Pelajaran penting dari bencana ini adalah perlunya meningkatkan pengetahuan masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana. Banyak korban jiwa akibat ketidaksiapan dan kurangnya pemahaman dalam menghadapi bencana.
PELAKITA.ID – Sekitar tujuh tahun yang lalu, pada suatu sore di bulan September 2018, gempa bumi berkekuatan 7,6 M mengguncang Sulawesi Tengah. Guncangan ini disusul oleh gelombang tsunami yang memporak-porandakan Kota Palu dan sekitarnya.
Nestapa ini semakin parah dengan terjadinya likuifaksi (tanah bergerak) di beberapa titik lokasi. Di bagian utara Kota Palu juga terjadi fenomena lain akibat gempa bumi, yaitu penurunan tanah (subsidence), yang menyebabkan jalan trans Sulawesi turun hampir satu meter di sepanjang 150 meter.
Para ahli menyebut gempa bumi Palu 2018 sebagai bencana “4 in 1″—satu kejadian yang menyebabkan empat jenis bencana: gempa bumi, tsunami, likuifaksi, dan subsidence.
Korban meninggal akibat bencana ini mencapai 3.400 orang, sementara total pengungsi akibat kehilangan rumah mencapai 210.000 orang.
Gempa bumi di daerah Palu memang sudah sering terjadi sejak dulu. Kota ini dilalui oleh jalur patahan besar yang disebut Sesar Palu-Koro, yang sangat aktif.
Tsunami juga beberapa kali terjadi di wilayah Palu hingga Toli-Toli. Penurunan tanah (subsidence) telah beberapa kali terjadi di masa lalu akibat gempa bumi. Namun, fenomena likuifaksi yang merenggut sekitar 1.500 korban jiwa di beberapa titik membuat para ilmuwan terkejut.
Titik-titik likuifaksi yang paling terdampak akibat gempa Palu 2018 adalah Kelurahan Balaroa dan Petobo di Kota Palu, serta Desa Sibalaya dan Jono Oge di Kabupaten Sigi.
Peta yang dibuat oleh peneliti menunjukkan luas empat area yang mengalami likuifaksi, yakni Kelurahan Petobo, Palu Selatan (181,24 hektare) dan Perumnas Balaroa, Kecamatan Palu Barat (40 hektare).
Beberapa ilmuwan dari berbagai negara datang ke Palu untuk meneliti fenomena ini. Mereka ingin memahami penyebab, mekanisme, dan kemungkinan terjadinya likuifaksi di masa depan. Informasi yang diperoleh akan dijadikan referensi untuk mitigasi bencana ke depan.
Apa Itu Likuifaksi?
Likuifaksi adalah fenomena di mana tanah yang jenuh air untuk sementara berperilaku seperti cairan akibat guncangan hebat, seperti gempa bumi.
Tekanan air di antara partikel tanah meningkat, melemahkan kemampuan tanah untuk menopang struktur di atasnya. Akibatnya, tanah menjadi tidak stabil dan membahayakan bangunan di atasnya.
Tiga syarat utama terjadinya likuifaksi adalah tanah terdiri dari material pasir yang tidak terikat atau tidak padu., kedua muka air tanah dangkal dan ketiga adanya getaran kuat dari gempa bumi berkekuatan besar.
Kota Palu tersusun atas material alluvial, yaitu hasil sedimentasi berupa pasir yang sangat berpori dan tidak padu. Kedalaman air tanah di Kota Palu sangat dangkal, hanya sekitar 2–3 meter.
Dengan gempa berkekuatan lebih dari 7 skala Richter, guncangan dapat dengan mudah membuat air tanah naik ke permukaan dan menyebabkan likuifaksi.
Kondisi ini diperparah dengan topografi yang sedikit miring, sehingga pergerakan tanah lateral menjadi lebih masif.
Likuifaksi di Berbagai Negara
Likuifaksi telah sering terjadi di dunia. Misalnya:
- Jepang: Gempa Hyogo-ken Nanbu (1995) merusak fasilitas pelabuhan di Kobe akibat likuifaksi.
- Selandia Baru: Gempa Christchurch (2010 dan 2011) menyebabkan likuifaksi yang luas.
- Amerika Serikat: Gempa Niigata (1964) dan Loma Prieta (1989) juga menyebabkan likuifaksi.
Sebagian besar kejadian likuifaksi terjadi di wilayah Ring of Fire atau Cincin Api, yang merupakan daerah dengan aktivitas seismik tinggi
Peringatan yang Terabaikan
Potensi likuifaksi di Palu sudah sering dilaporkan. Badan Geologi mencatat sedikitnya 15 titik berpotensi likuifaksi, termasuk Kota Palu. Pada masa kolonial, Belanda lebih memusatkan pembangunan di Donggala, bukan Palu, karena mereka mengetahui adanya Sesar Palu-Koro.
Prof. Katili, seorang ahli geologi asal Sulawesi, telah mengingatkan tentang patahan ini sejak tahun 1970 dalam jurnal dan bukunya.
Tahun 2010, Badan Geologi juga telah memetakan potensi likuifaksi di Kota Palu, dengan daerah Petobo masuk dalam zona merah. Sayangnya, peringatan ini tidak diindahkan dalam pengembangan wilayah dan infrastruktur. Bahkan, dibangun sebuah jembatan besar yang melintasi jalur patahan tanpa mempertimbangkan risiko gempa.
Pelajaran penting dari bencana ini adalah perlunya meningkatkan pengetahuan masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana. Banyak korban jiwa akibat ketidaksiapan dan kurangnya pemahaman dalam menghadapi bencana.
Selain itu, infrastruktur sering kali dibangun tanpa memperhatikan faktor kebencanaan. Oleh karena itu, literasi bencana harus terus disuarakan.
Jepang dan Mitigasi Likuifaksi
Jepang, yang memiliki risiko likuifaksi tinggi, kini tengah mengembangkan teknologi mitigasi berbasis kecerdasan buatan (AI). Model ini menyediakan peta stabilitas tanah yang terperinci, memungkinkan kota-kota pintar mengidentifikasi zona aman untuk konstruksi. Teknologi ini diharapkan dapat mengurangi risiko likuifaksi di daerah rawan gempa.
Likuifaksi dalam Al-Qur’an
Jika kita mengkaji Al-Qur’an, fenomena likuifaksi telah dijelaskan dalam beberapa ayat. Misalnya, kisah Qarun dalam Surah Al-Qashash ayat 81:
“Maka Kami benamkanlah Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap azab Allah. Dan tiadalah ia termasuk orang-orang yang dapat membela (dirinya).”
Qarun dihancurkan bersama hartanya dengan ditenggelamkan ke dalam bumi, sebagaimana mekanisme likuifaksi dalam ilmu modern.
Selain itu, dalam Surah Al-Ankabut ayat 40, Allah berfirman:
“Di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi…”
Begitu pula dalam Surah Al-Hijr ayat 74:
“Maka Kami jadikan bagian atas kota itu terbalik ke bawah dan Kami hujani mereka dengan batu dari sijjil.”
Fenomena ini mirip dengan likuifaksi yang menelan kawasan seluas 180 hektare di Petobo pada 2018.
Renungan
Saat merenung di ujung subuh, saya membayangkan beberapa kota besar di Indonesia yang dibangun di atas material berpasir, dengan muka air tanah dangkal, serta berada di daerah rawan gempa.
Sudahkah masyarakat di atasnya mengetahui potensi likuifaksi? Apakah mereka siap? Semoga.
Wallahu a’lam bish-shawab.