Rektor Unhas Ajak DPR hingga Kepala Daerah Beri Atensi ke Terumbu Karang

  • Whatsapp
Foro bersama inisiatir Jaringan Adopsi Karang Indonesia bersama Rektor Unhas Prof Jamaluddin Jimpa yang juga Presiden ADS Indonesia (dok: Pelakita.ID)

Termasuk DPR dan pemerintah daerah, untuk memberikan perhatian lebih terhadap pengelolaan ekosistem laut. Sering kali, isu lingkungan dianggap hanya membuang anggaran tanpa keuntungan ekonomi yang jelas.

PELAKITA.ID – Laut mencakup sekitar 70% dari permukaan bumi, dan jika ditelusuri wilayah laut yang paling kaya, jawabannya adalah Indonesia.

”Kekayaan ini berkaitan erat dengan keberadaan terumbu karang yang telah bertahan secara geologis bahkan sebelum dinosaurus. Dalam proses evolusi, organisme ini memiliki peran penting dalam membentuk keanekaragaman hayati laut,” sebut Rektor Unhas Jamaluddin Jompa.

Prof JJ menyampaikan itu saat memberikan paparan di depan sejumlah aktivis kelautan yang menghadiri Deklarasi Adopsi Karang Indonesia yang digelar atas dukungan Unhas dan JOB Tomori Pertamina – Medco Energi.

Menurut Prof JJ, keberadaan terumbu karang tidak sekadar dapat direstorasi atau ditransplantasi, tetapi juga harus dipahami dari perspektif sejarah geologi dan evolusi.

Terumbu karang adalah kunci

”Terumbu karang adalah kunci utama bagi keanekaragaman hayati laut Indonesia. Jika terumbu karang tidak ada, maka pusat keanekaragaman hayati laut pun akan hilang. Ini karena tidak ada lagi struktur yang mampu menopang kompleksitas ekosistem tersebut,” ujarnya.

Disebutkan juga bahwa balam studi geologi, Kanada merupakan salah satu tempat untuk memahami sejarah terumbu karang di masa lalu.

”Meski bukan wilayah tropis, penelitian di sana membantu melihat bagaimana terumbu karang berevolusi dari zaman dahulu hingga saat ini, termasuk bagaimana peradaban manusia, seperti Homo sapiens, berkembang dalam kurun waktu 10.000 tahun terakhir,” ucap JJ.

”Salah satu aspek yang menarik dari penelitian ini adalah kapasitas resiliensi luar biasa yang dimiliki terumbu karang untuk bertahan dalam berbagai kondisi lingkungan,” tambahnya.

Ketika berbicara mengenai peta sebaran terumbu karang dunia, pusatnya memang berada di Indonesia.

Meski demikian, sebut JJ, agar memiliki aliansi yang kuat, beberapa negara lain seperti Malaysia, Filipina, Timor Leste, dan Kepulauan Solomon turut dimasukkan dalam kawasan segitiga terumbu karang dunia.

Namun, Australia tidak termasuk dalam wilayah ini karena kesepakatan ilmiah yang menetapkan batas minimal keanekaragaman spesies terumbu karang.

”Dengan lebih dari 500 spesies terumbu karang di Indonesia, Australia yang hanya memiliki sekitar 300-450 spesies tidak dapat masuk dalam kategori tersebut. Jika batas minimalnya ditetapkan lebih rendah, maka Australia bisa masuk, tetapi hal ini akan mengurangi daya tarik ekosistem karang Indonesia di mata dunia,” paparnya.

Keunggulan komparatif ini menurut JJ, seharusnya menjadi modal besar bagi Indonesia dalam mempromosikan ekosistem lautnya.

”Pemerintah daerah, sektor perikanan, dan industri kelautan seharusnya bekerja sama dalam mengangkat isu ini, termasuk melalui keterlibatan figur publik,” ucapnya.

”Di masa lalu, ada inisiatif yang melibatkan para artis untuk mendukung pelestarian terumbu karang, karena narasi mengenai terumbu karang tidak harus selalu dikaitkan dengan kesan serius dan sulit dijangkau,” kata dia.

”Bahkan, konsep kecantikan pun kini semakin inklusif, dengan estetika yang lebih beragam, termasuk mengakui keindahan alam bawah laut Indonesia yang eksotis,” lanjutnya.

Menurut Jompa, Indonesia tidak hanya unggul dalam jumlah terumbu karang, tetapi juga dalam keanekaragaman ikan.

”Jika Australia memiliki sekitar 500 spesies ikan, Indonesia memiliki lebih dari 3.000 spesies. Sayangnya, keunggulan ini kurang dipromosikan secara luas,” ucapnya.

”Belum ada film dokumenter atau narasi nasional yang menegaskan bahwa Indonesia adalah pusat biodiversitas laut dunia. Padahal, anak-anak muda perlu merasa bangga dan lebih percaya diri dalam menyuarakan keunggulan Indonesia dalam ekosistem kelautan,” tegasnya.

Meski, kata Jompa, salah satu tokoh yang pernah menegaskan keunggulan ini adalah seorang menteri yang berani menyatakan bahwa Indonesia adalah negara nomor satu dalam keanekaragaman hayati laut, mengalahkan Amazon yang selama ini dianggap sebagai pusat biodiversitas dunia.

”Jika Amazon dikenal karena keanekaragaman hayati daratnya, maka laut Indonesia harus diakui sebagai pusat keanekaragaman hayati maritim. Klaim ini bukan sekadar opini, melainkan didukung oleh berbagai penelitian ilmiah dari seluruh dunia,” tambahnya.

Tantangan Terbesar

Meski demikian, JJ menyebut, tantangan terbesar adalah bagaimana meyakinkan para pemangku kebijakan.

”Termasuk DPR dan pemerintah daerah, untuk memberikan perhatian lebih terhadap pengelolaan ekosistem laut. Sering kali, isu lingkungan dianggap hanya membuang anggaran tanpa keuntungan ekonomi yang jelas,” sebutnya.

”Sebagai perbandingan, Australia pernah menghadapi tantangan dalam mendapatkan anggaran untuk mengelola Great Barrier Reef. Namun, dengan data dan kajian ilmiah yang menunjukkan bahwa degradasi ekosistem tersebut dapat menyebabkan kerugian hingga 500 triliun rupiah, pemerintah mereka akhirnya berinvestasi sebesar 10 triliun rupiah sebagai langkah pencegahan,” ungkap JJ.

”Pendekatan berbasis ekonomi ini seharusnya dapat diterapkan di Indonesia agar keberlanjutan terumbu karang dapat lebih diperhatikan,” kuncinya.

Redaksi