PELAKITA.ID – Tahun 1994 menjadi salah satu momen tak terlupakan dalam hidup saya sebagai mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan Universitas Hasanuddin angkatan 1989.
Saat itu, saya berkesempatan mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Bolong, Kecamatan Lamasi, Kabupaten Luwu.
Saya sangat berterima kasih kepada sejumlah nama yang memberi masukan dan dukungan selama masa KKN tersebut.
Di antaranya adalah Pak Imran, Ketua P2KKN dan teman bermain tenis saya di Tamalanrea. “Kau mau KKN di mana Kama’?” terkenang pernyataan Pak Imran di lapangan tenis.
Juga ada nama Pak Tadjuddin Parenta, dosen Fakultas Ekonomi Unhas yang juga kerap menjadi partner main tenis. Pak Tadju dan Pak Imran sempat menitip uang untuk saya saat mereka dalam kunjungan ke desa bersama Rektor Basri Hasanuddin kala itu.

“Mana di sini namanya Kama? Diajak main tenis sama Pak Imran,” kata Pak Kahar Lahae, malam itu di depan rumah kami.
Pak Kahar Lahae adalah supervisor KKN kami yang senantiasa membimbing dengan bijaksana.
Beberapa teman satu tim KKN yang masih saya ingat antara lain Basri Bohari dari Fakultas Pertanian angkatan 1989, yang saat itu tinggal di samping IMMIM Tamalanrea.
Ada juga Andi Asrianti dari Fakultas Ekonomi, Wahyuddin dari FISIP, serta Elwi dari Fakultas Teknik. Selain mereka, ada dua rekan lainnya yang, mohon maaf, namanya luput dari ingatan saya. Kalau tidak salah ingat dari Fakultas Kedokteran 88, Herni dan Sukri dari Sastra, semoga tidak keliru.
Kami menetap di sebuah rumah di belakang Kantor Koramil Batusitanduk, sementara kantor desa berada di sisi utara Desa Bolong.
Ada sejumlah warga yang masih saya ingat dari Batusitanduk, seperti keluarga Pagesongan, Ilham, Nani, dan keluarga Kararok. Dan tentu saja, Pak Kepala Desa saat itu—semoga saya tidak keliru—Pak Suwardi.
Kenangan di Batusitanduk begitu lekat dalam benak. Kami biasa mandi berjemaah di kanal irigasi, di Sungai Lamasi dan Irigasi Lamasi.
Aroma durian, suara riak Sungai Makawa, ternak itik, kolam-kolam ikan, serta bunga-bunga yang bermekaran di sepanjang jalan poros Palopo–Masamba, semua itu menjadi potongan ingatan yang hangat dan berwarna.
Dan inilah kami—wajah-wajah muda yang penuh semangat dalam bingkai waktu yang tak bisa kembali. Dalam foto ini, dari kiri ke kanan: Elwi, Basri, Wahyu, Anti, dan saya sendiri.
Penulis Kamaruddin Azis