Ketika Media Sosial Membebani Pikiran Remaja: Menemukan Keseimbangan di Era Digital

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID

PELAKITA.ID – Di tengah derasnya arus digitalisasi, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, terutama bagi generasi muda.

Bagi remaja, media sosial bukan sekadar alat komunikasi, melainkan juga ruang berekspresi, bersosialisasi, bahkan membentuk identitas diri. Namun, di balik segala kemudahan dan manfaat yang ditawarkan, tersimpan tantangan besar yang kerap luput dari perhatian: meningkatnya angka kecemasan di kalangan remaja.

Fenomena ini bukan sekadar kekhawatiran tanpa dasar. Berbagai penelitian menunjukkan adanya korelasi antara penggunaan media sosial secara intensif dengan meningkatnya tingkat kecemasan, stres, bahkan depresi di kalangan anak muda. Tiga faktor utama yang sering dikaitkan dengan hal ini adalah perbandingan sosial, cyberbullying, dan tekanan untuk tampil sempurna.

Perbandingan Sosial yang Menyesakkan

Remaja yang menghabiskan berjam-jam di media sosial terus-menerus terpapar kehidupan “sempurna” orang lain: liburan ke tempat eksotis, pencapaian akademik, foto-foto estetik hasil filter, atau kehidupan sosial yang tampak ideal. Tanpa disadari, mereka terdorong untuk membandingkan diri sendiri dengan apa yang mereka lihat—dan sering kali merasa tidak cukup baik, tidak berhasil, bahkan tidak bahagia.

Padahal, apa yang tampil di media sosial hanyalah potongan highlight terbaik seseorang, bukan keseluruhan realitasnya. Bagi remaja yang masih dalam proses mencari jati diri, membedakan antara realita dan ilusi digital ini bukan perkara mudah. Akibatnya, rasa tidak percaya diri dan kecemasan pun kian meningkat.

Nurul Khalizah, NIM K011221006

Cyberbullying: Luka yang Tak Terlihat

Selain perbandingan sosial, cyberbullying menjadi ancaman nyata yang menghantui dunia maya. Komentar jahat, body shaming, pelecehan verbal, hingga penyebaran rumor terjadi begitu cepat karena sifat media sosial yang terbuka dan viral.

Banyak remaja korban perundungan online memilih diam, merasa malu, atau takut dianggap lemah. Luka emosional ini sering kali tersembunyi, namun dampaknya bisa menggerogoti rasa aman, harga diri, bahkan kesehatan mental mereka.

Tekanan untuk Tampil Sempurna

Budaya media sosial mendorong tren kurasi diri: setiap unggahan harus estetik, menarik, dan layak tampil. Remaja merasa dituntut untuk selalu tampak bahagia, produktif, atau memukau, seolah-olah hidup mereka harus sempurna setiap saat.

Kekhawatiran untuk terus mengikuti tren dan mempertahankan eksistensi ini bisa menimbulkan kelelahan mental, krisis identitas, hingga rasa terasing dari diri sendiri. Di balik foto-foto penuh senyum itu, banyak remaja yang diam-diam merasa kosong dan tertekan.

Media Sosial: Bukan Musuh, Tapi…

Penting untuk diingat, media sosial bukan sepenuhnya buruk. Ia bisa menjadi sumber informasi, ruang berkreasi, dan tempat mendapatkan dukungan sosial. Kuncinya adalah bagaimana kita—sebagai individu maupun masyarakat—mengelola penggunaannya secara sehat dan bijak.

Beberapa strategi yang bisa diterapkan antara lain:

  • Mengatur waktu layar secara sadar dengan batasan harian dan jadwal digital detox.

  • Meningkatkan literasi digital, memahami bagaimana algoritma bekerja dan dampaknya terhadap psikologi.

  • Membangun lingkungan sosial yang suportif, baik di dunia nyata maupun dunia maya.

  • Menyediakan akses layanan psikologis yang mudah dijangkau tanpa stigma.

  • Melibatkan orang tua dan pendidik untuk menjadi pendengar empatik sekaligus pembimbing yang mengerti.

Pendampingan Penuh Kasih

Orang tua dan guru bukan hanya bertugas mengawasi, tetapi mendampingi. Remaja butuh sosok dewasa yang memahami dinamika dunia digital yang mereka hadapi. Dengan pendekatan penuh empati, mereka bisa dibimbing untuk mengenali batasan, membangun rasa percaya diri, dan menggunakan teknologi sebagai alat bantu, bukan beban.

Kesehatan mental remaja adalah fondasi masa depan. Media sosial bukan musuh yang harus dijauhi, melainkan tantangan yang harus dikelola dengan bijak. Saatnya kita bertanya bukan hanya “apa yang kamu posting hari ini?” tetapi juga “apa yang kamu rasakan hari ini?”

Karena pada akhirnya, lebih penting memastikan mereka damai ketika layar dimatikan, daripada sekadar mengejar berapa banyak “like” yang didapatkan.

Penulis: Nurul Khalizah dengan NIM K011221006