Peran ganda Mohammad Saleh Bantilan sebagai bupati dan raja mencerminkan dinamika sosial-politik yang khas di daerah-daerah Indonesia yang masih memelihara struktur adat.
PELAKITA.ID – Di tengah hiruk pikuk demokrasi dan tata kelola pemerintahan modern, masih ada pemimpin yang mampu menjembatani masa lalu dan masa kini.
Salah satunya adalah Mohammad Saleh Bantilan, tokoh sentral di Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah, yang bukan hanya menjabat sebagai Bupati selama dua periode, tetapi juga memegang peran sebagai Raja Tolitoli ke-17.
Hala tersebut disampaikan oleh Tenaga Ahli Bupati Tolitoli, Rustan Rewa yang telah malang melintang di pemerintahan di Tolitoli.
Menurur Rustan, perjalanan hidup Muhammad Saleh Bantilan merefleksikan kepemimpinan yang merepresentasikan jalinan unik antara kekuasaan administratif dan tradisi kerajaan yang masih hidup dalam masyarakat lokal.
Dua Periode Kepemimpinan yang Berkesan
Mohammad Saleh Bantilan memimpin Kabupaten Tolitoli sejak 2010 hingga 2021. Dalam dua periode kepemimpinannya, ia dikenal sebagai sosok yang nyentrik dan fenomenal. Gaya kepemimpinannya kerap disebut out of the box—tidak kaku pada protokol, namun tetap tegas dalam mengambil keputusan.
”Banyak kebijakan lokal yang digagasnya bersifat progresif dan sering mengundang perhatian, baik dari media lokal maupun nasional,” puji Rustan.
Menurut Rustan, di balik gayanya yang khas, tersimpan kemampuan membangun komunikasi yang kuat dengan masyarakat akar rumput.
”Kedekatannya dengan warga menjadi salah satu kunci kepercayaan publik yang membuatnya bertahan dalam dua periode jabatan,” ujar pria yang pernah jadi Kadis Pertanian di Tolitoli ini.
Keistimewaan Mohammad Saleh Bantilan tidak berhenti pada perannya sebagai bupati. Pada tahun 2017, ia secara resmi dinobatkan sebagai Raja Tolitoli ke-17, menggantikan Muhammad Anwar Bantilan, Raja sebelumnya.
Proses penobatan dilakukan melalui upacara adat sakral yang disebut Matanggauk, sebuah tradisi kuno masyarakat Tolitoli yang diwariskan turun-temurun sebagai bentuk legitimasi spiritual dan sosial dalam pengangkatan pemimpin adat.
Sebagai raja, Saleh Bantilan memikul tanggung jawab kultural dan simbolik, menjaga nilai-nilai luhur, adat istiadat, serta memperkuat identitas masyarakat Tolitoli.
Gelar ini tak hanya memperkaya narasi kepemimpinannya, tetapi juga mempertegas bahwa di Tolitoli, modernitas dan tradisi bukanlah dua kutub yang bertentangan, melainkan dua kekuatan yang bisa berjalan berdampingan.
Peran ganda Mohammad Saleh Bantilan sebagai bupati dan raja mencerminkan dinamika sosial-politik yang khas di daerah-daerah Indonesia yang masih memelihara struktur adat.
Menurut Rustan Rewa, sesuai dengan pengalaman berinteraksi, dalam diri Muhammad Saleh Bantilan, ia mewakili dua dunia: satu kaki berpijak di ranah birokrasi demokratis, dan kaki lainnya tertanam kuat dalam akar budaya kerajaan.
Jadi, kata Rustan, perpaduan ini memberi nilai tambah dalam membangun Tolitoli, baik secara fisik maupun sosial.
”Saya bersaksi, kepemimpinannya tidak semata soal pembangunan infrastruktur, tetapi juga soal membangun jati diri dan kepercayaan masyarakat terhadap warisan budaya mereka sendiri,” tambah Rustan.
Warisan yang Layak Diapresiasi
Dikatakan Rustan, dalam konteks desentralisasi dan otonomi daerah, model kepemimpinan seperti Mohammad Saleh Bantilan layak dijadikan studi, atau referensi.
”Ia menunjukkan bahwa identitas lokal dan tradisi bisa menjadi kekuatan, bukan hambatan, dalam menyelenggarakan pemerintahan yang efisien dan berpihak pada rakyat,” jelas Rustan.
Kini, saat tongkat estafet kepemimpinan daerah terus bergulir, warisan politik dan budaya yang ditinggalkan Saleh Bantilan menjadi pengingat bahwa membangun daerah bukan hanya soal angka dan proyek, tetapi juga soal rasa dan sejarah.
”Ia adalah simbol bagaimana seorang pemimpin bisa merangkul masa depan tanpa melepaskan masa lalu,” pungkas Rustan Rewa’.
Editor Denun