Reputasi Kegagalan Berulang, dari Bulog hingga Hambalang

  • Whatsapp
Ilustrasi dari ToonPool.Com

PELAKITA.ID – Sudah tahu seberapa besar Danantara bukan? Mengelola ribuan triliun duit publik. Total aset melebihi 900 miliar dolar AS, Danantara, akan menjadi pemilik dana kekayaan negara terbesar di dunia.

Banyak orang menilai insitusi itu hanya akan mengulang kegagalan, kegagalan sebagai insitusi superbodi dengan harta bergelimang.

Rekam jejak pemerintah kita dalam mendirikan dan mengelola institusi terbilang buruk. Semakin besar institusi yang dibentuk, semakin besar pula potensi kegagalannya. Itu realita dan kabar buruknya. Negara sayonara tanpa eksekusi politik pada pelanggar.

Mari cermati.

Pertama, BULOG, yang didirikan pada awal Orde Baru, tahun 1967. Awalnya, BULOG bertujuan menjaga stabilitas pangan, tetapi pada akhirnya menjadi ajang permainan politik dan korupsi.

Tujuan mulianya tersisih oleh kepentingan segelintir elite yang memanipulasi harga beras dan bahan pokok lainnya. Sementara itu, rakyat tetap mengalami kesulitan akibat harga yang tidak menentu, sedangkan segelintir pihak menikmati keuntungan dari permainan pasar.

Kedua, BPPC (Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh). Eksis tahun 1992, dengan alasan melindungi petani cengkeh serta menjaga stabilitas harga. Institusi ini, yang dipimpin oleh Tommy Soeharto, diberi hak monopoli untuk membeli cengkeh dari petani dan menjualnya ke industri.

Jangankan menyejahterakan petani, BPPC justru memaksa mereka menjual hasil panennya dengan harga rendah. Sebagai modal awal, BPPC memperoleh pinjaman dari Bank Indonesia sebesar US$325 juta, yang jika dikonversi ke kurs saat ini setara dengan Rp5,2 triliun.

Tak cukup ini, negara ini punya catatan kelam BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), yang diperkenalkan pada tahun 1997, bertujuan menyelamatkan bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas.

Sayangnya, banyak bankir dan pengusaha besar menyalahgunakan dana ini dengan mengalirkannya ke luar negeri atau ke perusahaan pribadi. Hingga kini, sebagian besar utang BLBI tidak pernah sepenuhnya dikembalikan, dan banyak tokoh utama dalam skandal ini lolos dari hukuman yang setimpal.

Gagal BLBI masih ada BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dibentuk setelah Soeharto lengser pada tahun 1998. Lembaga ini ditugaskan untuk menangani aset bermasalah dari bank penerima BLBI dan memulihkan sektor keuangan nasional.

Namun, realitasnya, BPPN berubah menjadi tempat “cuci gudang” aset negara. Bank-bank yang bangkrut menerima suntikan dana negara, tetapi asetnya malah dijual dengan harga murah. Krisis moneter yang seharusnya menjadi momen reformasi justru semakin memperkuat cengkeraman oligarki. Sekali lagi, institusi gagal memenuhi tujuannya.

Proyek Hambalang, masih ingat? Ini adalah pusat pelatihan dan sekolah atlet di era Presiden SBY. Proyek yang dirancang dengan anggaran Rp2,5 triliun ini akhirnya mangkrak akibat skandal korupsi yang melibatkan banyak pejabat tinggi.

Audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap kerugian negara hingga Rp706 miliar. Kini, yang tersisa hanyalah bangunan terbengkalai—monumen kegagalan yang nyata.

Kini, Danantara hadir. Dengan rekam jejak buruk dan sejarah kegagalan institusi yang terus berulang, kekhawatiran saya semakin besar. Alih-alih menjadi alat kesejahteraan, institusi ini berisiko besar menjadi sarang korupsi dan inefisiensi, di mana segelintir elite kembali menjadi pihak yang paling diuntungkan.

Danantara bukan sekadar proyek raksasa, dia bukti bahwa sejarah terus berulang, dan di Indonesia, sejarah yang berulang adalah sejarah kegagalan. Dalam pola kegagalan ini, kekuasaan semakin terkonsolidasi, sementara rakyat tetap miskin dan hanya bisa menjadi penonton.

Mengapa kita begitu khawatir? Sebab korupsi sungguh mengakar, manajemen yang buruk, birokrasi yang lamban, boros, serta minimnya akuntabilitas dan evaluasi. Dana publik sedang terancam, rakyat akan siap-siap nelangsa untuk kesekian kalinya.