PELAKITA.ID – Di banyak sudut negeri ini, mulai tampak sebuah gejala menarik: para pemimpin daerah menyerukan shalat berjamaah—bahkan menjadikannya sebagai agenda resmi.
Kadang melalui imbauan tertulis, tak jarang pula dengan nada kewajiban yang menyiratkan sanksi moral.
Masjid-masjid di lingkungan kantor pemerintahan pun mulai ramai; bukan hanya oleh kumandang azan, tetapi juga oleh langkah-langkah para ASN yang tampaknya mulai terbiasa shalat berjamaah karena seruan atasan.
Sekilas, ajakan ini tampak tak bermasalah. Bukankah shalat berjamaah itu utama? Bukankah meramaikan masjid adalah kebaikan?
Namun sebuah pertanyaan menggantung di langit batin kita: jika shalat dilakukan karena takut teguran atasan, jika ke masjid hanya karena suara instruksi, untuk siapa sejatinya sujud itu ditujukan?
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَاۤ اُمِرُوْۤا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَـهُ الدِّيْنَ ۙ حُنَفَآءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).”
(QS. Al-Bayyinah: 5)
Ayat ini menegaskan: inti ibadah adalah keikhlasan. Bukan karena takut pada manusia, bukan karena tekanan birokrasi, tetapi karena cinta dan tunduk kepada Allah semata.
Rasulullah SAW pun bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian, dan tidak pula kepada harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)
Hati — itulah tempat asal ibadah yang benar. Dan amal yang diterima adalah yang lahir dari niat suci, bukan dari kepatuhan semu kepada struktur kekuasaan.
Gejala hari ini mungkin lahir dari niat baik. Seorang pemimpin tentu ingin rakyatnya mendekat kepada Tuhan. Namun hendaknya para pemimpin memahami: ketaatan spiritual bukanlah angka statistik yang bisa dilaporkan, bukan pula barisan rapi yang bisa dikontrol seperti apel pagi.
Ibadah adalah gerakan jiwa, dan jiwa tak bisa dipaksa.
Pemimpin yang bijak bukanlah yang memaksa orang ke masjid, melainkan yang menghidupkan nilai-nilai Allah dalam sistem yang adil, dalam pelayanan yang tulus, dalam keteladanan yang membekas.
Ketika seorang ASN melihat atasannya berdiri lurus dalam shalat— bukan karena kamera, bukan karena pencitraan, tetapi karena cinta kepada Tuhannya—
di sanalah dakwah diam-diam bekerja. Sebab shalat bukan sekadar ritual. Ia adalah cermin hubungan antara hamba dan Tuhannya. Dan hubungan itu suci—tak boleh dicemari oleh keterpaksaan.
Maka, marilah kita jaga semangat ibadah ini, agar tetap murni, tetap jernih. Agar setiap sujud adalah bentuk cinta, bukan sekadar formalitas di hadapan manusia.
Dalam iklim masyarakat yang terus bergerak antara formalitas dan substansi, para pemimpin daerah perlu berhati-hati, agar niat baik tidak tergelincir menjadi sekadar program simbolik. Mendorong shalat berjamaah itu baik, tetapi mendidik hati untuk mencintai ibadah adalah jauh lebih mulia dan berkelanjutan.
Pada akhirnya, shalat adalah hakikat yang amat personal. Ia adalah dialog batin yang tak bisa dibirokrasikan. Ia bukan ajang kepatuhan sosial, melainkan ruang keheningan yang menghadirkan Tuhan di relung terdalam diri.
Maka biarlah para ASN beribadah bukan karena imbauan, tetapi karena cinta. Bukan karena takut kepada manusia, tetapi karena rindu kepada Allah.
Karena sesungguhnya, Allah tidak butuh shalat kita. Kitalah yang membutuhkan rahmat-Nya. Dan rahmat itu hanya turun bila hati ini tunduk dengan ikhlas— tanpa paksaan, tanpa kepura-puraan.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Moel’S | 09.04.2025