Penulis Ainnur Mhey Rokhii Mah, mahasiswa FKM
PELAKITA.ID – Bayangkan kamu duduk di depan semangkuk seblak super pedas yang aromanya saja sudah menggoda iman. Satu suapan, lidahmu terbakar, keringat mengucur, tapi tangan tak berhenti menyendok.
Rasanya nikmat, memacu adrenalin, bikin nagih. Tapi, pernah nggak sih kamu bertanya: “Apa kabar lambung setelah ini?”
Fenomena cinta mati pada makanan pedas seperti seblak, mie pedas level dewa, atau ayam geprek sambal 20 cabe sudah bukan hal baru. Bahkan, banyak orang merasa makan jadi hambar tanpa sambal di meja. Sensasi “terbakar” itulah yang justru membuat makan makin lahap. Tapi di balik nikmatnya cabai, ada fakta lain yang tak kalah panas.
Pedas = Tambah Nafsu Makan? Iya, Tapi…
Banyak orang merasa nafsu makannya meningkat saat menyantap makanan pedas. Di salah satu puskesmas di Kota Manado, misalnya, ditemukan bahwa sebagian warga yang mengalami obesitas mengaku sering makan pedas karena merasa lebih berselera—dan akhirnya makan dalam porsi lebih banyak.
Masalahnya, saat frekuensi makan bertambah dan porsi tak dikendalikan, berat badan pun ikut naik. Makanan pedas memang bisa memicu pelepasan hormon endorfin yang membuat kita merasa senang, tapi efek sampingnya bisa membuat kita “lupa diri”—makan bukan lagi karena lapar, melainkan demi mengejar sensasi.
Dampak ke Lambung: Diam-diam Mengikis
Mahasiswa pun tak luput dari tren ini. Penelitian tahun 2021 di Universitas Al Asyariah Mandar menemukan bahwa hampir separuh mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat punya pola makan yang kurang sehat. Mayoritas dari mereka gemar makanan cepat saji, terutama yang pedas.
Cerita serupa datang dari Universitas Jember: studi pada tahun yang sama menunjukkan 27% mahasiswa Pendidikan Biologi mengonsumsi makanan pedas setiap hari, dan 60% minimal tiga kali seminggu.
Apa risikonya? Konsumsi pedas berlebihan dalam jangka panjang bisa berdampak buruk pada lambung. Gejala seperti nyeri ulu hati, mual, begah, hingga muntah, kerap muncul setelah makan pedas. Dalam dunia medis, kondisi ini dikenal sebagai dispepsia.
Senyawa capsaicin dalam cabai adalah biang keladinya. Ia bekerja seperti “alarm” bagi tubuh, memicu sensasi panas dan nyeri di saluran pencernaan. Jika dikonsumsi terlalu banyak, apalagi saat perut kosong, capsaicin bisa memperparah masalah lambung, terutama bagi mereka yang sudah memiliki gangguan pencernaan.
Tapi, Masa Nggak Boleh Makan Pedas Sama Sekali?
Tenang, kamu nggak harus putus hubungan dengan sambal, kok! Kamu tetap bisa menikmati makanan pedas asal tahu batasnya. Ini beberapa tips aman buat para pecinta cabai:
1. Jangan makan pedas saat perut kosong
Lempar bom ke lambung yang belum siap? Jangan, ya. Pastikan perutmu sudah terisi makanan lain dulu.
2. Jangan berlebihan
Makan pedas boleh, asal tetap kontrol porsi. Jangan sampai kalap dan porsi jadi dua kali lipat.
3. Kenali tubuhmu
Kalau setelah makan pedas kamu merasa mual atau nyeri, itu sinyal tubuhmu untuk berhenti.
4. Redakan dengan susu
Kalau kepedasan, air putih saja kadang tak cukup. Susu mengandung kasein yang bisa mengikat capsaicin dan meredakan sensasi terbakar.
Kesimpulan: Sensasi Boleh, Tapi Jangan Lupa Sehat
Makanan pedas memang menggoda dan sudah menjadi bagian dari budaya kuliner kita. Tapi, tubuh juga punya batas. Menikmati makanan pedas sesekali tentu tak masalah, asalkan tidak menjadi kebiasaan yang merugikan kesehatan.
Jadi, masih mau tambah level pedas, atau mulai menyeimbangkan selera dengan bijak?
Yuk, mulai lebih peka terhadap sinyal tubuh dan jadilah generasi yang bukan hanya #AntiHambarinHidup, tapi juga #ProKesehatanLambung!