Isu dan Rekomendasi dari Seminar serta Deklarasi Adopsi Karang Indonesia

  • Whatsapp
Rektor Unhas Prpf Jamaluddin Jompa (dok Pelakita.ID)

Misalnya, setelah membayar zakat sebesar 2,5%, tambahan donasi 2,5% lagi dapat dialokasikan untuk pemulihan ekosistem laut. Ini adalah bentuk kepedulian yang nyata dan berkelanjutan.

PELAKITA.ID – Selama 20 tahun terakhir, kondisi terumbu karang di Indonesia tetap mengalami tantangan yang sama.

”Jika situasi ini terus dibiarkan, dampaknya bisa sangat buruk bagi ekosistem laut dan kehidupan manusia yang bergantung padanya. Tanpa upaya pemulihan, ekosistem ini akan semakin sulit dikonsolidasi dan pada akhirnya menghilang,” kata Rektor Unhas, Prof Jamaluddin Jompa.

Dia menyatakan itu saat menjadi narasumber pada Seminar Biodiversitas dan Deklarasi Adopsi Karang Indonesia di Unhas Hotel and Convention, Kamis, 27 Februari 2025.

Menurut JJ, sejak tahun 1980-an, kondisi terumbu karang di berbagai wilayah Indonesia tidak menunjukkan pertumbuhan baru yang signifikan.

”Tanpa stabilitas dan regenerasi alami, intervensi manusia menjadi sangat penting. Salah satu solusi yang kini mulai diterapkan adalah program adopsi karang,” kata dia.

Dia mengapresiasi inisiatif untuk memperbanyak tangan-tangan dalam upaya konservasi karang yang dihelat sejumlah aktivis kelautan dan perikanan ini.

Kata dia, dengan berbagi rezeki, masyarakat dapat berkontribusi dalam konservasi melalui berbagai yayasan dan NGO yang menyalurkan bantuan secara efektif.

”Misalnya, setelah membayar zakat sebesar 2,5%, tambahan donasi 2,5% lagi dapat dialokasikan untuk pemulihan ekosistem laut. Ini adalah bentuk kepedulian yang nyata dan berkelanjutan,” ucapnya.

Target Konservasi dan Tantangan Pengelolaan

Indonesia telah menargetkan perluasan kawasan konservasi laut dari 20 juta hektare pada tahun 2020, menjadi 30 juta hektare pada 2030, dan hingga 100 juta hektare pada 2045.

”Namun, yang lebih penting dari perluasan kawasan ini adalah efektivitas pengelolaannya. Jika pengelolaan tidak dilakukan dengan baik, luas kawasan tersebut hanya akan menjadi angka tanpa dampak nyata,” kata JJ.

Saat ini,sebutnya,  banyak kawasan konservasi yang belum memiliki sistem manajemen yang jelas, sehingga efektivitasnya masih perlu ditingkatkan.

”Dari sisi ekonomi, konservasi tidak hanya soal lingkungan, tetapi juga soal keberlanjutan ekonomi maritim. Menarik lebih banyak dukungan dari NGO dan filantropi menjadi strategi yang perlu diperkuat. Upaya konservasi yang cerdas dan terencana akan memastikan bahwa restorasi karang dapat bertahan dalam jangka panjang dan berdampak nyata,” jelasnya.

 Restorasi Karang: Efektivitas dan Keberlanjutan

Restorasi karang di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, seperti ukuran kawasan yang masih kecil dan spesies yang tidak selalu cocok dengan lingkungan yang terus berubah.

”Beberapa negara, seperti Hong Kong, telah mulai menggunakan metode reproduksi seksual untuk menghasilkan karang yang lebih tahan terhadap perubahan suhu. Indonesia pun perlu mengadopsi strategi serupa untuk meningkatkan keberhasilan restorasi,:” sebutnya.

Selain itu, tambahnya, ukuran proyek restorasi juga menentukan keberhasilannya.

”Jika terlalu kecil, ekosistem yang dipulihkan rentan terhadap gangguan eksternal, seperti serangan bintang laut pemakan karang. Oleh karena itu, proyek konservasi harus mempertimbangkan luas kawasan, jenis geologi, dan pemilihan spesies yang lebih tahan lama, meskipun pertumbuhannya lebih lambat,” jelasnya.

Ada sejumlah tantangan atau isu seperti kebijakan yang konsisten, pengalokasi sumber daya riset yang terbatas, kapasitas dan penegakan hukum yang lemah hingga kurangnya komitmen pemerintah dalam menjadikan terumbu karang sebagai aset bersama.

 Partisipasi Publik dan Peran Swasta dalam Konservasi

JJ menyatakan, konservasi tidak bisa hanya mengandalkan kerja sukarela. Masyarakat membutuhkan dukungan dan insentif ekonomi agar mereka dapat terus berpartisipasi.

”Oleh karena itu, sektor swasta perlu lebih banyak terlibat dalam investasi konservasi. Kesadaran masyarakat juga harus ditingkatkan, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah pesisir yang rentan terhadap abrasi,” terangnya.

Salah satu solusi terbaik untuk mengurangi abrasi menurut JJ adalah adalah dengan memperbaiki ekosistem karang yang secara alami dapat memecah energi gelombang.

”Dibandingkan membangun pelindung pantai buatan yang bisa rusak dalam beberapa tahun, memperkuat ekosistem laut adalah solusi jangka panjang yang lebih efektif,” ujarnya.

 Jika masyarakat memahami pentingnya konservasi, mereka akan menyadari bahwa ekosistem laut adalah perlindungan alami bagi mereka sendiri. JJ menyatakan, banyak penelitian menunjukkan bahwa bagi pulau-pulau kecil di Pasifik, menjaga ekosistem kalkarius adalah satu-satunya cara untuk bertahan dari ancaman kenaikan permukaan laut. Biarkan alam bekerja dengan tetap menjaga keseimbangannya.

”Narasi konservasi harus berkembang menjadi gerakan sosial yang lebih luas,” kata dia.

”Jangan sampai generasi mendatang terpaksa meninggalkan pulau mereka karena kerusakan ekosistem yang tidak lagi dapat diperbaiki. Saatnya kita bersama-sama berkontribusi dalam menyelamatkan lingkungan untuk masa depan yang lebih baik,” ujarnya.

Sejumlah rekomendasi

Pada seminar tersebut, mencuat sejumlah rekomendasi seperti pentingnya Restorasi Terumbu Karang: sebagia agenda bersama.

Kedua, salah satu proyek yang menarik perhatian dunia adalah program restorasi karang di Mars yang dikenal dengan skala luar biasa dan pendekatan pragmatis dalam memberikan solusi konkret. Di Mars, proyek restorasi terumbu karang telah menjadi sorotan dunia karena menerapkan konsep “disconnected structure” dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Kata JJ, umumnya, proyek-proyek pemerintah hanya mencakup area kecil, sekitar 5-10 meter, atau maksimal 200 meter. Namun, di Pulau Badi saja, proyek ini mencakup 14.400 meter, dan di Pulau Bontosua mencapai lebih dari 3 hektar dengan panjang lebih dari 1 kilometer.

 ”Struktur disconnected ini memberikan kekuatan lebih pada ekosistem yang direstorasi, memungkinkan keberlanjutan dalam jangka panjang,” sebutnya.

Ketiga, salah satu tantangan utama dalam restorasi karang adalah bagaimana membangun kesadaran dan keterlibatan publik. Banyak proyek yang gagal karena kurangnya pemahaman dan partisipasi dari pihak terkait, termasuk pemerintah daerah dan masyarakat pesisir.

Restorasi ekosistem laut bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), tetapi juga masyarakat yang bergantung pada sumber daya laut untuk kehidupan sehari-hari.

Keempat, dalam wacana global, ada perdebatan mengenai apakah terumbu karang dapat dikategorikan sebagai karbon sink. Pemerintah Indonesia sempat mengklaim bahwa terumbu karang memiliki peran besar dalam menyerap karbon, sejalan dengan tren perdagangan karbon dan pendanaan berbasis lingkungan.

Namun, secara ilmiah, klaim ini masih menuai kritik karena terumbu karang lebih berperan dalam keanekaragaman hayati dan ekosistem laut dibanding sebagai penyerap karbon utama.

Salah satu dampak dari kebijakan yang tidak berbasis data ilmiah yang kuat adalah potensi salah arah dalam strategi konservasi. Terumbu karang memiliki nilai strategis bagi ekonomi, keanekaragaman hayati, serta kesehatan lingkungan.

Oleh karena itu, penting untuk memahami fungsinya secara holistik tanpa harus memaksakan narasi tertentu demi kepentingan politik atau ekonomi sesaat.

 Kelima, kesadaran politik juga menjadi faktor kunci dalam upaya konservasi. Jika isu lingkungan tidak menjadi prioritas dalam agenda politik, maka upaya restorasi hanya akan menjadi proyek jangka pendek tanpa dampak nyata.

Semua pihak perlu bersinergi untuk menciptakan kebijakan yang mendukung konservasi laut sebagai bagian integral dari pembangunan berkelanjutan.