Wawancara | KKP Bentuk Direktorat Penataan Ruang Laut, Akademisi ULM: Enyahkan Ego Sektoral!

  • Whatsapp
Baharuddin Sabur (dok: Istimewa)

Apakah penambahan DJ Penataan Ruang Laut itu sejalan dengan efisiensi Presiden Prabowo?

PELAKITA.ID – Baharuddin Sabur, peneliti dan pemerhati lingkungan dari Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan memberikan pandangannya terkait sejumlah pertanyaan yang disiapkan oleh Pelakita.ID

Sosok yang kerap disapa Bahar tersebut adalah akademisi Departemen Ilmu Kelautan pada Universitas Lambung Mangkurat dan merupakan alumni Ilmu Kelautan Unhas angkatan 1997.

Apa penilaian sejauh ini tentang efektivitas DJ PRL?

Efektivitas DJ PRL sejauh ini bergantung pada implementasi kebijakan yang mereka lakukan dalam pengelolaan ruang laut, termasuk perencanaan zonasi, izin pemanfaatan ruang laut, serta perlindungan ekosistem laut.

Meskipun sudah ada upaya dalam menyusun regulasi dan mengawasi pemanfaatan ruang laut, tantangan utama yang masih dihadapi adalah koordinasi lintas sektor, penegakan hukum, dan partisipasi stakeholder dalam perencanaan ruang laut.

Sampai dengan tahun Oktober 2024 baru 24 Provinsi yang telah mengintegrasikan tata ruangnya antara ruang darat dan laut melalui penetapan perda, masih ada 6 provinsi sedang dalam proses evaluasi di Kementerian Dalam Negeri dan 12 Provinsi sedang dalam proses integrasi di Kementerian ATR/BPN sesuai amanat PP 21/2021.

Seberapa relevan keberadaan mereka (DJ PRL) dalam mengurusi ruang laut sejauh ini?

Keberadaan DJ PRL cukup relevan mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kompleksitas dalam pengelolaan ruang laut yang sangat tinggi.

DJ PRL berperan dalam memastikan keseimbangan antara konservasi, eksploitasi sumber daya, dan kepentingan masyarakat pesisir.

Namun, relevansinya juga bergantung pada sinergi dengan kementerian dan lembaga lain agar tidak terjadi tumpang-tindih kewenangan.

Selama ini masing-masing kementerian masih bersifat kepentingan sektoral baik di Kementerian Perhubungan, Kehutanan, Lingkungan Hidup. Enyahkan itu ego sektoral kalau mau lihat penataan atau pengelolaan laut kita berjalan baik.  

Apalagi kalau mau dilihat pada level di daerah dari provinsi sampai tingkat terkecil desa ini yang perlu penciptaan ruang hidup.

Roh dari tata ruang laut awalanya adalah bersifat bottom-up, kenapa ini perlu dilakukan  sebab dengan partisipasi masyarakat lokal terutama nelayan dan komunitas pesisir memahami kondisi laut di wilayah mereka lebih baik daripada birokrat atau perencana dari luar.

Pendekatan ini memastikan kepentingan mereka diakomodasi dalam perencanaan.

Selain itu juga berkaitan dengan keberlanjutan ekologi dan ekonomi. Kebijakan berbasis pengalaman dan kearifan lokal dapat membantu menjaga keseimbangan antara eksploitasi dan konservasi sumber daya laut.

Masyarakat yang terlibat sejak awal lebih cenderung mendukung kebijakan yang mereka rasa miliki (sense of ownership).

Perlu pula fleksibilitas dan adaptasi lokal sebab setiap wilayah laut memiliki karakteristik unik yang lebih mudah diakomodasi dalam pendekatan bottom-up.

Dengan demikian, solusi yang ditempuh bisa lebih kontekstual daripada kebijakan seragam yang sering kurang efektif.

Termasuk dengan meningkatkan kepatuhan dan pengawasan.

Masyarakat yang dilibatkan dalam perencanaan cenderung lebih proaktif dalam menjaga tata kelola laut. Mereka pun bisa mendorong pengawasan berbasis komunitas agar lebih efektif dibandingkan hanya mengandalkan aparat pemerintah.

Apa ada dampak positif dan ‘legitimated’ dengan adanya DJ PRL sejauh ini?

Belum terlihat adanya dampak positif baik dari kebijakan zonasi dan perencanaan ruang laut yang lebih terstruktur, terutama dalam mengurangi konflik pemanfaatan laut antar sektor seperti perikanan, energi, pariwisata, perhubungan dan konservasi/lindung.

Karena dengan penetapan perda tata ruang laut provinsi maupun sampai laut antar wilayah (zonasi laut nasional) perlu terus dievaluasi agar tidak hanya menjadi kebijakan di atas kertas, tetapi juga benar-benar memberikan dampak nyata bagi masyarakat dan ekosistem laut.

Di lingkup tataran kementerian Kelautan dan Perikanan sendiri, masih terlihat ego sektoral baik di Perikanan Tangkap, Perikanan Budidaya, PRL sendiri maupun Pengawasan.

Bisa dicek dan ditanyakan apakah Dirjen Perikanan Budidaya mengetahui dimana lokasi yang diperuntukan sebagai kawasan budidaya.

Berapa luasan yang telah ditetapkan, apakah sudah sesuai dengan arahan dan target dari dirjen Perikanan Budidaya?

Coba cek juga apakah perikanan tangkap terukur sudah sesuai dengan peruntukan tata ruang laut, bagaimana dengan konflik antara nelayan tangkap yang menggunakan alat menetap dengan alur pelayaran?

Cek juga dengan Dirjen Pengawasan, apakah kegiatan yang melanggar ruang laut sudah ditindak belum, berapa capaian target mereka?

Perubahan substansial apa yang diharapkan dengan adanya DJ Penataan Ruang Laut ini ke depan?

Perubahan yang diharapkan meliputi peningkatan efektivitas regulasi, integrasi data dan informasi terkait ruang laut, serta penguatan pengawasan dan penegakan hukum dalam pemanfaatan ruang laut.

Selain itu, diharapkan ada peningkatan keterlibatan masyarakat pesisir dan pelaku usaha dalam penyusunan serta implementasi kebijakan ruang laut yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Apakah penambahan DJ Penataan Ruang Laut itu sejalan dengan efisiensi Presiden Prabowo?

Efisiensi pemerintahan Prabowo akan sangat bergantung pada bagaimana struktur birokrasi bekerja secara efektif.

Jika DJ PRL mampu beroperasi dengan optimal, mengurangi tumpang-tindih kewenangan, serta memberikan solusi konkret bagi pengelolaan ruang laut, maka keberadaannya bisa dianggap sejalan dengan prinsip efisiensi.

Namun, jika justru menambah beban birokrasi tanpa dampak signifikan, maka perlu evaluasi ulang agar tetap sesuai dengan visi efisiensi pemerintahan yang diusung.

Intinya kembali revisi UU Pemerintahan Daerah dan kaitannya terutama perkuat kewenangan kabupaten dalam menjaga laut.

 

Baharuddin Sabur, peneliti dan pemerhati lingkungan dan tata ruang tinggal di Banjarmasin