Pallukacci dan Efektivitas Ekonomi: Sebuah Catatan dari Dapur Rumah Tangga

  • Whatsapp
Pallukacci, ada bonte dan lawi-lawi (dok: Pelakita.ID)

PELAKITA.ID – Saya dan istri, Daeng Ke’nang, memulai pagi dengan bergegas menuju Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Beba, Galesong Utara. Pukul 07.00 WITA, motor cicilan kami melaju dengan seperempat liter bensin yang menghabiskan sekitar Rp2.000.

Sejam perjalanan, kami tiba di lokasi yang sejatinya merupakan pusat transaksi hasil laut, tetapi realitas di lapangan berbicara lain.

Para nelayan, pedagang ikan, papalele, pinggawa, hingga sawi justru lebih memilih bertransaksi di luar kompleks PPI yang dibangun dengan dana pemerintah hingga miliaran rupiah. Ironi yang begitu nyata.

Setelah perdebatan kecil di antara keramaian pasar, istri akhirnya memilih dua ekor ikan cakalang dengan harga Rp50.000.

Insangnya memang sudah memucat kecokelatan, tetapi bagi kami, masih lebih baik ketimbang membeli yang lebih mahal, Rp60.000 per ekor. Lagipula, selama camba dan kunyit tersedia di rumah, semuanya bisa disiasati.

Dalam perjalanan pulang, istri menunjukkan strategi ekonomi rumah tangga yang sederhana namun efektif. Dengan dana tersisa, kami mampir membeli bonte’ (Rp4.000 per biji), lawi-lawi (Rp5.000 per sigompo), serta tomat cabe.

Total belanja hari itu mencapai Rp70.000, cukup untuk stok dua hari ke depan. Sesampainya di rumah, masih ada nasi dari semalam—dingin seperti udara di Lolai, tetapi tetap layak disantap.

Ketika hidangan tersaji, formasinya sederhana tetapi menggugah selera: cobek-cobek non tumis, lawi-lawi sebagai lalapan, potongan bonte, dan tentu saja pallukacci cakalang yang mengundang selera.

Kami berlima, bersama anak-anak, menyantap hidangan itu dengan penuh kenikmatan. Hingga tanpa sadar, nasi di piring habis lebih cepat daripada yang di periuk matang. Kami berhenti sejenak, lalu meledak dalam tawa. Puas.

Namun, dari dapur sederhana ini, saya mulai merenungkan sesuatu yang lebih besar: apakah peristiwa ekonomi mikro yang kami alami—dari memilih ikan, membeli bahan pelengkap, hingga menyesuaikan anggaran rumah tangga—sebenarnya adalah cerminan nyata dari pola ekonomi yang lebih luas?

Kami, para konsumen kecil, secara langsung merasakan dinamika harga pasar, kualitas barang, dan efisiensi belanja.

Sementara itu, di sisi lain, PPI Beba yang dibangun dengan anggaran miliaran rupiah justru tidak difungsikan sebagaimana mestinya oleh para pelaku industri perikanan.

Apakah ini yang disebut sebagai spektrum ekonomi makro?

Apakah ketidakpedulian pelaku pasar terhadap fasilitas pemerintah mencerminkan kegagalan dalam manajemen anggaran publik? Bukankah investasi besar dalam sektor perikanan seharusnya meningkatkan kesejahteraan nelayan dan menciptakan pasar yang lebih terorganisir?

Ataukah ini hanya bagian dari janji populis yang berulang, tanpa solusi nyata?

Para ekonom mungkin memiliki jawaban dalam angka dan teori, tetapi bagi kami, para pelaku ekonomi mikro, semua bermuara pada satu hal: kenyamanan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Selama kami masih bisa menikmati pallukacci dengan bahan yang terjangkau, selama tawa masih terdengar di meja makan, rasanya tak perlu terlalu jauh memikirkan prestasi atau kegagalan kebijakan maritim. Semoga, yang penting, tidak sampai mules di kemudian hari.