Tak Ada Modal Sosial di Belokan Jalan

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID

Modal sosial muncul dari hubungan antarindividu dan berfungsi sebagai sarana untuk memfasilitasi tindakan-tindakan kolektif yang menguntungkan, seperti keberhasilan pendidikan anak dalam lingkungan yang suportif.

PELAKITA.ID – Seorang kawan di salah satu WAG menyampaikan kegamangannya tentang semakin materialistiknya kita. Tentang betapa langka solidaritas sosial kita.

Dia menyampaikan itu sembari mengirim foto suasana di perbelokan jalan di salah satu ruas Kota Makassar. Tiada lagi modal sosial, semua berbayar.

Sementara, di sebuah belokan jalan kampung, seorang ibu tua jatuh dari motornya. Suaranya lirih, tubuhnya ringkih, tapi tidak ada yang berhenti.

Motor-motor terus melaju. Mobil-mobil tetap menyalakan klakson. Semua orang melihat, tapi tak satu pun menolong. Seolah tak terjadi apa-apa. Seolah tak ada yang bisa—atau ingin—melakukan sesuatu.

Itu bukan sekadar pemandangan tragis. Itu adalah cermin. Cermin yang memantulkan wajah kita sebagai masyarakat hari ini—dingin, terburu-buru, dan abai.

Kita tak sekadar kehilangan empati. Kita kehilangan sesuatu yang jauh lebih penting: modal sosial.

Modal sosial bukan istilah akademik semata. Ia adalah perekat tak terlihat yang menyatukan kita sebagai komunitas. Ia hidup dalam saling sapa tetangga, dalam spontanitas menolong orang asing, dalam gotong royong saat musibah datang.

Ia adalah rasa percaya, rasa tanggung jawab terhadap sesama, dan keyakinan bahwa hidup ini bukan hanya tentang aku—tapi tentang kita.

Namun hari ini, modal sosial makin langka. Kita hidup di zaman ketika individualisme dielu-elukan. Ketika “urus dirimu sendiri” menjadi norma. Ketika kebaikan ditunda karena dianggap tak produktif.

Bahkan ketika seseorang tergeletak di jalan, lebih mudah mengeluarkan ponsel untuk merekam, daripada mengulurkan tangan untuk membantu.

Semuanya kini serba dihitung. Termasuk rasa peduli. Segalanya punya harga. Termasuk empati. Tolong-menolong bisa jadi transaksi, bukan lagi ekspresi kasih. Masyarakat kita sedang dikapitalisasi hingga ke akarnya—hingga ke nurani.

Modal Sosial menurut Teoretikus

Konsep modal sosial (social capital) merupakan gagasan penting dalam ilmu sosial yang telah dibahas oleh banyak pemikir besar. Salah satu tokohnya adalah Pierre Bourdieu, yang melihat modal sosial sebagai jaringan hubungan yang dapat dimanfaatkan individu untuk memperoleh keuntungan tertentu.

Bourdieu menekankan bahwa modal sosial tidak berdiri sendiri, melainkan terkait erat dengan modal ekonomi dan budaya, serta memainkan peran dalam menjaga dan mereproduksi ketimpangan sosial.

Sementara itu, James Coleman memandang modal sosial dari sudut fungsional, khususnya dalam konteks pendidikan dan keluarga.

Bagi Coleman, modal sosial muncul dari hubungan antarindividu dan berfungsi sebagai sarana untuk memfasilitasi tindakan-tindakan kolektif yang menguntungkan, seperti keberhasilan pendidikan anak dalam lingkungan yang suportif.

Robert Putnam, salah satu tokoh paling dikenal dalam diskursus publik, mengangkat pentingnya modal sosial dalam kehidupan demokrasi dan masyarakat sipil. Dalam bukunya Bowling Alone (2000), ia menunjukkan bagaimana partisipasi sosial dan rasa saling percaya menurun drastis di Amerika Serikat.

Putnam membedakan antara bonding social capital—ikatan erat dalam kelompok yang homogen, dan bridging social capital—jembatan yang menghubungkan kelompok-kelompok berbeda dalam masyarakat.

Dari ketiga pemikir ini, tampak bahwa modal sosial bukan hanya soal hubungan sosial semata, tetapi juga kekuatan yang memengaruhi dinamika sosial, ekonomi, dan politik dalam kehidupan sehari-hari.

Ketimpangan sosial pun memperparah segalanya. Ketika warga melihat jurang antara mereka dan para elite yang hidup dalam kenyamanan, rasa percaya itu luntur. Kepercayaan adalah bahan bakar modal sosial. Tanpa itu, kita hanya sekumpulan individu, bukan komunitas.

Pendidikan, yang seharusnya jadi benteng terakhir, tampaknya lebih sibuk mengejar angka-angka. Sementara keluarga, unit sosial terkecil, mulai kehilangan waktu dan energi untuk mengajarkan nilai dasar tentang berbagi dan peduli. Kita mencetak generasi cerdas, tapi sering lupa mencetak generasi welas asih.

Apakah ini bisa diperbaiki?

Harusnya bisa. Tapi semua pihak harus bergerak. Pemerintah harus menciptakan ruang-ruang sosial, bukan hanya ruang beton. Kebijakan publik harus berpihak pada keadilan dan kebersamaan. Pendidikan karakter bukan pelengkap, tapi fondasi.

Agamawan perlu kembali menyuarakan nilai-nilai solidaritas sosial, bukan sekadar urusan akhirat. Ajaran agama adalah tentang kasih, peduli, dan tanggung jawab sosial—itulah yang harus lebih sering dikumandangkan.

Organisasi masyarakat sipil harus menjadi jembatan, mempertemukan yang tak kenal, menyatukan yang terpisah. Kegiatan lintas komunitas, lintas agama, lintas kelas sosial perlu terus digalakkan agar kita belajar lagi tentang arti menjadi satu.

Perguruan tinggi punya tanggung jawab moral dan intelektual untuk menyalakan kembali obor kepercayaan sosial. Lewat riset, pengabdian masyarakat, dan pendidikan yang berpihak pada publik.

Tokoh masyarakat dan para influencer juga punya peran penting. Mereka harus bicara, bukan untuk popularitas, tapi untuk menyuarakan nilai-nilai yang kini nyaris diam: empati, gotong royong, kepedulian.

Lalu siapa yang paling bertanggung jawab? Kita semua. Tapi tentu saja, mereka yang punya kuasa dan pengaruh harus lebih dulu memberi teladan. Jangan harap rakyat tergerak jika pemimpinnya saja acuh.

Pada akhirnya, belokan jalan tempat ibu tua itu jatuh bukan hanya soal lokasi. Itu adalah simbol. Simbol bahwa kita berada di tikungan sejarah sosial kita. Jika kita terus melaju tanpa peduli, tanpa menengok kanan kiri, kita akan sampai di ujung jalan yang sunyi—tanpa kebersamaan, tanpa rasa memiliki satu sama lain.

Pertanyaannya: di belokan ini, apakah kita akan terus melaju sendiri-sendiri? Atau akan mulai menoleh, berhenti, dan saling menolong lagi?

Tamarunang, 11 April 2025