Sunk Cost Fallacy ‘Uang Hangus’ dan Kekhawatiran pada Danantara ala Made Supriatma

  • Whatsapp
SBY. Prabowo dan Jokowi (dok: Antara)

PELAKITA.ID – Menarik membaca penjelasan Made Supriatma, penulis, content creator tenar tentang Danantara dan kaitannya dengan realitas ‘Sunk Fallacy’ sebagaimana ditulisb di laman FB-nya. Mari simak.

Pengalaman Pribadi: Menunggu di Warung Sate

Seorang teman dari luar negeri dan luar kota mengunjungi saya. Setelah berbincang, kami memutuskan untuk makan sate kambing.

Kami pergi ke sebuah warung yang sudah dikenal memiliki waktu tunggu lama. Saat mengambil nomor antrean, diberitahu bahwa waktu tunggu sekitar 1 jam.

Saya terakhir makan pukul 9 malam, dan saat itu sudah pukul 13.30 siang. Satu jam masih bisa ditoleransi. Kami menunggu hingga 1,5 jam, baru minuman datang.

Kami mulai mempertimbangkan untuk membatalkan pesanan, membayar yang sudah dikonsumsi (hanya kerupuk), dan pergi.  Namun, ada yang menolak karena merasa sudah menunggu lama, sehingga akhirnya kami tetap menunggu.

Setelah hampir 2 jam, makanan tiba, tetapi selera makan sudah hilang akibat rasa kesal dan lapar yang terlalu lama.

Konsep Sunk Cost Fallacy

Istilah ‘sunk cost fallacy’ berasal dari ilmu ekonomi dan politik. Secara harfiah berarti ‘sesat pikir biaya hangus’.

Konsepnya: manusia cenderung mempertahankan investasi yang sudah dikeluarkan (waktu, uang, energi, emosi), meskipun hasilnya merugikan.

Contoh dalam pengalaman pribadi: sudah menunggu lama di warung sate, merasa sayang untuk pergi meskipun keputusan rasionalnya adalah meninggalkan tempat tersebut.

Akibatnya, kita tetap bertahan meskipun sudah jelas mengalami kerugian.

Contoh Sunk Cost Fallacy dalam Kehidupan Sehari-hari

Pernikahan – Seorang wanita sudah menyiapkan segala keperluan pernikahan. – Seminggu sebelum acara, diketahui bahwa calon suaminya sudah menikah dengan orang lain. Meskipun ini alasan kuat untuk membatalkan, banyak yang tetap melanjutkan demi menghindari malu dan kerugian finansial.

Menonton Film – Sudah membeli tiket dan popcorn. – Film ternyata membosankan. – Alih-alih keluar, tetap menonton karena merasa sayang sudah membayar tiket.

Sunk Cost Fallacy dalam Proyek Nasional

IKN (Ibu Kota Nusantara) – Negara telah menginvestasikan Rp71,2 triliun untuk pembangunan. – Total investasi hingga 2024 mencapai Rp140,7 triliun. –

Saat ini pemerintah kekurangan dana, tetapi tetap dilanjutkan meskipun beban anggaran semakin berat.

Proyek Danantara – Proyek baru yang akan diresmikan oleh pemerintahan Prabowo. – Jika merugi setelah satu tahun, akankah dihentikan?.

Konsep ‘too big to fail’ berarti jika untung, negara belum tentu mendapat manfaat; jika rugi, negara pasti menanggungnya.

Risiko penyalahgunaan dana besar karena pengawasannya minim.  Apakah bisa setara dengan Temasek (Singapura) atau Khazanah (Malaysia)? Sejauh ini, tanda-tandanya kurang meyakinkan.

Dampak Sosial dan Ekonomi

Pengorbanan Rakyat – Anggaran Danantara berasal dari efisiensi anggaran negara. – Banyak pegawai kecil terkena dampak, termasuk PHK pekerja outsourcing. – Kondisi fasilitas publik menurun, contoh: toilet bandara yang pesing akibat pemotongan biaya kebersihan.

Keuntungan untuk Elite – Jika Danantara untung, belum tentu masuk ke APBN. – Bisa jadi digunakan untuk proyek-proyek politik dengan dalih investasi. – Pengawasan lemah, berisiko disalahgunakan oleh pihak yang berkuasa.

Kesimpulan: Risiko Sunk Cost Fallacy dalam Proyek Besar

Negara menghadapi risiko ‘sunk cost fallacy’ dengan proyek besar seperti Danantara dan IKN. semakin besar investasi, semakin sulit untuk menghentikan proyek meskipun jelas merugikan.

Jika proyek gagal, rakyat kecil yang menanggung beban terbesar. Apakah ada jaminan bahwa Danantara tidak akan menjadi ‘sunk cost fallacy’ seperti yang dikhawatirkan? Yakinkan saya bahwa ini tidak akan terjadi!

Redaksi