautaj Unhas angkatan 1997 itu mencuat  sekurangnya empat isu utama yaitu pentingnya pendataan faktual pada kawasan pesisir sebagai basis perencanaan dan kedua, perlunya kehati-hatian dalam pengembangan kawasan ekonomi agar tidak menerabas ekosistem vital seperti mangrove.

Guru Besar Fisika Kelautan pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas Prof Abdul Rasyid Jalil yang hadir pada kegiatam itu mengapresiasi inisiatif Pelakita dan ISLA Unhas dan menyebutnya sebagai momen penting untuk berbagi pengalaman,pengetahuan dan persepktif tentang tata kelola pesisir dan laut.

“Saya mengapresiasi kegiatan ini sebagai pembelajaran bersama, undang saya lagi kalau ada acara seperti itu,” ucapnya.

Dia juga menyampaikan sejumlah hal yang perlu menjadi perhatian bersama.

Tentang perlunya kesesuaian dan mediasi kebutuhan antara pemerintah, pihak swasta dan masyarakat dalam pemanfaatan ruang laut termasuk menyinggung proses KPPRL sebagai prasyarat dalam pemanfaatan ruang pesisir dan laut.

KPPRL atau Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Rang Laut (KKPRL) merupakan hal niscaya yang harus diemban oleh siapapunperusahaan  pengguna kawasan pesisir dan laut.

Ketiga adalah perlunya sosialisasi tentang standar ketentuan, perizinan atau ketetapan nilai atau persentase kehidupan mangrove yang ditanam sehingga tidak memberikan demotivasi bagi pihak atau perusahaan yang telah berkontribusi dalam konservasi mangrove. Ini disinggung perserta bernama Muhammad Syakir yang telah terlibat pada sejumlah aksi penanaman mangrove.

Keempat adalah perlunya sharing pengalaman, kerjasama dalam pelaksanaan penanaman mangrove sebab selama ini terlalu sering aksi penanaman tetapi substansi dan hasilnya tidak sesuai harapan. Banyak yang hanya sekadar tanam, tanpa ada perawatan.

“Termasuk seringkali tidak sesuai antara spesies yang ditananam dan kemampuan substrat-nya,” kata Yusran Nurdin Massa.

Yusran juga mendorong agar ke depan ada semacam penciptaan kondisi seimbang antara upaya ekonomi, sosial dan lingkungan di area mangrove.

“Saran kami ke depan perlu memperbanyak opsi restorasi, sebab upaya integrasi seperti usaha tambak dan digabung dengan mangrove dianggap, sebab ada juga yang mengatakan tidak memberikan hasil maksimal,” ucapnya. Disinggung juga tidak tumbuh baiknya mangrove karena faktor kedalaman di lokasi tambak.

Kisah dari Pallime

Pada kegiatan tersebut mencuat permintaan dari salah satu peserta bernama Itong untuk mendiskusikan kondisi kawasan pesisir dan laut kaitannya dengan mangrove lebih mendalam.

“Kita butuh waktu yang lebih lama untuk membahas kondisi seperti Kawasan Pallime di Bone,” kata dia.

Menurutnya ada perubahan dan tantangan dalam mengelola kawasan seperti Pallime yang memang selama ini dikenal sebagai kawasan pemasok kepiting bakau di Sulsel.

Menurut founder Pelakita.ID, Kamaruddin Azis, apa yang disamapaikan Pak Itong ini sebagai ‘call to alumni’ untuk mulai memperbanyak riset atau pendataan kondisi kawasan seperti Pallime yang memang dulu dikenal sebagai pemasok kepiting bakau di Sulsel.

Selain Pallime beberapa kawasan mangrove seperti di Tongke-Tongke, Siwa Wajo, hingga Malili perlu menjadi agenda riset bersama ke depan.

Membaca hasil kajian

Merespon itu, Pelakita.ID melakukan googling dana menemukan hasil penelitian berjudul Tingkat Resiliensi Ekosistem Mangrove di Perairan Pallime, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Bone telah dirilis oleh Irwansyah, Muh. Adam Asgar, Lukman Daris, Andi Nur Apung Massiseng, Alpiani Alpiani, dan Andi Masriah dari ¹Agrobisnis Perikanan, Universitas Cokroaminoto Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia.

Penelitian tersebut menarik sebab relevan dengan topik perbincangan.

Dituliskan bahwa ekosistem mangrove adalah bagian penting dari kawasan pesisir. Fungsinya mencakup aspek ekologi, sosial, dan ekonomi. Namun, eksploitasi berlebihan mengancam keberlanjutan ekosistem ini.

Pemanfaatan mangrove yang tidak terkendali menyebabkan degradasi ekosistem. Penurunan luas hutan mangrove menjadi perhatian utama dalam pembangunan berkelanjutan. Pengelolaan berkelanjutan harus mempertimbangkan kemampuan ekosistem beradaptasi terhadap perubahan.

Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, memiliki produktivitas ekosistem mangrove yang tinggi. Produksi kepiting bakau di wilayah ini menjadi bukti pentingnya ekosistem mangrove bagi ekonomi lokal.

Desa Pallime, Kecamatan Cenrana, menjadi salah satu daerah penyumbang produksi kepiting. Namun, data menunjukkan adanya penurunan produksi, dari 1.526,5 ton pada 2007 menjadi 1.110,5 ton pada 2016.

Pendekatan resiliensi ekosistem menjadi solusi dalam pengelolaan mangrove. Resiliensi mengukur kemampuan ekosistem menghadapi perubahan lingkungan dan tekanan akibat pemanfaatan oleh manusia.

Ekosistem Mangrove di Perairan Pallime

Tiga spesies mangrove ditemukan di Pallime: Sonneratia caseolaris, Avicennia marina, dan Rhizophora mucronata. Pada salah satu Stasiun penelitian sebagai contoh memiliki jumlah pohon terbanyak, yakni 121 pohon, didominasi oleh Sonneratia caseolaris.

Diameter rata-rata pohon Sonneratia caseolaris mencapai 32,89 cm, Avicennia marina sebesar 27,16 cm, dan Rhizophora mucronata mencapai 33,91 cm. Kerapatan pohon tertinggi tercatat di Stasiun 3 dengan 4.033 pohon/ha.

Merujuk pada SK Menteri Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004, rata-rata kerapatan mangrove di Pallime sebesar 1.940 pohon/ha masuk dalam kategori “sangat baik”.

Persentase penutupan kanopi tertinggi tercatat di Stasiun 5 dengan 92,43%, sedangkan yang terendah di Stasiun 1 dengan 79,72%. Rata-rata persentase penutupan kanopi sebesar 85,96% menunjukkan ekosistem masih dalam kondisi baik.

Indeks Nilai Penting (INP) menunjukkan ekosistem ini seimbang. Ekosistem mangrove Pallime mampu menghadapi gangguan, pencemaran, dan perubahan lingkungan secara alami.

Resiliensi Ekologi dan Sosial

Resiliensi ekologi dihitung berdasarkan enam indikator, yaitu kerapatan mangrove, penutupan kanopi, keanekaragaman mangrove, salinitas, sedimentasi, dan persepsi produktivitas. Nilai resiliensi ekologi berkisar antara 0,72 – 0,83 dengan rata-rata 0,80, masuk kategori “tinggi”.

Resiliensi sosial dihitung berdasarkan pemahaman konservasi, pemantauan, penyuluhan, kepatuhan masyarakat, konflik antar nelayan, dan tingkat pendidikan. Hasil analisis menunjukkan nilai resiliensi sosial sebesar 0,68, dikategorikan “sedang”.

Pemahaman masyarakat terhadap konservasi berkontribusi terhadap pola pemanfaatan ekosistem yang lebih berkelanjutan. Namun, konflik antar nelayan menjadi faktor yang menurunkan nilai resiliensi sosial.

___
Catatan

Profil Penulis

Irwansyah lahir di Camba, 16 Agustus 1986. Ia menempuh pendidikan di Universitas Hasanuddin, dan saat ini sedang melanjutkan studi doktoral di bidang perikanan. Profil Google Scholar dapat diakses di: Google Scholar Irwansyah.