Bleaching Karang, Ancaman Nyata Akibat Kesalahan Manusia: Prof Jamaluddin Jompa

  • Whatsapp
Unhas mendukung kerjasama para pihak seperti JOB Tomori Pertamina - Medco Energi, Unismuh Banggai dan ADSI untuk perlindungan terumbu karang (dok: Pelakita.ID)

Bahwa (coral) bleaching bukanlah bagian dari siklus alam, melainkan akibat langsung dari aktivitas manusia. Penggunaan bahan bakar fosil telah meningkatkan efek rumah kaca, memicu pemanasan global yang melebihi toleransi karang

PELAKITA.ID – Dalam beberapa dekade terakhir, terjadi perdebatan mengenai penyebab bleaching pada karang. Ada yang mengaitkannya dengan siklus geologi yang berlangsung ratusan, ribuan, atau bahkan jutaan tahun.

Rektor Unhas Prof Jamalauddin Jompa mengatakan itu saat memberikan paparan di depan sejumlah aktivis kelautan yang menghadiri Deklarasi Adopsi Karang Indonesia yang digelar atas dukungan Unhas, ADSI, dan JOB Tomori Pertamina – Medco Energi, Rabu, 27 Februari 2025.

Prof JJ menyebut, dalam sejarah bumi, fenomena ini belum pernah terjadi.

”Koral yang telah hidup sejak sebelum era dinosaurus tidak pernah mengalami bleaching hingga tahun 1998,” ucapnya.

”Ini menjadi bukti bahwa bleaching bukanlah bagian dari siklus alam, melainkan akibat langsung dari aktivitas manusia. Penggunaan bahan bakar fosil telah meningkatkan efek rumah kaca, memicu pemanasan global yang melebihi toleransi karang,” tegasnya.

Oleh karena itu, kata dia, perdebatan mengenai apakah bleaching adalah fenomena alami harus dihentikan.

”Jika manusia dapat beradaptasi terhadap suhu ekstrem—misalnya, menggunakan payung dan minum air di tengah terik 45 derajat Celsius di Mekah atau mengenakan pakaian tebal di Kutub—karang tidak memiliki mekanisme adaptasi tersebut,” sebutnya.

”Karang adalah organisme menetap yang tidak bisa bermigrasi dan jauh lebih sensitif terhadap perubahan suhu dibandingkan organisme lain. Evolusi tidak pernah membentuk karang untuk mampu bertahan dalam kondisi pemanasan drastis, sehingga bleaching menjadi ancaman yang sangat serius,” ujar Guru Besar Kelautan Unhas spesialisasi ekologi terumbu karang itu.

Menurut Jompa, meskipun dunia berusaha mengurangi emisi rumah kaca dengan berbagai kebijakan nasional dan internasional, dampak pemanasan global tidak akan hilang dalam waktu singkat.

”Bahkan jika emisi karbon dioksida dihentikan sepenuhnya hari ini, atmosfer sudah jenuh dengan gas rumah kaca yang terus memicu pemanasan. Pertanyaannya, apakah karang dapat beradaptasi? Jawabannya hampir tidak mungkin, kecuali jika kita membantu meningkatkan kapasitasnya untuk bertahan,” ucapnya.

Oleh karena itu, kata JJ, kesadaran dan patriotisme dalam menjaga ekosistem laut harus terus ditanamkan.

”Tanpa pemahaman yang kuat, mustahil bagi seseorang untuk peduli terhadap kondisi karang yang semakin terancam,’ sebutnya.

Kata Jompa, kesehatan terumbu karang sangat bergantung pada keseimbangan ekosistemnya.

”Oleh sebab itu, pengelolaan perikanan, komposisi karang, serta restorasi harus dilakukan untuk memastikan daya tahan karang semakin kuat,” tambahnya.

Dia menilai, praktik merusak seperti penggunaan bom dan racun sianida dalam menangkap ikan, eksploitasi berlebihan, serta ketidakseimbangan nutrien akan semakin mempercepat kehancuran terumbu karang.

”Permasalahan ini tidak bisa diatasi oleh satu negara saja. Meskipun banyak negara telah sepakat mengenai perubahan iklim, faktanya tidak semua pemimpin dunia mengakui ancaman tersebut,” ucapnya.

Perlu inisiatif

Rektor Unhas itu menyebut Indonesia harus mengambil inisiatif untuk memperkuat kapasitas terumbu karang agar mampu bertahan terhadap tekanan lingkungan.

”Untuk itu, diperlukan lebih banyak ilmuwan yang mendalami permasalahan ini dan mencari solusi yang tepat,” sebutnya.

Dia memberi penghargaan atas inistaif sejumlah industri besar seperti Pertamina, Medco, dan Mars.

”Memiliki sumber daya untuk mendukung penelitian terkait bleaching dan kesehatan karang. Tanpa penelitian yang memadai, sulit bagi kita untuk memahami permasalahan ini secara menyeluruh. Sebagai contoh, pada awal 2000-an, data mengenai penyakit karang di Indonesia hampir tidak ada. Bukan karena penyakit tersebut tidak ada, tetapi karena kurangnya penelitian,” ungkapnya.

Kata JJ, sama seperti manusia yang membutuhkan pemeriksaan medis untuk mengetahui kesehatannya, ekosistem karang juga memerlukan penelitian yang mendalam agar masalahnya dapat teridentifikasi sejak dini.

”Ketidakseimbangan ekosistem laut telah menyebabkan berbagai permasalahan yang tidak terduga. Sebagai contoh, Australia pernah mengalami wabah bintang laut mahkota duri (Acanthaster planci) yang merusak terumbu karang,” ungkapnya.

”Awalnya, orang-orang mencoba mengatasinya dengan cara memotong bintang laut ini, tetapi justru memperparah masalah karena populasi mereka malah meningkat. Baru kemudian ditemukan bahwa metode terbaik adalah dengan menyuntikkan larutan formalin. Namun, langkah ini pun masih menimbulkan dampak pencemaran,” terangnya.

Inilah, lanjut JJ, mengapa ilmu kelautan sangat penting. Banyak orang tidak menyadari bahwa keseimbangan alam diciptakan dengan aturan tertentu.

”Jika kita tidak memahami cara kerja ekosistem, masalah baru akan terus bermunculan. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama dalam penelitian dan pengelolaan ekosistem laut,” tambahnya.

Dia berharap, bagi mahasiswa yang sudah menyelesaikan pendidikan S1, melanjutkan ke jenjang S2 dan memperdalam riset tentang terumbu karang sangatlah penting.

Unhas kata dia ada grup yang fokus terumbu karang.

”Kita ada Coral Restoration and Sustainability Research Group, misalnya, berfokus pada rehabilitasi dan keberlanjutan terumbu karang. Tanpa upaya rehabilitasi yang masif, karang tidak akan mampu pulih dengan sendirinya karena tingkat degradasi saat ini jauh lebih cepat dibandingkan dengan kemampuan alami karang untuk tumbuh kembali,” katanya.

Dahulu, tambah JJ, transplantasi karang bukanlah prioritas utama dalam konservasi karena penyakit karang masih jarang ditemukan.

”Namun, kondisi saat ini telah berubah drastis. Laju degradasi ekosistem laut semakin cepat, sehingga karang tidak bisa pulih secara alami. Oleh karena itu, peran industri dan program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) sangat krusial dalam mendukung upaya rehabilitasi terumbu karang,” jelasnya.

Bagi JJ, restorasi ekosistem laut bukanlah proyek jangka pendek yang bisa selesai dalam beberapa bulan lalu ditinggalkan begitu saja.

”Ini adalah tugas jangka panjang yang membutuhkan kolaborasi berbagai pihak agar terumbu karang—salah satu aset paling berharga Indonesia—dapat diselamatkan dan tetap lestari untuk generasi mendatang,” kuncinya.