Ni’matullah RB: Pembangunan dari Atas Tak Selalu Berdampak Baik ke Akar Rumput

  • Whatsapp
Ni'matullah RB (Alumni FEB Unhas 85)

PELAKITA.ID – Di tengah suasana silaturahmi alumni Unhas yang difasilitasi Ketua IKA Unhas Samarinda Mappabali, S.H, di RM Sandeq Makassar, Kamis, 11 April 2025, penulis berbincang Ni’matullah Rahim Bone, ‘akuntan’ yang juga alumni FEB Unhas angkatan 85.

Ada beberapa poin substansial yang disampaikan saat penulis bertanya tentang seberapa efektif Koperasi Desa Merahu Putih yang diusung pemerintah pusat.

Demikian pula mekanisme perencanaan pembangunan nasional antara aras kepenting Pusat dan Daerah serta apa yang perlu dilakukan ke depan untuk mengisi sejumlah gap yang bakal hadir.

Secara substansial dipaparkan bahwa pembangunan yang dirancang sepenuhnya dari atas ibarat hujan yang turun deras, namun tak sampai membasahi akar. Segalanya tampak megah di atas kertas: jalan dibangun, gedung diresmikan, angka-angka ekonomi naik.

Namun, ketika masyarakat di akar rumput ditanya, banyak dari mereka merasa tak dilibatkan, apalagi merasakan manfaatnya secara langsung.

”Model perencanaan yang top-down—dari pusat ke daerah, dari elit ke rakyat—sering kali membuat pembangunan menjadi proyek, bukan proses,” kata Ni’matullah yang akrab disapa Ketua Besar itu.

Akibatnya, program-program yang seharusnya menjawab kebutuhan riil warga justru melenceng dari konteks lokal.

Infrastruktur dibangun tanpa dukungan sosial, kebijakan digulirkan tanpa kesiapan pelaksana, dan yang paling parah: rakyat hanya menjadi objek, bukan subjek pembangunan.

 Dampak Sistem Top-Down yang Kronis

Pembaca sekalian, ketika masyarakat tidak dilibatkan dalam menyusun arah pembangunan, maka rasa memiliki akan hilang.

Partisipasi menurun, kepercayaan publik luntur, dan program-program pemerintah menjadi rentan gagal karena tidak sesuai dengan aspirasi maupun kapasitas lokal. Dalam jangka panjang, ini bisa merusak kepercayaan terhadap sistem demokrasi itu sendiri—sebab suara rakyat tidak benar-benar dianggap penting.

 Apa yang Bisa Dilakukan Anak Bangsa? Ni’matullah menjawab bahwa sebagai anak bangsa, kita perlu mendorong perubahan paradigma: dari pembangunan yang memusat, menjadi pembangunan yang mendengar.

”Kita perlu menciptakan ruang-ruang partisipatif—mulai dari musyawarah desa yang inklusif, forum warga kota yang terbuka, hingga platform digital yang memungkinkan warga bersuara,” kata dia.

”Pendidikan politik warga juga penting, agar masyarakat tidak hanya tahu cara memilih, tapi juga cara mengawal anggaran dan kebijakan,” sebutnya.

 Koperasi: Pilar Ekonomi Rakyat yang Perlu Diperkuat

Penulis juga menyampaikan bahwa dalam konteks ekonomi kerakyatan, koperasi adalah instrumen penting untuk memperkuat daya saing masyarakat bawah sehingga ketika Prabowo Subianto mengusung Kopdes Merah Putih maka sejatinya perlu didukun.

”Atau setidaknya kita ikut bantu penguatan kapasitas eksisting,” kata penulis ke Ketua Besar.

Pertimbanganya, bahwa koperasi bukan sekadar soal membentuk badan hukum dan membuat papan nama. Ia butuh pendampingan, ekosistem pendukung, dan kesinambungan usaha.

Ni’matullah Erbe, Ketua DPD Partai Demokrat Sulawesi Selatan menyebut dia punya pengalaman bicara bisnis UMKM, dan penguatan kapasitas berusaha.

”Perlu fasilitasi yang benar dalam pendirian koperasi supaya tidak mengulang kesalahan lalu,” ujarnya.

“Banyak koperasi gagal bukan karena rakyat tidak mau bersatu, tapi karena negara hadir setengah hati. Pendampingan lemah, modal tidak tepat sasaran, dan koperasi hanya dijadikan syarat administratif untuk penyaluran program,” ujarnya dalam sebuah diskusi komunitas.

Ni’matullah menekankan, jika pemerintah serius ingin menjadikan koperasi sebagai sokoguru ekonomi rakyat, maka harus ada reformasi dalam cara pendirian dan pembinaannya.

“Fasilitasi itu bukan hanya soal bantuan dana, tapi juga pendidikan kewirausahaan, akses pasar, dan ekosistem yang mendukung koperasi bertahan dan berkembang,” tegasnya.

Desentralisasi: Harapan untuk Masa Depan yang Lebih Adil

Lebih jauh, Ni’matullah juga berharap agar semangat desentralisasi tidak berhenti pada urusan pemerintahan saja, tetapi juga dalam hal penganggaran dan penguatan kapasitas daerah.

“Daerah harus diberi ruang untuk merancang program sesuai kebutuhan lokal. Bukan sekadar menjalankan titah dari pusat. Kunci pembangunan yang berkelanjutan ada pada kepercayaan terhadap kapasitas lokal,” katanya.

Desentralisasi penganggaran berarti memberi wewenang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk merancang dan mengelola keuangan sesuai potensi dan tantangan masing-masing wilayah.

Namun tentu, kepercayaan ini harus diiringi dengan penguatan kapasitas—agar daerah tak hanya diberi kewenangan, tapi juga alat dan kemampuan untuk menggunakannya secara bertanggung jawab.

 Pembaca sekalian, pembangunan sejati bukanlah soal proyek semata, melainkan tentang memperkuat manusia dan komunitasnya.

Ketika perencanaan dibuka untuk partisipasi luas, ketika koperasi dibina dengan sungguh-sungguh, dan ketika daerah dipercaya untuk mengelola nasibnya sendiri—saat itulah bangsa ini benar-benar bergerak dari akar, bukan sekadar dari menara gading kekuasaan.