Calling Back the Spirit | Pengalaman Pertama Bertemu Susi Pudjiastuti, One on One

  • Whatsapp
Ibu Susi saat hadir HBH Iluni (dok: K. Azis)

PELAKITA.ID – Postingan reflektif di Kompasiana terkait speech Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Susi Pudjiastuti di seminar ISKINDO (4/12/2015) di Jakarta rupanya dibaca olehnya. Blogger pasti bangga, iya kan?

Satu setengah tahun kemudian, pada 14 Juli 2017, saya menerima pesan via WhatsApp. Wanita ‘pembeda’ itu mengundang ke kediamannya untuk berbagi perspektif. Wow!

Berbekal pengalaman berkelana dan berinteraksi dengan masyarakat pesisir di Sulawesi, Maluku, dan Papua selama tiga tahun, saya siap bersua MKP. Saya menyiapkan kata kunci terkait pembangunan.

Saya merancang poin-poin tentang relevansi, efektivitas, efisiensi, cakupan dampak, dan keberlanjutan program pembangunan. Dengan itu, saya bergegas ke kawasan Jalan Widya Chandra, Jakarta Selatan.

Sekitar pukul 16.00 WIB, setelah shalat ashar di Masjid Al Maahir, saya berjalan kaki menuju kediaman MKP. Saya tiba lima menit sebelum jam empat.

Beberapa menit kemudian, Susi menjabat tangan saya. Hangat. Sebelum saya bertanya, ia langsung berbicara. Saya yang awalnya kikuk perlahan mulai nyaman.

Obrolan kami mengalir, seperti sahutan ‘bakul ikan’ dan ‘nelayan udang’ pada suatu malam di PPI Pangandaran, kampung halaman Susi.

Dia menjelaskan mengapa begitu getol mengusir asing di Laut Nusantara. Negara telah kehilangan banyak potensi laut akibat armada asing.

“There are things beyond that I thought. Kenapa saya hantam di Natuna? Itu jalur perdagangan kita yang amat rentan,” katanya.

Suaranya meninggi lalu pelan. Dia mengingatkan tentang kelindan kepentingan besar di bisnis perikanan. “Uangnya besar, kalau kita berkuasa, penyelundupan tak bebas lagi.”

Susi menyebut praktik penyelundupan barang ke Indonesia sudah lama terjadi, melibatkan armada besar. Kapal-kapal ikan membawa alkohol ilegal dan produk tak berpajak.

“Persoalan illegal fishing bukan sekadar perikanan, tapi kedaulatan negara. Barang ilegal dari Thailand masuk lewat kapal ikan, ada juga drugs, human trafficking,” tegasnya.

Dengan pertimbangan itu, regulasi dan kebijakan menjaga kedaulatan menjadi prioritas. Dia sadar ini tak bisa diselesaikan cepat. Pilihan ini sering disebut melampaui wewenangnya.

“Negara ini lost opportunity. Itu ketidakadilan yang menyalahi tujuan utama kita sebagai bangsa,” tegasnya.

Program nasional berbiaya besar belum sepenuhnya menyasar keadilan pembangunan kawasan, pusat-periferal, termasuk pulau-pulau kecil terluar.

Poros Maritim yang diimpikan Jokowi-JK menurut Susi adalah bergerak bersama merebut dan mengisi kedaulatan. Seperti sirip ikan, ada arah dan penopang.

“Standar operasi Poros Maritim harus begitu,” katanya seraya membetulkan letak duduknya.

Regulasi dan kebijakan KKP bertujuan mengatasi ketimpangan distribusi dan harga barang. Ini membuat ekonomi Timur-Barat Indonesia begitu timpang.

“Kalau industri perikanan dikembangkan dari Talaud ke Davao, Biak, Morotai ke Palau, Saumlaki ke Darwin, harga barang tak semahal sekarang,” paparnya.

Di sektor perikanan, diperlukan dukungan pada skema logika ini, bukan pihak luar. “Persoalannya, tidak banyak yang berpikir seperti itu,” katanya.

“Bagi saya, kelautan is everything,” ujarnya. KKP bukan sekadar menangkap ikan, tetapi menjaga kedaulatan laut sebagai penggerak utama ekonomi.

Indonesia harus merebut kedaulatan di laut karena selama ini laut menjadi ruang aneksasi ekonomi negara-negara tetangga.

“Mereka ambil ikan karena butuh, tapi berangkatnya bawa produk mereka: senjata, obat-obatan, perdagangan manusia,” katanya.

Susi berdiri. Kami pindah ke kursi lain. Kini saya duduk di sampingnya, tanpa kursi yang mengantarai.

Penenggelaman kapal ilegal di Indonesia berlandaskan UU No. 45/2009. Susi menyampaikan gagasan ini ke Presiden hingga mendapat dukungan.

Dibuat pula Permen 56 tentang moratorium eks kapal asing, Permen 57 tentang transshipment, dan Permen 58 untuk disiplin pegawai negeri.

“Jadi bukan karena saya saja, ini atas nama Negara,” katanya.

Penenggelaman kapal didahului konsultasi dengan Dubes negara terkait perikanan, seperti Malaysia, China, Thailand, Filipina, Vietnam, dan Australia.

“Bu, motif sovereign bisa diterima. Tapi bagaimana dengan prosperity dan sustainability yang dikritik?” tanyaku.

Kebijakan MKP berlandaskan “Kedaulatan, Keberlanjutan, dan Kesejahteraan.” Ini menjadi pijakan program kelautan dan perikanan.

“Saya sudah sampaikan ke Dorodjatun Kuntjoro-djakti sejak 2001. Kita butuh pendekatan perikanan berkelanjutan. Tapi saat itu negara tak pikir maritim,” katanya.

Dia mengakui Jokowi berpikir maritim, tetapi ada tantangan lain. Misalnya, kurikulum pendidikan kelautan tak berubah, begitu pula pola anggaran.

“Gubernur banyak kita komunikasi, termasuk terkait cantrang,” katanya. Isu ini jadi pusaran protes nelayan. Pijakan Susi jelas: demi keberlanjutan ekosistem.

Tentang Cantrang

Kajian dasar pelarangan cantrang sudah cukup. Surat edaran No. 72/MEN-KP/II/2016 mewajibkan alat tangkap ramah lingkungan demi keberlanjutan sumber daya ikan.

KKP melakukan pelatihan dan penggantian alat tangkap, seperti gillnet millennium, kepada nelayan Pantura di Balai Pendidikan Perikanan Tegal.

Perencanaan dan penganggaran kebijakan berdasarkan kondisi makro dan spesifik Indonesia. Illegal fishing dan dominasi kapal asing jadi pertimbangan regulasi.

“Dengan Susinisasi, dari Rp13 triliun, saya potong jadi Rp6,6 triliun,” katanya. Susinisasi memangkas ketidakefisienan dalam program pemberdayaan yang boros.

Tawaran bantuan dari lembaga keuangan internasional ditolak. “Kalau mau beri dana, boleh dalam bentuk aset dan infrastruktur,” katanya.

Kepentingan Lokal

Pembangunan infrastruktur harus disesuaikan dengan kapasitas lokal, sumber daya manusia, dan potensi daerah agar berkelanjutan.

Banyak permintaan membuka keran eksploitasi asing, tetapi Susi menolak. “Kita beri 100% kalau untuk pengolahan. Tidak ada jual ke kapal asing,” katanya.

Selama tiga tahun, bantuan alat tangkap, perahu, dan sarana perikanan ditingkatkan setelah penyesuaian regulasi dan administrasi.

Konsumsi ikan nasional meningkat dari 36 kg ke 41 kg per kapita per tahun. Tahun ini ditargetkan naik menjadi 43 kg.

Impor ikan turun 70%, negara untung $3 miliar. “That is a huge industry,” katanya bangga.

China mengubah strategi di high seas karena ketatnya kontrol perbatasan Indonesia. “Kita menerapkan pendekatan berkelanjutan,” katanya.

Ada kendala di beberapa daerah, seperti mark down ukuran kapal dan kepuasan penerbitan izin. Reformasi masih terus berjalan.

Pembangunan sentra kelautan perlu kolaborasi dengan daerah, misalnya membuka penerbangan. “Tanpa sinergi, sulit membangun sektor ini,” katanya.

Penulis Kamaruddin Azis