Dampak Tambang Nikel, Peringatan Akademisi FPIK Unkhair Prof Najamuddin

  • Whatsapp
Prof Dr Najamuddin, S.T., M.Si, Guru Besar FPIK Bidang Pencemaran Laut,(Ilustrasi Pelakita.ID)

Bagi Prof Najamuddin, laut bukan hanya ruang ekonomi, melainkan ruang kehidupan yang keseimbangannya harus dijaga bersama.

PELAKITA.ID – Di tengah pesatnya pertumbuhan industri tambang nikel di wilayah timur Indonesia, terutama di Maluku Utara, kekhawatiran terhadap keberlanjutan ekosistem laut kian mencuat.

Salah satu suara kritis yang hadir dari dunia akademik adalah suara dan peringatan Prof. Dr. Najamuddin, S.T., M.Si., Guru Besar Ilmu Kelautan pertama di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Khairun Ternate.

Ia telah lebih dari dua dekade mengabdi sebagai dosen dan peneliti di bidang kelautan, dengan fokus utama pada pencemaran laut.

Dalam wawancaranya bersama Pelakita.ID, Prof. Najamuddin menyoroti dampak serius yang dapat ditimbulkan oleh aktivitas tambang nikel terhadap laut dan kehidupan biota di dalamnya.

Ia menekankan pentingnya kajian ilmiah yang mendalam, terutama terkait daya dukung laut, kualitas air, dan kelayakan ekologis sebagai habitat berbagai spesies laut.

Salah satu kekhawatiran utama adalah pencemaran logam berat.

Hal tersebut diingatkan Najamuddin terkait realita bahwa Maluku Utara dikenal sebagai salah satu wilayah dengan potensi mineral terbesar di Indonesia, khususnya dalam sektor pertambangan nikel.

Pelakita.ID menemukan informasi bahwa wilayah ini menjadi pusat industri tambang nasional dengan cadangan nikel yang melimpah, menjadikannya provinsi penghasil nikel tertinggi di Indonesia.

Selain nikel, terdapat pula tambang emas seperti yang dikelola oleh PT Nusa Halmahera Minerals (NHM) di Gosowong. NHM yang sebelumnya bekerja sama dengan Newcrest Mining dan Antam, kini dimiliki oleh PT Indotan Halmahera Bangkit dan Antam.

Operasi NHM berfokus pada tambang bawah tanah dan telah mencatatkan produksi emas signifikan dengan total produksi mencapai 6 juta ons hingga tahun 2020.

Selain NHM, beberapa perusahaan tambang besar juga beroperasi di Maluku Utara, antara lain PT Harita Nickel di Pulau Obi yang dikenal dengan komitmennya terhadap hilirisasi dan keberlanjutan, serta PT Mega Haltim Mineral di Halmahera Tengah yang menjalin hubungan erat dengan masyarakat adat Togutil.

Perusahaan lainnya seperti Halmaheira Sukses Mineral dan Tekindo Energi juga turut berkontribusi dalam eksplorasi dan produksi nikel, kobalt, dan bijih besi, sembari menjalankan program tanggung jawab sosial dan perlindungan lingkungan.

Kombinasi kekayaan alam dan keterlibatan perusahaan-perusahaan tambang ini menjadikan Maluku Utara sebagai kawasan strategis dalam peta industri pertambangan Indonesia.

Menyisakan limbah

Dikatakan, aktivitas tambang nikel selain menggunduli sejumlah hamparan hutan, juga menghasilkan limbah yang mengandung unsur seperti nikel, kromium, kadmium, dan merkuri.

“Logam-logam ini dapat larut dalam air laut atau mengendap di dasar perairan, membahayakan organisme laut seperti ikan, plankton, dan terumbu karang. Paparan logam berat yang terus-menerus juga dapat merembes ke rantai makanan, membahayakan kehidupan manusia,” paparnya.

Selain itu, lanjutnya, penambangan terbuka di wilayah daratan yang berdekatan dengan laut sering memicu aliran lumpur dan sedimen ke perairan sekitar.

“Ini menyebabkan meningkatnya kekeruhan air laut yang pada akhirnya mengganggu proses fotosintesis pada alga dan lamun. Sedimentasi yang berlebihan bahkan dapat menutupi permukaan terumbu karang, menimbulkan kematian massal pada ekosistem yang sangat sensitif tersebut,” terangnya.

Peta Halmahera, pulau yang banyak dirubung usaha pertambangan nikel (dok: Istimewa)

Disebutkan, dampak lainnya adalah rusaknya habitat alami biota laut. Ketika kualitas lingkungan laut terganggu akibat polusi dan sedimentasi, berbagai spesies laut—baik yang umum maupun endemik—terancam kehilangan tempat hidupnya. Kerusakan ini bisa menjadi permanen jika tidak segera ditangani.

Lebih jauh lagi, pencemaran logam berat juga berdampak pada sistem reproduksi biota laut.

“Gangguan hormonal akibat logam berat dapat menurunkan populasi spesies tertentu, dan dalam jangka panjang, bisa memicu kelainan genetik serta mutasi yang memperburuk keberlangsungan hidup mereka,” imbuhnya.

Kerusakan ekosistem laut ini akhirnya juga mengguncang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat pesisir.

Produktivitas perikanan, baik tangkap maupun budidaya, menurun drastis. Nelayan kesulitan mencari ikan, dan hasil laut yang tercemar berpotensi membahayakan konsumen. Ini adalah pukulan ganda—bagi lingkungan dan bagi manusia yang menggantungkan hidup pada laut.

Menurut Prof. Najamuddin, pendekatan ilmiah yang kuat dan intervensi kebijakan berbasis riset sangat penting untuk memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi dari sektor tambang tidak dibayar mahal dengan kerusakan lingkungan laut.

Ia percaya bahwa riset-riset ke depan harus lebih menyentuh aspek sosial-ekologis dari aktivitas pertambangan, termasuk pemetaan kawasan rawan dan penguatan strategi mitigasi pencemaran.

“Saat ini kami masih fokus pada penelitian logam pencemar, tapi saya yakin ke depan riset kami akan banyak menyentuh aspek sosial-ekologis dari tambang, termasuk pemetaan kawasan rawan dan penguatan mitigasi,” ungkapnya.

Dengan pengalaman panjang di dunia akademik dan komitmen kuat terhadap perlindungan lingkungan laut, Prof. Najamuddin menjadi sosok yang mengingatkan kita bahwa pembangunan yang abai terhadap ekosistem justru menyimpan risiko besar.

Bagi Prof Najamuddin, laut bukan hanya ruang ekonomi, melainkan ruang kehidupan yang keseimbangannya harus dijaga bersama.

Editor Denun