Di Indonesia, terdapat sekitar 12 ribu desa pesisir yang mayoritas penduduknya merupakan nelayan kecil dan masyarakat pesisir.
PELAKITA.ID – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendorong pengelolaan pesisir berbasis wilayah non-kawasan konservasi dalam bentuk Other Effective-Area Based Conservation Measure (OECM) untuk melindungi keanekaragaman hayati in situ
OECM merupakan area selain dari Kawasan Lindung yang secara geografis ditetapkan, diatur dan dikelola dan dalam jangka panjang mencapai hasil yang positif dan berkelanjutan untuk konservasi keanekaragaman hayati.
Selain memprioritaskan perluasan kawasan konservasi dengan target 30 persen dari luas perairan Indonesia, KKP mencoba mengintegrasikan pengelolaan pesisir di desa (Locally Managed Marine Area/LMMA) dan Other Effective-Area Based Conservation Measure (OECM) ke dalam kebijakan.
Hal tersebut diungkap Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut (KKHL) M. Firdaus Agung Kunto Kurniawan dalam Lokakarya Nasional yang diselenggarakan KKP bersama Yayasan Pemberdayaan Masyarakat dan Pendidikan Konservasi Alam (YAPEKA) dan Yayasan Pesisir Lestari pada Jumat (2/12) di Jakarta.
Firdaus menjelaskan, OECM menjadi salah satu elemen penting untuk melindungi keanekaragaman hayati in situ disamping kawasan konservasi.
Di sisi lain, OECM juga menjadi bagian dan terkait dengan diskusi dan proses negosiasi dalam hal Biodiversity Beyond National Jurisdiction (BBNJ), proposal perlindungan 30 persen laut pada tahun 2030 atau dikenal dengan “30-by-30” dan negosiasi-negosiasi konvensi atau agreement lainnya yang memiliki dimensi spasial di laut.
“Dalam konteks ini, KKP memandang perlunya program-program yang melibatkan masyarakat dengan pola perikanan berkelanjutan berbasis kearifan lokal seperti sasi, egek, kera-kera dan ombo yang secara turun-temurun masih diterapkan oleh Komunitas Masyarakat Hukum Adat (MHA) di wilayah kelolanya sampai saat ini,” terangnya.
KKP, lanjut Firdaus, sangat mengapresiasi dukungan para pihak dalam pengelolaan kawasan konservasi dan non konservasi yang telah berjalan dengan tetap mengedepankan kearifan lokal.
Menurutnya, OECM berdampak terhadap konservasi meski tujuan pengelolaannya tak hanya untuk konservasi. Menurutnya, di dalam Target 3 Post 2020 Global Biodiversity Framework yang akan finalisasi di bulan Desember ini mengerucut pada keinginan untuk mengkonservasi 30 persen luas perairan.
“Bukan hanya dalam bentuk Kawasan konservasi yang formal tetapi juga OECM,” ucapnya.
“Ada empat strategi utama yang dapat diterapkan agar OECM dapat berkontribusi bagi konservasi, yaitu melindungi masyarakat hukum adat dan tradisional, memanfaatkan kolaborasi lintas sektor dan lintas skala, fokus pada pencapaian hasil dan integrasi ke dalam kerangka hukum,” urai Firdaus.
Dalam forum yang sama, Manajer Advokasi Kebijakan dan Tata Kelola Yayasan Pesisir Lestari Rayhan Dudayev mengatakan lokakarya ini diinisiasi dengan semangat untuk berkolaborasi dalam mendukung sasaran strategis nasional dan daerah di bidang kelautan dan perikanan.
Saat ini, kata Rayhan, paling tidak terdapat sekitar 12 ribu desa pesisir yang mayoritas penduduknya merupakan nelayan kecil dan masyarakat pesisir.
“Pemerintah desa, nelayan kecil dan masyarakat pesisir ini punya peranan penting dalam menyediakan ikan, melangsungkan ketahanan pangan dan pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia. Berbagai pengelolaan perikanan dan pesisir telah dilakukan komunitas tersebut untuk mendukung target nasional maupun daerah,” ujarnya.
“Harapannya, lokakarya ini bisa menghasilkan peta jalan (roadmap) bagi para pihak menuju integrasi pengelolaan perikanan dan pesisir oleh komunitas dan pemerintah desa tersebut ke dalam kebijakan dan strategi tata kelola kelautan,” ungkapnya.
“Ke depan, program perlindungan hak dan pemberdayaan masyarakat pesisir bisa beriringan dengan upaya pengelolaan sumberdaya perikanan dan pesisir secara berkelanjutan dan konservasi laut,” imbuh Rayhan.
Senada dengan Rayhan, Ketua-CEO YAPEKA Akbar A. Digdo mengharapkan kegiatan lokakarya ini dapat membuka jalan bagi inisiatif pengelolaan pesisir non-kawasan konservasi yang ada di Indonesia untuk mendapatkan pengakuan dan lebih inklusif serta dapat mendukung target pembangunan nasional dan global yang disepakati Indonesia.
“Kami menyadari jalan yang kami tempuh masih panjang namun dengan dukungan dari berbagai pemangku kepentingan yang hadir, LMMA/OECM di Indonesia bisa selaras dengan kebijakan yang sudah ada,” tandasnya.
Pada kesempatan yang sama, dilaksanakan pula Penyerahan Buku Laut Bersama, Dikelola Bersama – Tata Kelola Pesisir Kolaboratif di Desa secara simbolik oleh YAPEKA kepada Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut.
Buku itu merupakan dokumentasi berbagai bentuk pengelolaan kelautan kolaboratif di tingkat tapak, menurut jenis kelompok masyarakatnya; Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Lokal dan konteks wilayah melingkupi wilayah konservasi atau non-konservasi.
Dokumentasi ini merupakan kontribusi dari organisasi-organisasi berbasis komunitas yang melakukan pengelolaan perikanan gurita di enam lokasi yang tersebar di Indonesia Bagian Tengah dan Timur, yakni di Kabupaten Lombok Timur, Minahasa Utara, Banggai, Ende, Maluku Tengah dan Wakatobi.
Hal tersebut sejalan dengan kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono dengan 5 program prioritas KKP yang mendukung ekonomi biru.
Pertama, ialah perluasan konservasi laut. Kedua, penangkapan ikan terukur berbasis kuota. Ketiga, pengelolaan budidaya laut, pesisir dan pedalaman. Keempat, pengelolaan berkelanjutan pesisir dan pulau-pulau kecil, serta kelima, pengelolaan sampah plastik di laut.
Editor: K. Azis
Sumber: Siaran Pers Humas DJ PRL KKP